Jumat, 01 Februari 2008

Dari WTO ke Kesepakatan Perdagangan Bebas


Perundingan di World Trade Organization (WTO) mengalami kebuntuan. Kemacetan terjadi karena tidak ada kesepakatan yang bisa menjembatani antara negara berkembang dan negara maju dalam Pertemuan Negara G4 di Postdam, Jerman, minggu lalu. Begitulah berita yang menjadi headline Harian Kompas, 23 Juni 2007. Jika mencermati lebih dalam berita tersebut, maka sebenarnya perundingan WTO sudah mulai mengalami kebuntuan atau deadlock sejak pertemuan negara anggota G6 23 Juli 2006 lalu. Proses kebuntuan perundingan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi berlangsung secara perlahan, yang sudah dapat dirasakan ketika Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Cancun, Meksiko, tahun 2003. Lambannya jalan perundingan di WTO perlahan telah menggusur eksistensi rejim perdagangan di tingkat multilateral, yakni WTO, ke rejim perdagangan di tingkat bilateral atau antarregional.

Refleksi Kegagalan Perundingan WTO

Kegagalan perundingan negara G4 – yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), India, dan Brazil- merefleksikan beberapa hal. Pertama, kegagalan tersebut merupakan kulminasi dari tawar-menawar antarnegara. Negara maju mendesak negara berkembang untuk menurunkan tarif bagi non-agricultural market acsess (NAMA) atau akses pasar untuk produk non-pertanian (industri). Sedang negara berkembang meminta negara maju untuk mencabut subsidi pertanian yang memang merupakan “masalah klasik” dalam perdagangan internasional. Pada kenyataannya, negara berkembang diminta melakukan liberalisasi lebih banyak daripada negara maju. Misalnya, dalam formula Swiss (metode yang digunakan untuk menentukan besarnya pemotongan tarif), negara berkembang diminta memotong lebih besar, yakni sebesar 15%. Sementara negara maju hanya akan mengurangi tarif industrinya sebesar 10%. Ditambah lagi, dalam sektor pertanian, besarnya subsidi pertanian negara maju – terutama AS dan UE- adalah salah satu hal bukti bahwa perdagangan internasional tidak berjalan dengan adil. Lewat Farm Security and Rural Development Act atau lebih dikenal dengan Farm Bill, AS melakukan proteksi pertanian – baik melalui subsidi ekspor dan subdisi domestik – sebesar 180 miliar dollar AS dari tahun 2002 sampai 2007 (Kinasih, 2006). Mengutip pernyataan yang dilontarkan Menteri Perdagangan Marie Pangestu dalam harian ini, “Kegagalan itu terjadi karena negara berkembang menilai tak ada tawaran baru dari negara maju,” maka besarnya nilai subsidi AS tersebut dapat menjelaskan hal tersebut. Pada tahun 2007 ini, ketika tuntutan kepada AS untuk mengurangi subsidinya, negara anggota WTO lain menilai potongan subsidi senilai 7,6 miliar dollar AS per tahun tersebut masih belum signifikan. (Puzin, 2007). Sedang AS bersikukuh tidak akan mengurangi subsidinya sebelum negara berkembang menurunkan tarif industrinya. Tarik-menarik yang tak kunjung usai ini membuat perundingan makin tidak berujung.

Kedua, kegagalan perundingan di WTO tersebut merupakan cerminan dari praktik perdagangan internasional yang tidak adil. Tindakan India dan Brazil meninggalkan ruang sidang memperlihatkan betapa “lelahnya” negara berkembang terus menghadapi permintaan negara maju. Sementara itu, seperti telah disebutkan di atas, negara maju saja enggan mencabut subsidi pertaniannya. Dalam level permainan yang tidak sama, akan sulit bagi negara berkembang untuk berkompetisi dengan negara maju dalam perdagangan produk pertanian jika subsidi masih diselipkan di dalam produk-produk pertanian negara maju. Padahal, sektor pertanian adalah backbone atau tulang punggung bagi rakyat di negara berkembang, yang signifikan tidak hanya karena masalah perdagangan, namun juga karena faktor non-perdagangan terutama berhubungan dengan ketahanan pangan nasional, pembangunan pedesaan, kelestarian lingkungan, dan nafkah bagi jutaan petani miskin di negara berkembang.

Praktik perdagangan yang tidak adil ini direspon Indonesia dengan proposal Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP-SSM) bersama-sama dengan kelompok negara berkembang G33 (Indonesia adalah pemimpin kelompok negara G33), yang pada intinya hendak melindungi komoditas sensitif pertanian, yang seharusnya dikeluarkan dari agenda liberalisasi pertanian. Akan tetapi, Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, menolak proposal ini. Di tahun ini, dua kali Lamy bertandang ke Indonesia untuk melobi Indonesia dan negara berkembang, namun perundingan minggu lalu di Postdam makin menunjukkan betapa “lelahnya” negara berkembang atas praktik perdagangan yang tidak adil ini.

Ketiga, macetnya perundingan WTO ini melahirkan satu tren baru dalam perdagangan internasional, yakni perjanjian kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreements - FTAs) yang makin mengemuka di antara negara-negara dunia. Para ahli perdagangan internasional mengindentifikasi hal ini dengan melihat maraknya perjanjian ekonomi bilateral ataupun regional. Dent (2006) menyebutkan di kawasan Asia-Pasifik, sekurangnya ada 67 kesepakatan perdagangan bebas yang sudah dan akan ditandatangani di tahun 2005. Kemunculan fenomena ini disebabkan terutama oleh macetnya perundingan di WTO sehingga negara tidak bisa mengambil manfaat perdagangan dari perundingan tersebut. Ketika rejim perdagangan di tingkat multilateral macet, negara –negara di dunia beramai-ramai mengalihkan strategi perdagangannya di tingkat bilateral atau regional.

Munculnya Kesepakatan Perdagangan Bebas

Munculnya kesepakatan perdagangan bebas atau FTAs ini sebenarnya memutar logika dasar perdagangan internasional. Melalui rejim multilateral, perdagangan internasional bersifat non-discriminatory, artinya setiap negara mendapatkan perlakuan yang sama ketika berdagang dengan negara lain. Sedang, kebalikannya, rejim perdagangan bebas bilateral menghendaki adanya sifat preferential bagi beberapa negara yang menjadi mitra perdagangan khususnya. Artinya, tidak setiap negara memiliki akses yang sama terhadap perdagangan di suatu negara. Logika yang semacam ini kemudian membuat negara berlomba melakukan FTAs karena ketakutan negara tidak mendapatkan akses pasar ke negara mitra dagangnya ketika mitra dagang tersebut melakukan FTAs dengan negara lain. Ketakutan itu meluas, dan akhirnya terjadi semacam silang singkarut dalam struktur perdagangan internasional, karena setiap negara tidak mau kalah bersaing dalam memperebutkan akses pasar ke negara lain. Bhagwati (2004) dan Dent (2006) menyebut hal ini dengan fenomena spaghetty bowl atau spaghetty yang saling menjulur tidak beraturan dan tumpang tindih dalam sebuah mangkuk yang diumpamakan sebagai dunia.Dalam posisi bilateral, negosiasi menjadi lebih fleksibel karena mempertimbangkan aspek-aspek yang ada di kedua negara. Menurut Khor (2005) karena fleksibilitas tersebut, biasanya FTAs mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perdagangan bebas. Dalam kesepakatan bilateral dengan AS, misalnya, setiap negara didorong untuk melakukan liberalisasi investasi dengan membentuk bilateral investment treaty (BIT). Karena cakupan yang lebih luas tersebut, banyak pengamat perdagangan internasional menyebut FTAs sebagai WTO-plus. Artinya, tidak sekadar cakupan liberalisasi yang lebih luas, namun juga tingkat liberalisasi yang dilakukan terhadap suatu sektor juga makin tinggi.

Sebenarnya, dalam WTO yang telah disepakati secara multilateral untuk diliberalisasi adalah sektor pertanian dan industri, serta penegakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terkait Perdagangan. Beberapa kesepakatan lain seperti sektor jasa atau investasi belum dapat disepakati, atau hanya disepakati secara plurilateral (beberapa negara saja) seperti belanja pemerintah (government procurement). Namun, dalam FTAs, justru investasi yang menjadi “buldoser” atau “prasyarat awal” dilakukannya FTAs.

Selain itu, dalam FTAs tingkat liberalisasi juga semakin tinggi, misalnya, dalam HaKI terkait perdagangan. Dalam kesepakatan WTO, paten obat-obatan esensial bagi negara berkembang tidak harus dibayar, melainkan dapat menggunakan mekanisme lisensi wajib atau impor paralel. Secara sederhana, kedua mekanisme itu memungkinkan memperoleh obat-obatan bagi penyakit yang urgen, seperti HIV/AIDS, dengan lebih murah, atau dapat dikembangkan sendiri oleh industri farmasi nasional. Akan tetapi, dalam FTAs, hal tersebut tidak akan terjadi, karena negara maju memberikan standar yang lebih tinggi, seperti pembatasan impor paralel, paten atas zat hayati, atau perpanjangan masa paten (Barizah, dalam Chandra, 2007).

Dengan adanya rejim perdagangan bilateral dan antarkawasan yang berkarakter WTO-plus ini, maka terlihat bahwa proses liberalisasi perdagangan kini makin berjalan cepat. Proses perundingannya pun lebih cepat dibandingkan dengan proses sebuah negara masuk ke dalam WTO. Artinya, dalam hal merubah kebijakan nasional, FTAs ini dapat menjadi cepat dan efektif dibandingkan cara-cara perundingan multilateral yang banyak terdapat konflik kepentingan antarnegara; bukan saja antara negara maju dan negara berkembang, namun juga antara sesama negara maju atau sesama negara berkembang.

Indonesia sendiri, dalam kerangka FTAs, telah menyepakati ASEAN-China FTA, dan yang sedang dalam negosiasi adalah Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (EPA), India-ASEAN FTA, dan dalam tahap pra-negosiasi adalah ASEAN-UE FTA dan Indonesia-AS FTA. Maksud dari pra-negosiasi adalah kedua negara atau kawasan sedang menjajaki ke arah FTAs, baik dalam mempersiapkan modalitas kerjasama atau melakukan prasyarat pembentukan FTAs.

WTO, Kesepakatan Perdagangan Bebas, dan Keadilan Perdagangan

Kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu Kongres AS tahun ini membawa implikasi bagi berlangsungnya Putaran Doha – putaran perundingan WTO saat ini. Berkuasanya Partai Demokrat di parlemen akan mengganti kebijakan administrasi otoritas perdagangan (fast track) AS awal bulan Juli ini. Sejauh ini Partai Demokrat menekankan pada standar lingkungan hidup dan buruh yang akan berpengaruh terhadap kebijakan perdagangannya. Oleh karena itu, apakah Kongres akan memperpanjang fast track akan menjadi pertanyaan penting bagi keberlangsungan Putaran Doha. Jika AS bersedia menggeser posisinya dan memberikan tawaran baru yang cukup meyakinkan negara berkembang, maka mungkin akan lain ceritanya.

Namun, beralihnya pertarungan perdagangan internasional ke tingkat bilateral dan regional juga tidak ditanggapi secara optimis oleh beberapa kalangan. Karakter WTO-plus malah akan menyudutkan negara berkembang yang memang mempunyai level perekonomian di bawah mitra dagangnya. Cerita mengenai bergabungnya Meksiko ke dalam North American Free Trade Agreement (NAFTA) tahun 1992 dapat menjadi contoh bagaimana interaksi yang asimetris atau tidak setara antara negara berkembang dan negara maju menjadi semakin asimetris ketika Meksiko bergabung dalam NAFTA. Pada tahun 1998, dilaporkan Meksiko mengalami defisit perdagangan dan produk pertanian unggulannya tidak mendapat akses pasar yang besar ke AS (Scott, 1998). Bahkan, studi yang dilakukan Bank Dunia menyatakan bahwa sepuluh tahun setelah bergabungnya Meksiko di NAFTA, Meksiko mendapat hasil yang mengecewakan. Tidak hanya Meksiko, setahun setelah Australia melakukan FTA dengan AS di tahun 2005, dilaporkan mengalami defisit perdagangan (Chandra dan Kinasih, dalam Chandra, 2007).

Ketika tren perdagangan internasional beralih, masalah substansial dalam perdagangan internasional masih belum teratasi juga, yakni mewujudkan perdagangan yang adil. Grieco (1995) mengatakan bahwa selalu ada tantangan dalam kerjasama atau organisasi internasional yaitu karakter anarki dari masing-masing negara. Anarki berarti tidak ada pengaturan tunggal yang bisa mengatur perilaku semua negara. Oleh karena watak anarki inilah, kata “keadilan” menjadi sesuatu hal yang sulit dicapai dalam tatanan internasional. Setiap negara berusaha memaksimalkan kepentingannya, dan ini mengantarkan pada upaya pencapaian kekekalan hegemonik negara. Dengan keadaan seperti ini, posisi negara berkembang akan semakin terpojok dan fair trade hanya akan menjadi slogan serta gerakan utopia semata.

Kebuntuan Putaran Doha di Postdam ini, pada akhirnya, dapat menjadi momen yang tepat bagi negara berkembang untuk meneriakkan perdagangan yang adil antar negara dan memperhatikan agenda pembangunan negara berkembang, karena Putaran Doha sendiri mengusung semangat Doha Development Agenda, bukan hegemonic agenda. (*)

Categories:

Tidak ada komentar: