Senin, 04 Februari 2008

Solo, Persimpangan antara Kota Tua dan Budaya Urban


Perjalanan ke salah satu pusat kebudayaan Jawa ini dimulai dari Kampung Laweyan. Laweyan adalah kampung pengrajin batik di kota Solo. Kampung yang dahulu merupakan markas Sarekat Dagang Islam (SDI), saat ini menjadi salah satu tujuan wisata turis. Tak ada yang telalu istimewa ketika kita melintas ke dalamnya, hanya terlihat nuansa kota tua lengkap dengan rumah-rumah berarsitektur kuno. Namun coba tengoklah Ndalem Tjokrosumartan, salah satu rumah termegah di kawasan tersebut. Ndalem Tjokrosumartan merupakan cermin luhurnya kebudayaan Jawa: arsitektur keraton, halaman depan yang luas nan asri, serta regol mewah yang menjadi gerbang depan rumah.

Seiring waktu, wajah kota ini pun berganti seiring bertambahnya usia. Dulu, remaja Solo gemar menyantap jadah bakar dan pisang owol di emperan Jalan Slamet Riyadi. Namun, belakangan jajanan kesayangan itu menghilang akibat pembangunan mal dan beberapa pertokoan di kawasan tersebut. Begitu pula dengan Jagung Bakar Kantor Pos yang menjadi tempat nongkrong anak muda kota Solo. Warung jagung manis kini telah disulap menjadi gedung perkantoran berlantai enam.

Hutan mal, begitu Harian Kompas menyebutnya, adalah sosok kota Solo saat ini. Setidaknya ada enam mal yang berdiri di kota yang hanya mempunyai luas sekitar sembilan puluh kilometer persegi. Goro Assalam, Megaland, Solo Grand Mall, Solo Square, Makro Tipes, dan Plaza Singosaren adalah pusat perbelanjaan yang siap menyerbu warga dengan fantasi kebudayaan urban. Jumlah itu belum ditambah dengan supermarket yang tersebar di berbagai sudut kota. Oleh karenanya, tak susah untuk mencari tempat nongkrong anak muda Solo saat ini. Tinggal arahkan kendaraan Anda di salah satu mal, dan pesanlah makanan di gerai fast food terkemuka. Ya, Anda pasti akan bertemu dengan gerombolan anak SMU atau mahasiswa yang menghabiskan waktu di situ.

Inilah perjalanan penulis berikutnya ke salah salah satu sudut mal di kota Solo. Plaza Singosaren, demikian bangunan itu disebut, memang memiliki perpaduan antara unsur modern dan tradisional. Pintu utama mal tersebut berupa pendopo yang berarsitektur Jawa. Atap dan tiangnya dipenuhi dengan ukir-ukiran batik parang yang terbuat dari kayu jati. Namun ketika melangkah jauh ke dalam, rasanya tak jauh berbeda dengan mal di kota-kota besar lainnya. Bahkan, sulit membedakan antara remaja kota Solo dengan Jakarta atau kota besar lainnya. Semua seragam; berpakaian dengan gaya yang mirip. Ketika Radio Prambors Solo mengadakan acara off-air di mal tersebut, pembawa acara dengan santai menggunakan kata panggil “lo” dan “gue” seolah sedang berada di Depok atau Jakarta saja.

Perjalanan menelusuri kegetiran budaya Mataram berlanjut ke Pasar Gede. Pasar Gede adalah peninggalan Paku Buwono X yang dibangun pada tahun 1930 oleh arsitek Thomas Karsten. Bangunan ini menjadi tetenger (penanda) kota, karena letaknya di jantung kota Solo. Di depan pasar Gede, terdapat jam yang dipasang kokoh sebagai penunjuk nol kilometer kota Solo. Pasar Gede merupakan simbol multikultural kota Bengawan. Kawasan ini merupakan pecinan, atau tempat warga beretnis Cina menjajakan dagangannya. Terdiri dari dua bangunan utama, di kanan kiri bangunan tersebut terdapat sentuhan ornamen Cina. Di belakang pasar ini, terdapat kawasan Pasar Kliwon yang banyak ditempati oleh warga beretnis Arab. Bentuk fisik pasar memang tidak terlihat di daerah ini meski dinamai Pasar Kliwon. Kedua daerah ini, Pasar Gede dan Pasar Kliwon, menyangga Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak bersebelahan dengan kedua “pasar” ini.

Bangunan-bangunan di Pasar Kliwon dan Pasar Gede banyak yang bercorak Jawa, Eropa, Indis, Portugis, hingga Timur Tengah. Sayangnya, bangunan tua itu tidak terawat dengan baik. Pemerintah daerah lebih memilih merawat dan membangun pusat perbelanjaan yang bertebaran di kawasan itu: Pusat Grosir Solo (PGS), Beteng, dan ruko-ruko kecil. Saat ini PGS menjadi tempat belanja batik terkemuka bagi pelancong. PGS sekaligus menyatukan tiga kawasan pasar, yakni Pasar Gede, Pasar Klewer, dan Pasar Kliwon. Beteng, salah satu bangunan keraton yang menjadi tempat pertahanan kerajaan, kini beralih fungsi menjadi bangunan pertokoan. Bentuk fisik benteng sudah tidak terlihat secara nyata. Hanya kalau jeli, dua pintu gerbang masuk Beteng menyisakan bukti kejayaan kerajaan di masa lampau.

Perjalanan ke kota Solo dilanjutkan ke tepi Sungai Bengawan. Dalam syair lagunya, Gesang menggambarkan Bengawan Solo sebagai sungai yang berair jernih dan nyaman untuk beristirahat. Namun sekarang, air Sungai Bengawan berwarna coklat pekat. Air sering tercemar limbah perusahaan tekstil yang terletak di radius tiga kilometer dari Sungai Bengawan. Duduk di tepian Sungai Bengawan, sambil menikmati es kelapa dan semilir angin, kini tidak seasyik syair legendaris Bengawan Solo.

Di sebelah Sungai Bengawan terdapat Taman Satwa Taru Jurug yang juga peninggalan budaya Mataram. Jurug merupakan implementasi dari konsep kutaraja atau istana raja sejak awal berdirinya kota Solo pada tahun 1745. Sekarang, tak hanya satwa-satwa yang tak terawat, kebun binatang dan taman kota ini juga digerus oleh kejahatan kerah putih bernama korupsi. Sejak berhembus isu korupsi dana pemeliharaan Jurug oleh pemerintah daerah, Kebun Jurug menjadi pusat perhatian publik, baik di pusat maupun daerah. Wajah Kebun Jurug kini makin pasi, satwa-satwa yang ada di dalamnya kurus dan tidak terawat. Sistem sanitasinya pun tidak terpelihara dengan baik. Ini terlihat dari lumut mengerak yang menghiasi bibir selokan penghubung satu kandang dengan kandang lain. Sarana lain yang dibangun untuk merenovasi sisa bangunan lama juga tampak lapuk. Tempat peristirahatan raja itu, ironisnya, bukan rusak karena warga kota yang enggan mengunjunginya, tetapi karena koruptor yang mengambil uang jatah makan macan dan siamang.

Perjalanan terakhir kota Solo adalah makan malam di kawasan Kerten. Di daerah ini, pedagang menjual aneka penganan tradisional di malam hari. Salah satu yang menjadi kekhasan kota Solo adalah hik, yang sering disebut “hidangan istimewa kampung”. Penjaja hik biasanya membawa gerobak dan menyajikan hangat-hangat beraneka jajanan pasar dan sego kucing. Di depan hik yang berjejer di sepanjang Jalan Moewardi, terdapat Gereja Kerten. Gereja Kerten juga menjadi salah satu peninggalan sejarah di Kota Solo. Gereja ini dahulu adalah bekas gereja Belanda yang menyatu dengan kompleks perumahan pemerintah kolonial Belanda. Kompleks perumahan ini sekarang berganti fungsi menjadi kediaman mantan presiden Soeharto, yakni Ndalem Kalitan. Ndalem Kalitan juga merupakan salah satu representasi budaya Jawa kuno yang saat ini masih terpelihara dengan baik. Gereja Kerten dan kompleks yang ada di dalamnya tampak bersatu dengan jajaran factory outlet yang ada di depannya. Jika siang hari, kawasan Kerten dilewati kereta mini Solo-Wonogiri yang lagi-lagi, perlintasannya merupakan peninggalan Belanda. Karena mengikuti kontur sejarah, rel kereta api sepanjang Purwosari–Kerten–Jalan Slamet Riyadi dibiarkan terbuka tanpa dilengkapi palang pengaman. Rasanya daerah ini merupakan salah satu persimpangan antara keluhuran budaya Solo dan budaya urban yang ditandai dengan kehadiran mal dan jajaran factory outlet.

Jikalau menelusuri Gereja Kerten ke arah barat di waktu malam, maka akan terlihat billboard besar yang berkelip indah di langit. Billboard itu memajang kata-kata promosi: “Solo Kota Budaya”, seolah ingin mengukuhkan jati diri kota ini sebagai cagar kebudayaan nasional. Seiring dengan arus modernitas, Solo tak hanya menjadi kota budaya. Kota yang dilanda kerusuhan hebat pada Mei 1998 ini telah berkembang menjadi persimpangan antara kota tua dan budaya urban. Mungkin hal tersebut tidak saja dialami oleh kota yang berpenduduk 600 ribu jiwa ini, tetapi setali tiga uang dengan kondisi kota-kota lain di Indonesia. Budaya urban rupanya telah menjalari berbagai tempat di mana khazanah kebudayaan bangsa bermukim. Selamat datang di ranah globalisasi budaya urban!

3 komentar:

silvia d.a. mengatakan...

Bagus..bahasanya sangat mengalir. Penggambaran situasinya juga detil. Seperti membaca cerpen Kompas.

Anonim mengatakan...

thanks cip... btw, kapan2 boleh cip kritik2 pedes dan koreksinya klo gw salah pake teori HI :p

Deep soloTouch mengatakan...

wah manteb mas essaynya hehehe...
salam kenal kyknya bakal cocok neh baca2nya :p