Jumat, 01 Februari 2008

Kedamaian Ekologis



”Manusia itu egosentris; ia berpikir bahwa ”diri” adalah ”aku”, lalu membedakan dirinya dari orang lain, dan membedakan dirinya dengan orang lain, sehingga ia sengsara. Sebenarnya, manusia adalah satu dari unsur-unsur keagungan alam. ” - Zen

Laporan The State of World 2007 dari UN Environmental Programme (UNEP) menunjukkan angka-angka yang kurang menggembirakan. Antara 10 dan 20 persen spesies diperkirakan akan punah pada 20 atau 50 tahun. Berdasarkan kecenderungan tersebut, diperkirakan 34.000 tanaman dan 5.200 spesies hewan akan mengalami kepunahan. 60% terumbu karang dunia juga diperkirakan akan lenyap. Angka yang ”pesimistis” ini berbanding terbalik dengan angka volume perdagangan dunia yang kian meningkat. Dari laporan World Trade Organization (WTO), perdagangan meningkat dari tahun ke tahun, meskipun perundingan Putaran Doha di WTO mengalami kemacetan. Perdagangan bisa lantas ”secara alami” berpindah ke cara-cara perdagangan yang lain; dari WTO ke kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTAs); yang memungkinkan ego manusia sebagai homo economicus terwujud.

Gesekan antara perdagangan dan lingkungan hidup sudah terlihat sejak laporan Club of Rome, Limits to Growth, diluncurkan pada tahun 1973. Dari konperensi satu ke konperensi berikutnya, gesekan itu makin mengemuka hingga lahirlah konsep ”sustainable development” pada Konperensi Bumi Rio pada tahun 1992. Sayangnya, konsep ini masih sangat konseptual dan kurang implementatif. Hukum-hukum lingkungan internasional yang bersifat non-legal binding juga mengakibatkan kurang efektifnya rejim lingkungan internasional. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan rejim perdagangan internasional yang bersifat legally binding. Namun, apa yang bisa diharapkan dari rejim perdagangan internasional ? Karakter proliferasi perdagangan (bukan pada pengaturan untuk membatasi perdagangan) membuat rejim yang mengikat ini makin efektif dalam menggerus aspek lingkungan hidup dalam perdagangan internasional.

Namun, karakter hijau dalam WTO bukan semata dilihat sebagai aturan yang bisa meminimalisir dampak negatif perdagangan. Karakter hijau di WTO, misalnya penerapan standar lingkungan (ingat kasus penyu-tuna AS-Meksiko, atau perusakan terumbu karang dalam penangkapan ikan), adalah klaim negara maju yang menghalangi ekspor dari negara berkembang (non-tariff barier). Jika berbicara karakter hijau, maka seharusnya berbicara pula mengenai kekuatan pasar atau kekuatan demand-supply yang datang dari negara maju dalam mengeruk lingkungan hidup. Artinya, klaim ”perusak lingkungan hidup” tidak hanya ditujukan kepada negara berkembang yang mendapatkan bahan-bahan ekstraktif dengan metode yang merusak lingkungan, namun juga permintaan dari negara lain untuk industrialisasi atau konsumsi di negara pengimpor tersebut, atau kehadiran perusahaan multinasional yang memperkenalkan metode yang merusak itu. Contoh yang paling nyata adalah deforestasi hutan Amazon di Brazil yang salah satunya disebabkan oleh industri sapi di Brazil, namun juga terkait dengan permintaan daging sapi di Amerika Serikat. Hingga akhirnya, dapat dilihat bahwa sebenarnya permasalahan lingkungan hidup tidak dilihat secara an sich perusakan lingkungan di suatu wilayah, namun juga turut dipengaruhi oleh karakter kompleksitas globalisasi.

Satu variabel penting yang juga membuat globalisasi makin kompleks adalah makin langkanya dan makin terbatasnya sumberdaya alam. Michael T. Klare dalam buku Resources War menyebutkan bahwa semakin langkanya sumberdaya membuat konflik antarnegara dipicu oleh perebutan sumberdaya alam. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan sumberdaya yang terbatas itu perlu dilakukan upaya kerjasama mengelola sumberdaya tak terbaharukan.

Perdamaian Dunia melalui Gerakan Lingkungan

Ahli hubungan internasional (Lihat misalnya Joseph S. Nye,Jr, Morgenthau, Starr&Russet,Viotti&Kauppi) menggariskan bawa karakter hubungan antar bangsa adalah ”anarki” atau tidak terdapatnya satu kekuasaan sentral yang dapat mengatur antar satu negara dengan negara lainnya, sehingga dengan adanya kekuasaan sentral tersebut negara-negara di dunia harus memberikan sedikit kedaulatannya kepada institusi / kekuasaan tersebut. Kalangan konstruktivis mendebatnya dengan menyatakan bahwa anarki adalah sebuah konstruksi yang dibuat oleh negara / dunia internasional sebagaimana dinyatakan Alexander Wendt dalam ”Anarchy is What States Make of It” (International Organization, 1992). Jika melihat pola pandang Wendt ini sebenarnya mencerminkan optimisme bahwa keadaan anarki itu bisa diatasi, misalnya dengan membentuk institusi yang efektif. Pada tahap lanjutan, berbeda dengan kalangan liberalis Wilsonian yang juga melihat perlunya kerjasama internasional dalam hubungan internasional, kaum konstruktivis melihat perlunya pergeseran tata ”nilai” dan ”persepsi” negara (dan pembuat kebijakan di negara tersebut) misalnya dalam hal insecurity. Pandangan pembuat kebijakan yang masih sama mengenai ketidakamanan, sekuritisasi, xenophobia tertentu, anti-Jewish, dan lain-lain, membuat kerjasama internasional itu tidak akan efektif. Persepsi dan nilai ketidakamanan (termasuk di dalamnya kepentingan nasional) yang konvensional membuat karakter anarki terus bercokol, dan oleh karena persepsi ketidakamanan tersebut akan terus membuat hubungan internasional berkarakter security-complex. Oleh karena itu, inilah kritik yang diberikan oleh pendekatan konstruktivis terhadap kaum liberal Wilsonian.

Pandangan berbeda datang dari pandangan strukturalis yang lebih melihat karakter konflik antara core dan periphery dalam hubungan internasonal. Akan tetapi pendekatan itu untuk sementara dikesampingkan terlebih dahulu (namun tidak berarti ditinggalkan), karena tujuan dari tulisan ini adalah mengarah ke : bagaimana dapat mencapai perdamaian dunia dengan daya dukung bumi yang makin menurun dan sumberdaya yang makin terbatas ? Tulisan ini mengakui adanya konflik atau tekanan antar negara dalam memanfaatkan sumberdaya, namun yang akan dicari jalan keluarnya adalah bagaimana semua elemen manusia di bumi dapat hidup berdampingan tanpa harus terlibat konflik perebutan sumberdaya.

How to mitigate the anarchy ? adalah pertanyaan yang paling relevan dalam menjembatani dua pandangan yang berbeda mengenai konsep ”anarki” yang telah terberi (taken for granted), dan konsep ”anarki” sebagai konstruksi sosial.

Saya menawarkan konsep ”kedamaian ekologis” yang banyak dipengaruhi oleh tulisan mengenai ecologism, misal dari Andre Dobson. Konsep ”kedamaian ekologis” tentu berbeda dengan konsep yang telah dibawa Vandana Shiva mengenai ”ecological justice”, yang lebih menekankan pada ekologi sebagai tujuan (ends) dan kondisi akhir yang akan dituju. Kedamaian ekologis lebih melihat ekologi sebagai sarana (means) dengan prinsip utilitas tertentu untuk mencapai tujuan yang lebih besar yakni perdamaian. Perdamaian dapat dilihat sebagai perdamaian umat manusia dan upaya penjagaan ekologi sebagai salah satu cara untuk mempertahankan perdamaian umat manusia itu sendiri.

Tentunya untuk menjelaskan mengapa manusia perlu menjaga bumi memerlukan penjelaskan berbasis ekologisme tersendiri. Yang ingin saya jelaskan disini adalah bagaimana merubah pola pikir atau tata nilai masyarakat dunia dan pengambil keputusan di setiap negara mengenai ekologi.

Ekologi harus ditempatkan sebagai prioritas dalam hubungan antar negara dan menjadi cara pandang kehidupan sehari-hari (way of life) yang didorong dari aktivitas di lingkup terkecil, misalnya individu, rumah tanggaa, atau masyarakat sipil.

Masyarakat sipil harus mendorong masyarakat melakukan kegiatan yang pro-ecology, yang pasti secara otomatis juga pro-poor karena perimbangan konsumsi dan penggunaan sumberdaya secara berkeadilan dan berkelanjutan, di samping secara ontologis ekologisme mensyaratkan kesetaraan dalam interaksi sosial (diilhami dari interaksi alam). Pembuat keputusan tidak dapat diharapkan mengubah pola pikirnya secara cepat, oleh karena itu gerakan masyarakat sipil di seluruh dunia haruslah semakin kompak untuk mendesakkan urgensi isu-isu lingkungan hidup. Pandangan Gramsci mengenai ”intellectual organic” adalah satu hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam penyebaran ”ide” mengenai ekologisme ini.

Satu hal terakhir, kedamaian ekologi bukanlah sebuah pandangan internasionalis, namun lebih merefleksikan pandangan humanis. Hasil akhir yang diharapkan bukan integrasi antar negara, atau organisasi tingkat negara. Namun, hasil akhir yang diharapkan adalah berkurangnya konflik atau imperialisme gaya baru akibat perebutan sumberdaya. Dengan berkurangnya karakter kompetisi dalam penggunaan sumberdaya ini diharapkan perdamaian lebih mudah terwujud dan kedamaian ekologi juga makin mudah terimplementasi. Secara praktis, diperlukan multi-track diplomacy, terutama dari kalangan masyarakat, untuk mewujudkan gerakan humanis antara semua penghuni bumi untuk mempengaruhi kebijakan di tingkat internasional yang seharusnya makin ramah terhadap bumi. Dan ini, tentunya, memerlukan proses yang tidak singkat.

Change the norms first, then change the institution or policy-related things. (*)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya rasa konsep ini memang sangat teoretikal. Saya sangat mengerti betul pendekatan yang Mas Herjuno ini untuk mencapai tujuannya (yang menurutnya adalah perdamaian ekologis). Menurut saya, approach yang diambil melalui tawaran perubahan norma memang cukup unik berbasis pada konstruktivisme ide yang berkembang sementara yang saya tangkap bahwa Mas Herjuno ingin sedikit demi sedikit meninggalkan bentuk-bentuk kerjasama yang selama ini dinilai tidak efektif.
Meskipun demikian, menurut saya (berdasarkan logika saya saja tidak mengutip tulisan-tulisan siapapun karena sudah lama tidak membaca hal-hal seperti ini, tidak seperti Mas Herjuno ini), bahwa approach ini bisa diambil tetap dari dua arah. Dari arah dorongan politis dari negaranya kepada masyarakatnya dan dorongan dari bawah (civil society) kepada negaranya atau masyarakat lain di dunianya atau dibelahan dunia lainnya (if you know what I mean). Keduanya bisa mengkonstruksi ide untuk mengubah perilaku.
Contohnya:
PLN sebagai state owned power company mendorong masyarakat Indonesia untuk hemat listrik. Bukan permasalahan mampu atau tidaknya kita membayar tagihan listrik tapi karena permasalahan sumber energi yang begitu besar untuk menjalankan pembangkit listrik yang efeknya bisa sirkuler, yaitu kalau sumber energinya langka maka masyarakat juga yang susah (mati lampu terus seperti sekarang ini atau tarif dasar listrik yang mahal). Implikasi dari TDL yang mahal juga adanya ketidakstabilan politik.
Kalau contoh lain gerakan dari masyarakat sipil ya seperti yang terjadi sekarang-sekarang ini bahwa dari tingkat civil society, mereka mulai memakan makanan organik, naik sepeda ke kantor.
For me, the way to construct idea can be from both ways. I know that I am commenting this article from my perspective not from your angle. However, if you want to focus it on the norm changing which is from socio-cultural side, this can also be the alternative though to enrich the existing paradigms.
However, my input will be “please elaborate further the interlink between environmental awareness by changing the norm/idea and peace as your ends through this kind of activities”.
Au revoir, Renar