Rabu, 10 Desember 2008

Sukoharjo, Spiritualitas, dan Wayang


Saya dibesarkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, yakni Kabupaten Sukoharjo yang lekat dengan kebudayaan luhur Jawa. Kabupaten yang terletak di selatan Kota Surakarta atau Solo ini mempunyai potensi alam yang cukup bagus, khususnya dalam sektor pertanian. Sukoharjo dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia ketika masa Orde Baru. Di masa kini, Sukoharjo dikenal sebagai salah satu daerah penyokong Kota Surakarta yang mulai dipengaruhi oleh budaya industri dan urban. Akan tetapi, di beberapa tempat yang masih jauh dari perkotaan, budaya setempat masih cukup terjaga dengan baik.

Salah satu nilai yang hidup di masyarakat Sukoharjo adalah nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas ini tidak semata berarti religius, yang tereduksi dalam simbol-simbol keagamaan, namun spiritualitas dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, hubungan antar alam, sekaligus hubungan dengan Sang Pencipta Kehidupan. Spiritualitas ini dapat terjaga baik, karena sejarah maupun kondisi masa kini masyarakat setempat yang senantiasi menjaga alam. Di tempat saya tinggal, banyak petani yang tergantung hidupnya dari alam. Ilmu pengetahuan lokal mengenai alam, seperti kapan masa tanam, masa panen, atau kapan hama tikus menyerang, sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan petani padi maupun petani sektor lainnya. Bahkan, sebelum Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih berdiri di Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, pada awal tahun 1990-an, petani setempat sudah mempunyai pengetahuan lokal mengenai membuat/mengawinsilangkan benih sehingga menjadi benih unggul. Nilai-nilai spiritualitas ini dianggap berharga oleh masyarakat baik secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, dengan karakteristik masyarakat yang agraris dan mengandalkan alam dalam kehidupan sehari-harinya, pengetahuan mengenai alam sangat diperlukan untuk mengantisipasi kegagalan panen. Pengetahuan mengenai alam ini yang kemudian mengantarkan mereka menjadi spiritualis, karena memanfaatkan alam, dalam filosofi masyarakat Jawa, adalah salah satu bentuk sangkan paraning dumadi. Sangkan paraning dumadi secara sederhana dapat diartikan sebagai "dari asal, akan kemana tujuan, dan akhir perjalanan hidup”. Pandangan akan sangkan paraning dumadi ini menggambarkan bahwa filosofi hidup masyarakat Jawa berbeda dengan filsafat Barat (yang banyak dipelajari di universitas atau perguruan tinggi). Jika filsafat Barat bertujuan mencari kearifan atau wisdom, maka filsafat Jawa berusaha mencari kesempurnaan atau perfection atau "kasampurnan". Filosofi ini yang kemudian menghantarkan pada nilai-nilai spiritual yang mengakar pada masyarakat Jawa pada umumnya, dan Sukoharjo pada khususnya. Namun, dalam konteks relevansi “yang global” dan “yang lokal”, kedua tujuan itu pada akhirnya sama, yakni bermuara pada akar truth atau kebenaran.

Dalam filosofi “kesempurnaan” masyarakat Jawa, hidup bukan lagi semata masalah materi, karena ada tujuan immaterial di atas materi yang lebih luhur nilainya. Menurut pendapat saya, ada tiga nilai dasar yang dihidupi masyakat namun tetap dihadapi hingga saat ini yang berakar dari pandangan kesempurnaan hidup ini. Yang pertama, nilai mengenai “budi pekerti”, yaitu kesopanan yang berlaku antara yang tua dan yang muda, antara orang yang baru dikenal (tamu) dengan orang yang sudah lama dikenal, atau antara anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga yang luas dalam masyarakat Jawa. Yang kedua adalah nilai mengenai “kepemimpinan”. Kepemimpinan ini mengacu pada gagasan-gagasan mengenai negara yang ideal, pemimpin yang bijaksana, kehidupan masyarakat yang sejahtera dan lain sebagainya. Yang ketiga adalah nilai mengenai “keadilan”. Keadilan ini mengacu pada hubungan antara manusia, bagaimana manusia tidak rakus untuk mencaplok hak-hak orang lain, bagaimana yang kuat tidak menindas yang lemah, dan lain sebagainya. Nilai-nilai inilah yang menurut saya, secara de facto dihadapi oleh masyarakat Jawa dari masa ke masa. Kegelisahan akan nilai-nilai yang terus berubah dilukiskan, misalnya, dalam sejarah mengenai syiar Islam yang dilakukan Walisongo di tanah Jawa. Salah satu ajaran Walisongo adalah “Molimo” yang kemudian menjadi tuntunan budi pekerti masyarakat Jawa, lebih khusus lagi dalam konteks penyebaran agama Islam di Jawa. Dalam masa kerajaan, masyarakat Jawa juga dihadapkan pada teka-teki masalah kepemimpinan dan keadilan, kegelisahan akan kepemimpinan dan keadilan dilukiskan dalam sejarah Joko Tingkir (yang kemudian membentuk Kesultanan Pajang), atau Patih Gajah Mada yang bersumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara. Dalam konteks yang paling aktual, masyarakat Jawa pun dihadapkan pada nilai-nilai mengenai “budi pekerti”, “kepemimpinan”, atau “keadilan”. Dalam masa krisis 1997-1998, masyarakat Sukoharjo juga turut resah dengan kabar-kabar dari Jakarta mengenai korupsi (cerminan dari nilai budi pekerti), pemerintahan yang goyah karena krisis moneter (cerminan dari nilai-nilai kepemimpinan), serta harga barang-barang pokok yang mahal, salah satunya beras (cerminan dari nilai-niali keadilan). Keresahan itu yang kemudian memunculkan kerusuhan di sekitar Kota Surakarta (termasuk Kabupaten Sukoharjo) pada bulan Mei 1998, walaupun banyak analis politik menyebutkan kerusuhan itu karena ulah provokator. Akan tetapi, secara umum, tiga nilai itu yang diyakini menjadi “kotak pandora” masyarakat Jawa yang harus ditahan dan dirawat agar tidak muncul sebagai penderitaan dan kesengsaraan.

Menurut Ward H. Goodenough (1981), kebudayaan adalah pengetahuan bersama yang dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Dalam pengertian ini, Goodenough tidak melihat kebudayaan secara formal saja, namun juga meliputi pengetahuan bersama yang bersumber dari kognisi. Menurut Goodenough, kebudayaan diletakkan sebagai gagasan yang secara sistematis menghubungkan dunia kognitif individu dan perilaku kolektif komunitas/penduduk/masyarakat. Ini artinya, sistem pengetahuan individu dapat merubah perilaku kolektif komunitas, dan pada gilirannya perilaku kolektif dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat setempat mengenai penilaian baik/buruk atau sikap etis terhadap suatu hal.

Dalam kerangka teori Goodenough ini, nilai-nilai spritual masyarakat Sukoharjo dapat terus dipelihara dengan mengedepankan nilai-nilai ”budi pekerti”, ”keadilan”, serta tata negara atau ”kepemimpinan”. Sikap ini menjadi etos masyarakat Jawa (khususnya masyarakat pedesaan) yang masih dapat dijumpai, misalnya saling menyapa ketika berpapasan/bertemu di jalan, di sawah, atau di pasar. Etos lain yang muncul dari nilai ”keadilan” adalah etos solidaritas, misalnya ketika ada saudara yang sakit atau terkena musibah, saudara yang lain ikut membantu untuk meringankan beban saudaranya tersebut. Etos masyarakat Jawa lainnya muncul di pasar. Di pasar ini, ada nilai-nilai lokal yang tumbuh bahwa perempuan dapat pula berdaya dan mandiri secara ekonomi dengan berdagang di pasar. Etos seperti ini sebenarnya adalah proses yang kognitif serta afektif yang berharga dalam menyikapi semangat feminisme global. Dari pasar ini, kita dapat mendekonstruksikan wacana mengenai budaya Jawa yang patriarki, menjadi sebuah wacana kebudayaan yang mengedepankan etos perempuan dan kepemimpinan tidak harus dari laki-laki. Perempuan yang berjualan di pasar biasanya bangun lebih pagi dari suaminya, berangkat ke pasar sebelum ufuk menjelang, dan menggunakan uang hasil penjualannya untuk biaya sekolah atau kesehatan anak-anak mereka. Etos ini melahirkan sebuah pengetahuan bersama yang didasari oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa. Etos ini mempunyai makna yang positif dalam konteks pembangunan. Jika pemimpin dapat memanfaatkan etos ini untuk kebaikan bersama, dan pengetahuan bersama mengenai etos tersebut terjaga dengan baik, maka masyarakat pun dapat berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat. Pemerintah daerah dapat memberikan intervensi sosial dengan memberikan arahan-arahan dengan program dan kebijakan yang memungkinkan etos tersebut terpelihara.


Pertunjukan Wayang sebagai Sarana untuk Memelihara Nilai-nilai

Saat ini etos tersebut masih cukup terpelihara walau ditantang dengan munculnya arus globalisasi dan kapitalisme yang deras dewasa ini. Serbuan hypermarket atau ritel multinasional telah menghancurkan relasi-relasi sosial masyarakat Jawa yang berakar di pasar tradisional. Media-media tekonologi informasi, seperti internet, telah menimbulkan dua mata sisi yang berlawanan. Di satu sisi, internet menawarkan akses informasi tanpa batas ke semua negara, namun di sisi lain, internet juga mengikis relasi-relasi sosial masyarakat dewasa ini, ataupun mengikis nilai-nilai budi pekerti lewat beberapa situs-situs internet yang mengumbar libido .

Lewat media-media lokal, nilai-nilai tersebut dapat terpelihara, salah satunya melalui pertunjukan wayang (sayangnya sekarang makin jarang), baik wayang kulit maupun wayang orang. Wayang adalah salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan dari cipta, rasa, dan karsa yang tinggi. Falsafah wayang diharapkan dapat memberi jawaban atas pandangan-pandangan mendasar tentang kebenaran dan realita yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan hidup. Falsafah wayang yang bertujuan "ngudi kasampurnan" menampilkan pandangan antara lain terhadap hal-hal secara metafisika, epistimologi, serta aksiologi. Filsafat wayang itu sangat religius. Pemikiran-pemikiran religius sangat dominan, bahkan seluruh ruang lingkup filsafat ini merupakan simbol manifestasi kekuasaan Tuhan ; manusia dan alam digambarkan dengan indah dalam setiap pergelaran wayang, utamanya pada lakon Dewa Ruci, Bima Suci, Kresno Gugah, Sastra Jendra dan Begawan Ciptoning.

Pandangan epistemologi wayang terhadap kehidupan juga terlihat. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa dan bagaimana pengetahuan itu. Dalam pergelaran wayang banyak mengandung simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Bagaimana kita memahami simbol-simbol dalam pergelaran wayang? Hal ini menuntut kognisi atau pemahaman dari sisi pengamat atau penonton. Pemahaman yang dangkal dari penonton juga akan mengakibatkan pengertian yang dangkal juga mengenai nilai-nilai kehidupan. Dari sisi pergelaran wayang sendiri mengandung contoh-contoh mengenai pemahaman, baik terhadap alam, manusia dan Tuhan. Utamanya, di dalam cerita sangat kaya sekali menggambarkan adanya contoh-contoh tentang pemahaman.

Aksiologi adalah filsafat nilai. Dalam wayang nilai-nilai ini sangat dominan, karena memang misinya adalah menyampaikan pesan moral. Di dalam wayang ada banyak nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika.

Selain wayang, ada beberapa media yang digunakan untuk memelihara nilai-nilai etis di Jawa, misalnya dengan penggunaan bahasa Jawa di antara masyarakat yang bertingkat-tingkat. Nilai-nilai budi pekerti, terutama yang muda menghormati yang tua terlihat dengan perbedaan penggunaan bahasa dengan kromo inggil, kromo madya, dan ngoko. Cerita-cerita rakyat juga sering digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan di dalam diri anak, misalnya cerita mengenai Kancil Nyolong Timun, atau Timun Mas, yang berusaha menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan keadilan. Tradisi itu tetap hidup walaupun berada di bawah bayang-bayang arus modernitas dan globalisasi.


Yang Emik Menjadi Yang Etik ?

Kajian kebudayaan selanjutnya menempatkan fonemik dan fonetik sebagai salah satu fokus kajian. Fonemik adalah tuturan khas yang dijumpai di sebuah bahasa yang tersendiri, sedang fonetik adalah tuturan secara umum yang dapat diucapkan manusia sesuai dengan organ-organ tubuhnya, misalnya lidah, tenggorokan, paru-paru dan lainnnya. Kajian emik adalah kajian yang melihat sesuatu yang khas di masyarakat lokal yang signifikan untuk dilihat, sedangkan kajian etik berusaha melihat sesuatu yang secara objektif ada di dalam setiap individu.

Dalam konteks pembangunan, kajian emik melihat kearifan lokal mana yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan masyarakat. Kearifan lokal itu dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun kearifan lokal tersebut signifikan untuk dilihat dalam proses pembangunan. Di dalam tulisan ini telah dipaparkan bahwa nilai-nilai spiritualitas masyarakat Sukoharjo menjadi objek emik dalam pembangunan. Nilai-nilai tersebut berharga untuk menjaga norma yang ada di masyarakat. Dalam tulisan ini juga ditunjukkan bagaimana masyarakat merawat nilai-nilai itu, salah satunya melalui pertunjukan wayang.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang emik tersebut dapat menjadi sesuatu yang etik ? Menurut pendapat saya, yang emik dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat, namun untuk menjadi etik, tentunya harus dilihat kesesuaianya dengan etika global lainnya. Pada kenyataannya, di dalam masyarakat Sukoharjo sesuatu yang dipahami secara emik juga dipahami oleh masyarakat di tempat lain, misalnya nilai-nilai mengenai keadilan. Yang bermanfaat, sesuatu yang emik ini dapat difungsikan sebagai cara-cara yang lebih partisipatoris dalam menggerakkan etika global. Misalnya, penanaman nilai anti-korupsi tidak harus didekati dengan pendekatan berbasis hak seperti yang ada di dalam masyarakat Barat, tapi dapat didekati dengan pendekatan budi pekerti dan takut pada Tuhan. Sama halnya, untuk mentransfer ide-ide John Rawls mengenai keadilan (libertarian justice), dapat digunakan metode dan ide-ide yang telah berkembang di masyarakat Sukoharjo mengenai bagaimana mereka mempersepsikan keadilan.


* sebelum menulis tulisan ini, penulis sama sekali tidak attach dengan kebudayaan asalnya. tiba-tiba ketika membaca sebuah tulisan, pandangan itu berubah 180 derajat.



Referensi :

Timothy Begaye, Native Teacher Understanding of Culture as a Concept for Curricular Inclusion, Jurnal Wicazo Sa Review - Volume 22, Number 1, Spring 2007

Ward H. Goodenough, Culture, Language, and Society 2d edition, California : Benjamin/Cummings, 1981

Sides Sudyato DS, Wayang, Kebudayaan dan Nasionalisme Poskolonial , diunduh dari: http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=75&page=1

Sabtu, 29 November 2008

People-Centered Regionalism ?

What is the meaning of Southeast Asia regionalism? Southeast Asian is slowly bounded ASEAN agreements, i.e. ASEAN Charter, Free trade agreements, or AFTA. NGOs and some mass media criticized ASEAN as an elite group; they only draw government-to-government relations, but don’t put people as the subject of regionalism.
By 2003, ASEAN has shifted its regionalism into ‘community’ model of regionalism. Community means that there are members of the community owning shared identity and shared responsibility (Ife&Tesoriero, 2002). Also, it means that ASEAN should develop its regionalism into ‘bottom-up’ process. Top-down process, to some extent, is still needed, but ‘bottom-up’ process is also important to build genuine regionalism. The idea of regionalism is not only unite the states, but also the society. If not, the benefit of regionalism would be difficult to be reached by precisely the society.
In my opinion, there are two different principles between state regionalism (old regionalism) and people-centered regionalism (new regionalism).
First, the old focuses on financial capital, which concentrates on the accumulation of financial capital that might be owned by big companies or the have. Whilst the poor lack of resources, social capital is the solution came from new regionalism. According to Robert Putnam 2006, social capital refers to the collective value of all social network and the inclinations that arise from these networks to do things for each other.
Second is the paradox between power and empowering. The old regionalism was perceived as drawing its power from units of government above and below it. The new regionalism gains power by empowering. In many places, part of this empowerment is directed toward neighborhoods and communities, with the objective of getting them constructively engaged in regional decision making. Empowerment also consists of engaging nonprofits and for-profits in governance decisions that were once treated as the domain of the public sector alone. Using the approach of empowerment is based on the assumption that new interests bring new energy, authority, and credibility; in short, it grows power or capacity in order to move a regional agenda. Obama also employed this approach when campaigning and speaking out on the election.
The solution would not be black or white, old or new. It could be mixed. The bottom-up approach might be called as idealist, whilst the top-down is more political realist. The bottom-up might be so naïve, but it depends on who would call the confusion of regionalism: you, as an agent itself, or you, as follower?

Selasa, 25 November 2008

Ahhh There I Am !

"There are three things extremely hard: steel, a diamond, and to know one's self." - Benjamin Franklin



Beberapa hari lalu, saya mengaduk-aduk kembali beberapa koleksi buku. Menelusuri satu per satu buku, tapi tampaknya tidak semua topik benar-benar saya sukai. Ini berawal dari tugas di salah mata kuliah yang cukup decisive, sehingga saya harus berpikir mengenai tesis apa yang akan saya ambil. Sekarang ini, di Pascasarjana, bacaan yang saya hadapi berbeda dari topik Hubungan Internasional yang saya pelajari di S1, walaupun masih ada kaitannya. Mulanya saya senang-senang saja mendengarkan kuliah Profesor Tangdilintin, tapi ketika saya mencari rujukan buku kuliahnya, seperti “Poverty and Social Exclusion”, “Social Development”, dan lain-lain, saya ngantuk banget baca bukunya. Sama ngantuknya dengan membaca buku Anthony Giddens mengenai Teori Kapitalisme dan Perubahan Sosial dari Durkheim, Marx, dan Weber.


Kemudian ingatan saya mundur beberapa tahun ke belakang, dan mulai mempertanyakan kembali, “Jadi sebenernya bidang ilmu yang cocok dengan saya apa, ya?” Pertanyaan itu mungkin kelewat terlambat, karena saya sendiri sudah lulus dari S1 sejak dua tahun lalu. Bahkan, sempat berkuliah S1 di dua tempat dan jurusan yang berbeda. Tapi, sampai saat ini masih ada sisa-sisa yang mengganjal. Jika memutar waktu, di ujung masa SMU dulu, saya sempat bingung juga : mau ngambil jurusan apa, ya? Maksudnya, jurusan yang cocok dengan saya. Yang pertama, Teknik, yang jadi mainstream anak-anak IPA waktu itu (selain kedokteran), saya merasa tidak cocok sama sekali. Nilai Fisika saya standar, dan melihat apa yang dipelajari di masa matrikulasi seorang mahasiswa Teknik sungguh pusing : Fisika I, Fisika II, dan Fisika III. Can’t help! Kedua, Kedokteran, sebenarnya belum pernah didalami dan dilihat secara langsung, tapi melihat kakak saya belajar Biokimia dan Faal, saya jadi minder sendiri. Apakah saya sanggup? Sepertinya otak saya nggak mampu ke situ. Sebenarnya di antara mata kuliah IPA yang lain, yang paling saya suka adalah Matematika. Berniat mau masuk Statistika, tapi dilarang oleh orang tua, katanya : Mau jadi apa ? Pilihan berikutnya, Ekonomi. Tadinya saya ingin masuk juga jurusan Ekonomi Pembangunan, tapi tidak jadi. Belakangan, merasa beruntung juga tidak masuk Ilmu Ekonomi karena pusing juga dengan ekonometri yang saya lihat di beberapa buku. Akuntansi ? Big No. Saya bermasalah dengan coding. Pilihan terakhir, Hukum. Dalam hati saya, “Kok kayaknya hapalan semua. Bisa mati kutu aku.” Apalagi saya bukan orang yang taat hukum (alias suka curi-curi kesempatan untuk melanggar) dan pusing membaca UU yang berpasal-pasal itu, jadi pilihan untuk kuliah di Fakultas Hukum jauh-jauh ditinggalkan. Sepertinya cuma ada yang di benak saya sebagai siswa SMU dari jurusan IPA memandang.


Lepas dari SMU, bertemulah saya dengan Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan (campur aduk banget). Pokoknya mata kuliahnya masih sama dengan SMU banget deh. Yang membuat berbeda dari SMU adalah kesempatan mempelajari buku-buku tebal yang belum pernah saya sentuh sebelumnya di SMU. Beberapa waktu kemudian, saya terpaku di sebuah perpustakaan yang sunyi di atas Danau Dramaga IPB. Rupanya sedang asik membaca buku terbitan CSIS mengenai Indonesia tahun 1990-an. Entah mengapa, dua hari membaca buku itu di perpustakaan hati saya tergerak untuk mempelajari ilmu sosial lebih lanjut. Dan kemudian, setelah lepas dari Kampus Dramaga, terjunlah saya di lautan lepas ilmu sosial yang menurut saya lebih menarik daripada ilmu alam.


Perkenalan pertama, bertemu dengan mata kuliah-mata kuliah Hubungan Internasional, seperti : Sejarah Dunia Modern, Teori Hubungan Internasional, Politik Internasional, Organisasi Internasional, Kajian Strategi, Ekonomi Politik Internasional, dan Diplomasi Modern. Kecanduannya masih pada level 2, alias masih waras. Yang paling jadi discouragement saya adalah mata kuliah Sejarah Dunia Modern dan Kajian Strategi yang sebagian besar bicara mengenai pertahanan keamanan. Dalam hati saya, “Kok kayaknya saya ngantuk banget yah, bicara soal postur pertahanan beserta paramiliternya atau Sejarah Perang Vietnam.” Poin lebih saya berikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Perkenalan kedua di Hubungan Internasional adalah belajar terapan dari teori itu, seperti : Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan, Politik Global Amerika, Hubungan Internasional di Timor Tengah dan Afrika, Hubungan Internasional di Eropa, Jepang dan Negara Industri Baru, atau Hubungan Internasional di Amerika. Kecanduan saya sudah berada pada level 4, alias sudah hampir ekstase. Menurut saya, ternyata lebih menarik mempelajari HI dengan melihat pada dinamika masalah di tingkat kawasan. Dinamikanya pun beraneka ragam, mulai dar dinamika politik, ekonomi, dan sosial (misalnya masalah migrasi, pengungsi, atau ancaman-ancaman baru). Analisis saya, ini karena saya lebih cenderung berpikir empirik ketimbang berpikir di alam ide. Empirisme dalam belajar HI ini juga membuat saya sering bertanya-tanya pada hal-hal yang ada di masyarakat, seperti misalnya pertanyaan Mengapa masyarakat negara A miskin? Mengapa ide besar mengenai nasionalisme tidak bisa menyentuh masyarakat perbatasan? Mengapa permasalahan perebutan sumberdaya alam selalu terjadi di kawasan A meskipun militer sudah turun tangan di sana untuk mengatasinya? Dengan pola pikir yang empiris juga, saya kemudian menyelesaikan skripsi dengan dasar keingintahuan mengenai, “Mengapa bantuan internasional ke negara X tidak menyelesaikan masalah kemiskinan di negara itu ? Apa yang salah ?”


Setelah lulus, ketika berselancar ilmu pengetahuan pada institusi yang mengagung-agungkan pendekatan materialisme Marx pun saya tetap saja gundah pada pertanyaan, “Apakah ketergantungan dan ketimpangan hubungan menjadi sebab utama tertinggalnya di sebuah masyarakat atau negara?” Kalau melihat beberapa data yang tersuguh, saya sepertinya yakin. Ternyata keyakinan itu runtuh karena setiap berkunjung ke lapangan, saya selalu menjumpai jawaban, “Kalau buat kami (petani), sederhana saja, bagaimana produk saya bisa laku dan mempunyai nilai jual yang tinggi.” Bukan masalah agribisnis yang ingin dikritisi, tapi ada sistem perilaku tertentu yang telah hidup di masyarakat.



Kemudian pengembaraan itu sampai pada kubu ilmu baru yakni Pembangunan Sosial (yang dikelola oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial). Dalam ilmu ini, saya belajar tiga level intervensi sosial yang bisa merubah “nasib” sekelompok masyarakat : level mikro yakni di tingkat individu dan keluarga, level mezzo di tingkat komunitas, dan level makro di tingkat komunitas serta kebijakan. Ketika duduk di kelas Dinamika Perilaku Manusia yang membahas secara mikro, saya seperti mendapat suntikan amunisi baru. Psikoanalisis, Behavioralisme, dan Humanistik menjadi alat bedah baru dalam memahami mengapa masyarakat begini dan mengapa pembangunan tidak berjalan. Baru beberapa hari membaca sebuah buku berjudul Essentials of Psychology karangan Benjamin Lahey, sepertinya saya tingkat kecanduan saya sudah mencapai level 4,8 !!! Freud, Carl Jung, Karen Horney, Erikson, Maslow, Skinner, Kohlberg, Watson, you’re all rocks !!!


Kata orang perasaan suka itu bisa datang tiba-tiba dan bisa pula tiba-tiba menghilang. Mungkin saat ini ekstase saya yang mendalam karena empirisme ini tiba-tiba bisa mendarat dengan tepat. Ruang bifurkasi antara rasionalisme – empirisme menemukan keseimbangan atau equilibrium yang baru. Seperti secangkir kopi yang menemukan takaran yang pas antara kopi dan gulanya. Kalau di awal saya menyebutkan kalau saya empiris, bukan berarti saya tidak meletakkan ide (rasio) sama sekali. Justru karena saya empiris, maka untuk menjawab kegelisahan empiris, saya berpikir mengenai ide-ide secara logis kan ?


Narsisme yang muncul berikutnya adalah perasaan lega yang mengatakan, “Ahh, there I am !!” Oleh karena itu, mungkin ini yang menjadikan jawaban atas olok-olok ketika zaman mahasiswa dulu. Ketika ditanya, “Jadi Juno ini hijau, merah, atau biru sih? Kok nggak jelas gitu. ” Maka ada yang menjawabnya dengan, “Nggak tau. Tengah kali, ya.” Mungkin kecuekan saya terhadap ideologi adalah karena saya melihat ideologi tidak relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Ideologi adalah sesuatu yang secara nilai bisa benar, tapi belum tentu benar secara kognitif. Terkait dengan ideologisasi, menurut saya, dari sudut pandang pemikiran Piaget bisa dinyatakan, “Jangan-jangan mekanisme pergaulan dalam lingkaran ideologi itu yang menjadi pembelajaran sosial (social learning) untuk bersikap dan bertindak seperti ideolog?” Yang paling tepat, menurut saya, adalah sikap empiris yang diturunkan menjadi sikap yang reflektif.

Minggu, 09 November 2008

Otonomi Daerah dan Perut yang Kosong


Di suatu siang yang menjemukan, kami terlibat diskusi yang dengan seorang dosen yang pemikirannya tidak pernah menjemukan. Penyandang gelar profesor itu bertanya kepada seisi kelas kami, “Apakah menurut kalian pembangunan sosial sudah berjalan di Indonesia?” Ada seribu jawaban di sana. Ada seribu bantahan mengiringinya. Sampai pada satu titik, kami mendiskusikan mengenai otonomi daerah, yang saat ini menjadi arah pembangunan di negeri ini. Otonomi daerah bukan saja dibicarakan secara hangat oleh pembuat kebijakan, tapi juga dicatat oleh kamera wartawan yang meliput kerusuhan di daerah-daerah karena ketidakpuasan hasil Pilkada.

Dari salah seorang staf pemerintahan, saya mendengar bahwa biaya untuk menyelenggarakan Pilkada Jawa Timur adalah sebesar 900 milyar rupiah. Jumlah yang cukup fantastis. Biaya yang dikeluarkan ini hanya salah satu gambaran biaya yang ada di satu provinsi. Biaya yang ada di depan mata lainnya adalah biaya pemekaran provinsi atau kabupaten/kotamadya. Pemekaran sebuah provinsi atau kotamadya memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara sederhana saja : Berapa uang yang harus keluar untuk membentuk kantor pemerintahan daerah beserta dinas-dinasnya sekaligus untuk menggaji semua stafnya. Tidak sedikit.

Tapi, kebanyakan dari berita otonomi daerah yang nampak di televisi tidak menggembirakan. Kerusuhan, ketidakpuasan, bahkan kemiskinan masih menjerat warga yang daerahnya sudah diotonomikan. Kalau dilihat lebih jauh pun, pendapatan asli daerah (PAD) tidak bisa sepenuhnya menopang pengeluaran di daerah tersebut. Di daerah-daerah yang PAD-nya masih minim, pemerintah pusat mensuplai banyak. Artinya, otonomi hanya terletak pada kekuasaan eksekutif saja. Beberapa daerah masih tergantung dari pusat untuk pendanaan.

Yang meruak dari otonomi daerah pasca keluarnya UU No.32 tahun 2004 adalah motivasi untuk menjadi pemegang kekuasaan di daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil di daerah sudah banyak dianalisis oleh sosiolog atau ilmuwan politik. Kue kekuasaan yang sudah terbagi ini kemudian menjadi ‘bancakan’ bagi mereka yang duduk di pemerintahan daerah. Beberapa daerah kemudian gagap dalam menyusun alokasi belanja pemerintah daerah. Pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya menjadi alasan bagi terbentuknya pemerintah daerah yang lebih otonom kadangala tidak tercakup, karena orientasi pemerintahan daerah adalah pembangunan fisik : membangun jalan, membangun stadion olahraga, atau membangun gapura selamat datang.

Kembali dalam pertanyaan di atas, apakah pembangunan sosial sudah berjalan di negeri ini, ternyata pembangunan yang mengarah pada otonomi daerah tidak lantas melahirkan pembangunan sosial yang bericirikan “bottom-up”. Pendek kata, pembangunan sosial hanya dimaknai pembangunan yang berasal dari atas, tanpa ada timbal balik dari masyarakat, meskipun sudah secara politik sudah menjalankan otonomi daerah. Karena dalam pendekatan pembangunan dari bawah yang dilakukan dalam otonomi daerah, kebanyakan tidak optimal. Wacana “pembangunan dari bawah” – yang masih asing di masyarakat- tidak seharusnya disikapi dengan institusionalisme pembangunan di tingkat lokal. Ibarat cermin, wacana seharusnya dipantulkan kembali dengan wacana. Membangkitkan alam wacana adalah dengan menggerakkan nilai-nilai. Itu artinya sebelum mendemokratisasikan pemerintahan, nilai-nilai demokrasi yang seharusnya ditanamkan di masyarakat. Sebelum memberdayakan institusi pemerintahan lokal, seharusnya nilai-nilai “berdaya” yang harus ditanamkan di masyarakat. Thee Kian Wie, salah satu ekonom Indonesia pernah berkomentar di bukunya, “ Beginilah akibatnya kalau demokrasi di Indonesia dilakukan dengan kondisi perut yang lapar.” Dalam konteks ini, bisa dimaknai bahwa karena masyarakat tidak “berdaya”, dan yang tersedia untuk disantap adalah kue kekuasaan yang makin banyak (karena demokrasi), maka yang terjadi adalah berebut kue itu agar mereka kenyang dan berdaya. [J]

Badut (Sebuah Fiksi)

Alika malu punya bapak seorang badut sirkus. Tiap kali Alika masuk ke ruang kelas, semua mata seolah tertuju padanya. Hanya ingin mengatakan satu hal : Alika anak pemain badut ! Begitu yang ia rasakan.

Kegelisahan Alika makin menjadi-jadi tatkala Deon dan gank-nya mengolok-olok Alika ketika istirahat tiba. ”Alika, adik gue mau ulang tahun nih. Bokap lo bisa datang nggak?” Atau, ”Pantesan lo suka makan donat, Lik. Orang bokap lo aja mukanya kayak donat!” Biasanya, olokan itu diiringi gelak tawa teman-teman Deon lainnya.

Deon memang keterlaluan. Tapi beberapa guru dan siswa-siswi lain menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang lumrah. Keluarganya adalah keluarga terpandang. Bapaknya saja pengusaha yang punya jabatan di pemerintahan. Semua guru tahu berapa sumbangan yang diberikan oleh orang tua Deon ketika ia memasuki sekolah ini.

Alika bersekolah di sebuah es-em-pe negeri yang terbilang favorit di kotanya. Beruntung Alika bisa masuk ke sekolah itu. Berkat keenceran otaknya, Alika masuk ke sekolah itu tanpa hambatan. Beberapa teman Alika tergolong biasa-biasa saja, bahkan ada yang cenderung berkekurangan, namun ada juga yang bergaya elit. Tidak semua mereka yang anak jenderal, walikota, pengusaha, dan lainlainnya bisa lolos seleksi Nilai Ebtanas Murni (NEM). Ada juga yang beli bangku.

Teman Alika berasal dari latar belakang yang beragam. Danti, teman sebangkunya, anak seorang dosen di sebuah perguruan tinggi. Aldo, si ketua kelas, adalah anak kolong. Tampilannya pun disesuaikan dengan anak kolong : rambut cepak dengan tubuh yang tegap. Reisya, teman yang sering pulang bersama Alika, adalah anak seorang manajer hotel kenamaan. Sepulang sekolah, biasanya Reisya dan Alika naik mikrolet bersama. Bagi mereka perbedaan status sosial tidak menjadi masalah. Sedang Ahmad, yang sering meminjam catatan-catatan Alika, adalah orang yang paling sebal dengan perlakuan Deon terhadap Alika.

Kenapa sih, bapakku seorang pemain badut ? Apa Bapak nggak bisa ganti pekerjaan saja ? Begitu yang selalu dipikirkan Alika setiap hari.

”Kenapa Bapak tidak berhenti saja menjadi seorang badut sirkus ? ” tanya Alika suatu hari kepada bapaknya.

”Alika, nggak boleh begitu. Bapak yang membayar uang sekolah kamu.Bapak juga yang memberikan makanan bergizi yang kita makan setiap hari, ” pungkas Ibu Alika.

”Tapi kan, Alika malu, diledekin terus sama teman-teman di sekolah, ” kilah Alika cepat.

Braak. Pintu kamar Bapak dan Ibu Alika ditutup dengan kasar. Kedua orang tua Alika hanya bisa menghela nafas pelan.

Lama-lama, teman-teman Alika sudah lupa dengan ejekan itu. Tapi Alika masih gelisah tiap hari. Ketika ia berjalan di lorong kelas, Alika merasa ada yang menertawakan Alika di belakangnya. Ketika ia maju di depan kelas, Alika merasa seolah-olah semua mata memandang kepadanya seraya membatin, ”Badut.” Hingga Alika merasa tempat paling nyaman untuknya adalah toilet belakang laboratorium IPA. Di situ ia bisa menertawakan dirinya sendiri. Sembunyi dari kenyataan yang begitu pahit buatnya. Sekaligus sambil membaca buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Begitu bel istirahat berbunyi dua kali – tanda istirahat telah selesai- ia bergegas bangkit dari panggung yang ia ciptakan sendiri.

Panggung yang ada di luar toilet terlalu masam untuknya. Meskipun sebenarnya badut sirkus dari negeri nyata itu tak pernah menghampiri Alika di panggung di luar toilet, namun Alika merasa ia telah bertransformasi menjadi seorang badut. Sangat lucu untuk ditertawakan penonton panggung.

Sementara itu, badut sirkus yang sebenarnya sedang mengurai keringatnya. Berjalan dari satu

panggung ke panggung lainnya. Memainkan permainan yang tidak semua orang bisa : trampolin, permainan tongkat, atau sulap. Menuai tepuk tangan dari penonton. Diajak berfoto bersama dengan anak-anak seusia es-de dan te-ka.

Sepertinya lain. Badut sirkus sangat menikmati perannya di sebuah panggung. Sedang badut kecil itu sangat tersiksa dengan bayangan badutnya. Badut sirkus juga perlahan mulai menambah tebal kantongnya. Beberapa kali pertunjukan ia suguhkan kepada warga negara asing di kota itu yang mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak mereka. Sungguh itu sangat berarti, tak hanya untuk sekadar menyeka keringatnya, tapi juga untuk menghidupi si badut kecil.

”Kamu tahu kenapa topeng badut itu selalu tertawa Lik? ” tanya Bapak Alika suatu hari, ketika Alika sudah beranjak dewasa. Alika hanya menggeleng lemah, seraya meneruskan jahitan roknya yang berwarna abu-abu yang akan dikenakannya besok dalam upacara bendera di sekolah. Alika kini sudah memasuki bangku SMU. ”Karena badut selalu berjiwa besar. Ia tidak akan sakit hati dan putus asa jika mendapat banyak cemooh.”

Lalu Bapak Alika kembali mengelap kostum badut-badutnya. Topeng-topeng itu seolah kembali menertawakan Alika. Alika luruh dalam sedih dan kecewa. Topeng yang dihiasi bagian tubuh yang hiperbolis itu menatap Alika. Seolah ingin mengatakan, ”Jangan bersedih. Semua yang ada dalam kostum yang hiperbolis ini hanyalah tanda semata. Topeng ini bukan realitas dari hidup Alika.”

Realitasnya, Alika bisa bersekolah dengan lancar dan memperoleh nilai-nilai gemilang. Realitasnya, Ibu Alika sekarang bisa membuka usaha kecil-kecilan dari topeng ini. Topeng ini hanya tanda.

****

Washington, di sebuah musim semi yang indah

Toilet dingin di sudut kantor itu mengingatkan gadis manis itu pada masa remajanya.Gadis itu masih senang berlama-lama dalam toilet. Entah apa yang ia pikirkan, tapi gadis itu selalu merasa dalam keadaan chaos dan order ketika merenung dalam toilet. Titik itulah yang membuatnya nyaman. ”Seperti mendamaikan oposisi biner,” katanya.

”Alika, is that you?”

“Yeah...Cussie?”

”Come on, Alika. What have you done that long there? You need yoga class, ha ?”

“I’ve just...remembered my childhood, Cussie. Are there any business?”

“Come on, dear. You have to follow yoga class. Please come with me every Wednesday, a fter office hours. O , ya, Matthew is looking for you. He needs your assistance.”

“Allright. I’m coming soon.”

Gadis itu segera membuka selot toilet. Ia merapikan blazer-nya yang sedikit kusut di bagian belakang. Lantas, bergegas menuju ke meja kerjanya.

Alika Suhandono.Anak badut sirkus itu baru saja merampungkan studi master Public Policy di George Washington University. Ia mendapatkan beasiswa Fullbright dan beberapa sponsor lain. Saat ini ia bekerja di sebuah kantor Perserikatan Bangsa-bangsa di Washington untuk program hak asasi manusia. Ia hanya berharap visanya bisa terus diperpanjang. Agar ia bisa terus berada dalam toilet barunya : Amerika Serikat.

Di negeri ini, Alika tak akan lagi teringat pada badut-badut lucu yang menertawakannya. Juga tak ada lagi yang mengolok dia sebagai anak tukang sirkus. Yang orang-orang tahu adalah Alika yang cerdas. Alika yang lulus dari Washington University dengan predikat cumlaude. Alika yang ditawari beberapa pekerjaan di tempat-tempat prestisius.

Setelah merampungkan pekerjaannya, Alika memberesi semua barang-barangnya.Ia tidak langsung pulang ke flat-nya. Sore ini ada pesta ramah tamah duta besar baru di KBRI. Semua mahasiswa Indonesia yang ada di Washington diundang, termasuk Alika yang pernah menjadi sekretaris untuk Ikatan Mahasiswa Indonesia di sana. SMS dari Aryo, teman dekatnya, membuat ia semakin tergesa.

”Buruan lik. dah mo mulai ni. ada mhs baru juga.”

Alika menyetop bis yang menuju ke arah kedutaan Indonesia. Di dalam bis, ia menyaksikan

pertunjukan badut-badut di taman kota. Beberapa anak kecil nampak tertawa kegirangan. Badut dengan lincah memainkan beberapa atraksi. Atraksi sepeda yang dipilih oleh badut-badut itu untuk menghibur anak-anak. Alika sendiri sekarang sudah sedikit merasa nyaman dengan badut –badut itu. Ia sudah menemukan keseimbangan antara chaos dan order-nya.

Pesta dimulai tepat pukul enam dengan diawali basa-basi pidato duta besar baru.Alika tidak terlalu tertarik mendengarkan pidato itu. Ia banyak berbincang-bincang dengan Aryo dan Nimas, temanteman baiknya. Tiba-tiba ada yang mengagetkan Alika. Punggungnya ditepuk dari belakang oleh seseorang ketika ia masih ngobrol dengan Aryo. Alika berbalik untuk melihat siapa gerangan yang telah menepuknya.

”Deon !”

Laki-laki itu tampak malu-malu sambil menjulurkan tangannya, mengajak Alika bersalaman.

”Kamu disini juga sekarang?” Sosok Alika terlihat lebih percaya diri. Tidak terlihat raut kesal karena lelaki ini yang telah memperoloknya sewaktu dia duduk di bangku es-em-pe.

”Iya, gue mahasiswa baru. Tapi gue sih nggak dapet beasiswa kayak lo. Gue ngambil studi tata kota di Arizona State University. Ini gue lagi mampir aja ke Washington. Kebetulan dubesnya temen bokap gue,” jawab Deon dengan ramah. Jauh lebih ramah ketika mereka masih duduk di bangku putih biru.

”It’s like junior high reunion! Ha-ha-ha,” Alika tertawa.

”Lik, jaman kita es-em-pe dulu, gue nggak sopan banget ya.”

”Udahlah.Forget it”

”Iya, sih, dengan kondisi lo saat ini, lo bisa bilang sudahlah.”

Lika tertawa. Begitu pun dengan Deon. Suasana sudah cair.

”Oya, apa kabar bokap lo? Katanya ....”

Deon segera menimpali, ”Ya, pasti lo semua tahu lah cerita tentang bokap gue. ”

Bapak Deon menduduki jabatan sebagai ketua salah satu partai di Indonesia. Ia diangkat menjadi seorang menteri di pemerintahan saat ini. Namun, belakangan Bapak Deon dicokok polisi lantaran korupsi yang dilakukannya senilai miliaran rupiah. Berita mengenai korupsi yang dilakukan Bapak Deon ini cukup membuat heboh media-media nasional, hingga tercium sampai ke Washington.

”Seharusnya lo bangga sama bokap lo,” Deon memandangi Alika lekat.

”Tapi lo yang menghancurkan kebanggaan gue terhadap Bapak?” Alika setengah protes.

”Meskipun bokap lo seorang badut sirkus, ia bukan badut politik yang terlihat manis di luar namun sesungguhnya tikus korup di dalam. Badut politik hanyalah sampah masyarakat.”

Alika hanya tersenyum dalam hati.Senyum kemenangan yang selama ini tertahan karena ia selalu minder dengan apa yang ia punyai.Mungkin setelah ini Alika akan merenung dalam toilet flat-nya. Ia ingin berada dalam imajinasi bersama topeng-topeng badut Bapaknya. Sambil bergumam kecil, ” Ketika topeng dibuka, badut bukanlah seorang badut gembul lagi. Ia adalah segurat wajah keriput dengan keringat bercucuran di sekujur kepala untuk kehidupan yang lebih baik.” [J]

Kamis, 30 Oktober 2008

Kehidupan adalah Ibu

Kebetulan kamarku berada di lantai dua. Dari beranda kamar, aku bisa mengamati deretan pepohonan yang tingginya hampir sama dengan lantai di mana saya berpijak. Tak begitu rimbun memang, namun cukup untuk melakukan observasi kecil-kecilan tentang apa yang ada di terjadi di atas pohon-pohon tersebut. Suatu pagi, aku menjumpai suara-suara yang sayup, tapi cukup khas. Ternyata suara itu adalah suara burung yang sedang sibuk membawa alang-alang ke atas pohon sebuah pohon yang agak rindang. Aku menduga itu adalah pohon mangga, karena memang tidak terlalu jelas dari kejauhan.

Aktivitas si burung itu semula biasa, tapi esok harinya aku melihat alang-alang yang dibawa burung itu makin meninggi dan dari jauh terlihat seperti sarang. Ya, sarang burung yang biasa digunakan untuk mengerami anaknya yang lahir ke muka bumi. Kemudian, ketika aku browsing di internet, ternyata cara seorang burung betina membuat sarang sangat luar biasa (untuk ukuran seekor burung). Burung merajut jerami atau alang-alang itu yang dibuat menjadi sebuah bentuk mirip mangkok yang kemudian akan menjadi sarang bagi anaknya. Burung memilih bahan-bahan yang berbeda untuk masing-masing lapisan sarang. Untuk membuat dasar sarang, di lapisan terluar dibentuk dengan jerami atau alang-alang yang bertekstur keras. Makin ke dalam, dasar sarang dirajut dengan bahan yang bertekstur lembut. Dan di dasar sarang lapisan terdalam, di mana burung akan meletakkan telur dan anaknya di lapisan itu, burung merajut dengan alang-alang yang teksturnya paling halus. Kemudian, ketika anak burung itu beranjak dewasa, ibu akan mengajarkan bagaimana cara mencari makan, bagaimana mengerat cara biji-biji makanan, atau bagaimana harus menyesuaikan diri dengan cuaca dengan cara bermigrasi ke daerah yang lebih hangat.

Sebenarnya insting hewani ini sama sekali tidak mengejutkan, karena memang hewan mempunyai naluri untuk melindungi anaknya – apa yang menjadi miliknya yang ia anggap berharga. Seperti halnya kanguru yang meletakkan anaknya di kantung atau kucing yang selalu membawa anaknya kemanapun dengan cara menggigit anaknya, mungkin begitulah naluri hewan ini. Tapi, inspirasi yang aku tangkap dari kisah sarang burung ini cukup berharga : kehidupan itu adalah ibu. Seorang anak burung yang akan terlahir ke dunia telah dipersiapkan dengan baik oleh seorang ibu. Kekuatan ibu adalah kekuatan untuk merawat dan memelihara kehidupan ini.

Bahasa adalah salah satu hal yang diajarkan orang tua kepada anaknya. Sebenarnya yang diajarkan oleh orang tua, ayah dan ibu, tidak hanya bahasa yang mencakup huruf vokal dan konsonan, yang kemudian dirangkai menjadi kata dan akhirnya menjadi kalimat. Namun, bahasa yang diajarkan lebih luas dari itu. Bahasa Indonesia, Inggris, Prancis, dan seterusnya, hanyalah simbol dari sebuah konsensus tertentu sebuah komunitas, suku bangsa, atau negara mengenai sebuah makna. Sedang pengajaran bahasa yang lebih substansif adalah pengajaran bahasa optimisme, harapan, atau kasih sayang. Kualifikasi ibu adalah pengajar untuk bahasa-bahasa tersebut. Dikaitkan dengan teori life-span development dari Erikson, di masa awal kehidupan seorang individu membutuhkan arahan untuk mempelajari kepercayaan dasar dalam hidupnya. Jika individu tidak melalui tahap pertama perkembangan masa hidup tersebut dengan sukses, maka ia tumbuh dengan rasa ketidakpercayaan akan apapun hal di dunia ini. Tidak berlebihan rasanya jika aku menyebutkan di awal tulisan ini bahwa kehidupan adalah ibu. [J]

Kamis, 23 Oktober 2008

Seperti Efemeral


Dulu film Gie yang dibintangi Nicholas Saputra pernah mempopulerkan kutipan, “Tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.” Sampai sekarang pun kutipan itu masih banyak dipakai untuk menorehkan semangat perubahan, terutama bagi generasi muda.


Dulu aku belum bisa mengaitkan antara kutipan itu dengan sebuah kenyataan hidup yang paling nyata. Dalam ilmu botani, dikenal istilah efemeral yakni tumbuhan yang menyelesaikan hidupnya dalam waktu yang amat pendek, biasanya tumbuhan ini hidup di gurun. Begitu telah menghasilan dan menyebarkan bebijian, tumbuhan efemeral pun layu dan mati. Dengan makna yang hampir sama, dalam bahasa Inggris, istilah ephemera dikenal dalam literatur sastra Inggris yang berarti sesuatu yang bersifat sementara dan sesuatu itu akan mati.


Beberapa waktu aku membaca buku Mapping Human History karya Steve Olson yang pada tahun 2002 memenangi sebagai buku sains terbaik versi Discover dan finalis untuk National Book Award di Amerika Serikat. Meskipun pernyataan dalam buku tersebut masih kontroversial, tapi ada satu fakta yang juga disepakati oleh peneliti lainnya : kehidupan bumi telah dimulai sejak 200.000 tahun lalu ketika ada sekelompok manusia yang hidup di Afrika Timur. Bandingkan umur peradaban manusia dengan umur kita. Bandingkan pula umur bumi sejak jaman pleistosin sampai sekarang. Sungguh, manusia modern yang hidup di negara maju sekalipun hanya mempunyai angka harapan hidup sampai usia 77 tahun. Di Indonesia, angka harapan hidup malah hanya sekitar 65 tahun. Angka itu sangat kecil dibandingkan dengan umur bumi ini.


Sekarang aku jadi mengerti maksud lain di balik kutipan di film produksi Miles yang kusebut di atas. Seperti siklus efemeral, manusia akan mati, dan muncul manusia yang lain. Jadi, kalau memang hidup ini hanya sementara mengapa ada orang yang menumpuk sedemikian rupa ? Toh suatu saat apa yang akan kita punya akan musnah.



I do remember laughter that can make my stomach hard
With happiness that make it all pretty, even a dirt
I can remember how long it least
I'm pretty sure it went away so fast
Far too many emotion that taint my soul, before my faith
And often i drown in the moment
When in the end they all ephemera

-
sebuah lirik dari salah satu band Indonesia mengenai Ephemera-

Rabu, 22 Oktober 2008

“Cultural Solidarity in Southeast Asia Might Be Realized by Presenting Various Similarities of Ideas or Behaviors”


On an occasion, I interviewed one of Southeast Asian analysts from University of Indonesia, Semiarto Aji Purwanto. Mas Aji (the nickname I usually call him) who has big attention on agricultural and forestry issues, believes there are many opportunities available for the Southeast Asian people to establish a strong integration at the grass-root level. However, the grass-root integration, according to him, would not be achieved by relying merely on traditional identity; it has to be done through a more dynamic process called ‘consciousness’ or cultural borrowing. Following are the dialogues. The complete version can be read on the Civic Southeast Asia Bulletin September 2008 published by Pacivis University of Indonesia.


What and how is the distribution of ethnicity in Southeast Asia?


Firstly, the concept of “ethnicity” should be defined clearly. In anthropology, ethnicity is a central concept that has been studied since long time ago and the definition is continuosly changing until now. That changing of definition includes scope, description, and the recruitment of certain ethnic groups. In the perspective of evolution, human groups distribution is indicated by the distribution of human races to all corners of the world. We should not mistakenly consider ethnicity as same with race. There are possibilities of confused definitions between ethnicity, nation or nationality, and origin. Take a look at this one example. All this time we have been presented with ancient stories that our ancestors were originated from Yunan, China. Are we putting those Yunan ancestors in the category of ethnicity? Nation? Race? Or origin? By asking this question, I want to bring us to see the importance of the definition of ethnicity before we go any further.

Besides the concept of ethnicity, I also want to narrowing the concept of “ethnic distribution”. There are two comparable concepts. First, migration, which is usually understood as movement. Next, massive migration in a long period of time known as diaspora.

Then, what are the ethnic groups that have spread widely in Southeast Asia? Who are they? I can classify them into two groups based on their original regions within the context of Southeast Asia. First, those who came from mainland Asia and, second, those from the Asian archipelagos. The Malays are obviously within the first group. However, we must be careful in categorizing them as a group that has spread into various regions. Many view them as the real indigenous of Southeast Asia, while other believe them originating in northern part of Southeast Asia. There is no agreement on where the Malays had originated from. This group dominates the Malay Straits: in southern edge of Thailand (Patani), down to all Malaysian peninsula, Sumatra, Kalimantan, Java, Bali, West Nusa Tenggara, Sulawesi, parts of Maluku, up to South Philippines, Mindanao, Sulu, Palawan, the inslands in the middle, until Luzon Island in south.

If we consider the Malays in term of language, which is one indicator of an ethnic group, then the spread of the Malay people also includes islands in central and eastern Indonesia: East Nusa Tenggara, Maluku and south Papua. If we connect the spread of the Malay ethnicity with Islam then the scope should be reduced by excluding the central and east Indonesia and the central and north Philippines.

The second in the group is the Chinese. This term—the Chinese—refers to the ancient monarchy system that has been known in China and being preserved until near the Western colonialism between 14th and 15th century. The Chinese spread into Thailand, Myanmar, Indochina (Vietnam, Cambodia, Laos), Singapore, Malaysia, Brunei, Indonesia, and the Philippines. In the last four countries, the Chinese are not the majority. They came of course not at once, but in several phases and certain directions.

The third is the Arabs, particularly those who came from Yaman (Hadramaut). It could be classified as an ethnic group. Historically, they were known as great and adventurous merchants. Therefore, besides trading, they also stayed in one place for quite a long time, resided and bred their children to become the inhabitants of that new place. They applied this pattern in the Malay Strait, Sumatra, Java, Sulawesi, and North Maluku. They usually lived in small-solid communities and were able to trace their ancestors up to four or five generations above, even more. Besides trading, their migration motive was also to spread their religion.

The fourth is the Indians, who originated in areas stretching from the Muslim dominated area of Gujarat, to Punjab and down to southern India. Similar with the people of Hadramaut, the Indians migration to Southeast Asia was also motivated by trading interest and religion dissemination. The first Indians migration to Southeast Asia can be traced to the beginning of the historic era in the region. The Indians were the first who introduced writing tradition through the traditions of Hinduism and Buddhism that they brought. Several centuries later they came again bringing another religion, Islam. Their descendants also lived in small-solid communities in Indonesia, even though in some cities in northern Sumatra they were quite dominant, as well as in some cities in Malaysia and Singapore.

The second category is ethnic groups that originated in archipelagos. Two ethnic groups that possess a strong adventuring nature are the Minangese and the Bugis people. The people of Minang have traveled out into the territories of Negeri Sembilan and Johor. They had even been able to be on the top stratum of the society there, became kings in many old Malayan monarchs. The Bugis people also traveled as far as the Malaka Strait areas: Malaysia, Singapore, and Brunei. Similar with the Minangese voyagers, some Bugis descendants became parts of the elite society overseas.

A theory in migration studies usually associates population density as one of the causes of migration. In the colonial era, many Javanese people—whose amount were very huge while at the same time inhabiting a relatively small island—were relocated outside the island by the colonial government. Some of them went voluntarily or worked in plantations. In Malaysia and Singapore, several Javanese communities can still be identified. Javanese sub-ethnics or varians like Madura and Bawean can also be found in those countries.

In Kalimantan, the Iban ethnic group has been categorized as the Indonesia-Malaysia border-crosser. Therefore, theoritically they can be considered as have already spread into another country’s region. Most of the Ibanese in Malaysia admit that their ancestors are from West Kalimantan.

How could they become so spread out? For what reason? Besides due to high population density, migration also relates with economic interests: looking for employment and trading. Moreover, regarding the ethnic groups from mainland Asia, their motivation also included religious proselytizing.


Are the Southeast Asian ethnic groups have one similar/identical character/identity?


In culture theory, anthropologists believe that all culture are naturally dynamic: always developing and changing. The development is often through imitation or cultural borrowing. Therefore, in the culture of the Southeast Asian ethnic groups, the influence from various ethnic groups in other countries has been very often occurred. The Malay culture for example, generally disseminated the keris weapon, the silat martial art, the sepak takraw sport, cockfighting, spin top games, sarong clothes, and, of course, language. Language is currently one of the strongest indicators of the Malay culture, although politically the Malay identity is often being connected with Islam.

For migrants originated in mainland Asia, the spirit of entrepreneurship had been their main character. The Indian and Arab communnities barely had other expertise besides trading. It has only been since this modern time the Indians have entered the intellectual sector at campuses in Singapore and Malaysia. The Ramayana and Mahabarata epics were two cultural existences in Southeast Asia that had initially been strongly influenced by the Indians. The spread are equal across the Indochina, Thailand, Myanmar, Malaysia, Singapore, and Indonesia. At the same time with the dissemination of those epics, the gamelan instrument and the wayang puppet theater were also spread out. The Indian influence are no longer dominant in Brunei and the Philippines.

The Chinese group in the archipelagos were usually also involved in commerce, even though in the mainland Asia like Indochina, Myanmar, and Thailand most of them were farmers. Rich culinaries were the Chinese’s biggest contribution to the Southeast Asian region. Various kinds of their culinary have mixed with local flavors, but still maintain their original Chinese character. The Chinese culinary art have spread equally across the Southeast Asian mainland and archipelagos.


Historically, is there any solidarity among Southeast Asian ethnic groups?


Solidarity among different ethnic groups in Southeast Asia? It is quite difficult to explain. If the solidarity is among the members of certain ethnic groups that subsequently spread into other regions/countries, then it is present. We can see it, even until now, within the Indian, Chinese, and Arab communities, also within the Javanese communities in Malaysia, Brunei, and Singapore, or even in a small group of the Bawean people in Singapore. The same thing also occurs among the Bugis-Makassar and Minangese voyagers in Malaysia and Singapore. We see the Malay villages, the Bugis villages, the Arab villages,

the China towns, etc. as the manifestations of solidarity among members of particular ethnic groups that taking place in form of regional unity.

Solidarity between different ethnic groups seems to occur in form of specific alliances. Economy and politics often became the reasons, although sometimes the motivation was religion. Solidarity among the Malays in South Philippines, for example, is very related to politics as well as religion. In Singapore, the Malay minority—whether from Brunei, Malaysia, or Indonesia—are congregated in the Singaporean Ulema Council, which operates in religious sector but actually aims to strengthening their economic positions in the society.

In political history, the alliances of ethnic groups have often counterproductive and presented racial discriminations. The history of the establishment of Malaysia and Singapore, has shown such a very strong segregation between the Malay and Chinese ethnics. As the result, we can see now that there is a time bomb in the relations of those ethnics in the two countries. Even the last case has shown that the integration of Malaysia has been shocked by the strengthening solidarity among the Indian descendants who urge for a more equal social-political rights.


Do you see any possibility to develop regional solidarity among Southeast Asian people in the future?


Absolutely. However, the two main questions are what are the foundations for developing such solidarity and what are the goals? If the solidarity is going to be based on ethnic groups, then, I suppose, we should just forget about it. Ethnic group solidarity, in its most solid form, will be as dangerous as racialism. Ethnicity and racialism share one basic similarity in form of exclusivity, which is then extended into discrimination toward other groups on the basis of certain stereotypes. Therefore, this kind of solidarity should not be encouraged. In many cases, the colonialist power often treated solidarities within ethnic groups as their political commodities, just like in Malaysia and Singapore, and it is to some extent happening now in South Philippines.

Nevertheless, it is probably necessary to encourage the emergence of a cultural solidarity that recognizes various similarities of ideas or behaviors among the Southeast Asian people. This cultural solidarity can be used to promote social identity in search of nationality, nationalism, and nationhood. This kind of idea has been extensively recognized in the Philippines, which is culturally westernized, and in Singapore, which is Chinese-western dominated. This phenomenon is of course only being felt by some groups which socio-cultural identities are presently undergoing a struggle phase. The almost same things happen in South Thailand in form of religious domination and in Myanmar in form of authoritarian-socialist political system domination. These are common among the Indochina countries. Hypothetically, who knows that someday Malaysia and Indonesia, which have been undergoing massive Islamization during the last 20 years, will experience a return to their roots of ethnic or cultural identities.

What is the goal of establishing a regional solidarity? What is going to be achieved or opposed? Is it a political system? We have already agreed about democracy; in ASEAN, only Myanmar that the democracy has yet to be recognized by the other countries. Or is it an economic-political system? While in fact, capitalism along with its industrialization has become the main goal of all countries now... Or is it a penetration of certain ideologies? Religious radicalism? Terrorism? It can also be related there...and probably we should revitalize ASEAN. [J]

Sabtu, 14 Juni 2008

Jasa, TRIPs, dan Pertanian : Tiga Bahaya ASEAN EU FTA bagi Indonesia


Akhir-akhir ini jumlah kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTA - Bilateral Free Trade Agreements) dan juga kesepakatan di tingkat regional semakin meningkat, dan banyak dari bentuk erdagangan ini dapat ditemukan di kawasan Asia Tenggara, seperti perjanjian perjanjian perdagangan bebas yang dibuat antara Asosiasi negara-negara Asia Tenggara (ASEAN - Association of Southeast Asian Nations) dan tiga negara-negara Timur Laut Asia, seperti Republik Rakyat China (RRC), Jepang, dan Korea Selatan, atau kerjasama antara ASEAN dan Uni Eropa yang saat ini sedang dirundingkan.

Fenomena perdagangan seperti ini perlu ditelaah lebih lanjut, khususnya mengenai implikasi yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara yang terlibat dalam jenis perdagangan bebas seperti ini. Dalam kesepakatan perdagangan bebas yang sedang dirundingkan antara ASEAN dengan Uni Eropa (ASEAN EU FTA) akan membawa tantangan yang signifikan bagi negara-negara di Asia Tenggara, terutama karena karakter dua kawasan yang berbeda, di mana UE merupakan sekumpulan negara maju sedangkan di ASEAN masih banyak negara berkembang yang mempunyai permasalahan ekonomi domestik yang lebih kompleks dibandingkan engara yang sudah lebih mapan secara ekonomi. Beberapa penelitian (lihat Chandra 2007, Robles 2006) menunjukkan bahwa kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-UE FTA ini justru diperkirakan akan semakin memperdalam ketidakseimbangan hubungan ekonomi antara kedua kawasan tersebut. Meskipun terdapat banyak peringatan dan kritik yang ditujukan terhadap rencana pelaksanaan ASEAN EU FTA ini, tendensi yang ada justru memperlihatkan negara-negara ASEAN maupun UE tidak memiliki rencana sedikitpun untuk menunda, atau membatalkan, pelaksanaan negosiasi perdagangan ini dalam waktu dekat. Melihat keadaan tersebut, maka sudah seharusnya ASEAN EU FTA yang sedang diupayakan ini mempertimbangkan pula sasaran-sasaran pembangunan untuk pihak yang lebih lemah, yang dalam hal ini adalah ASEAN.

Saat ini, UE tidak hanya merupakan sebuah entitas ekonomi, namun juga sebuah Uni yang semakin meluas, yang memiliki kemmpuan untuk emnjalankan power yang melampaui superpower ekonomi global lainnya. Di sisi lain, ASEAN belum berhasil untuk berubah menjadi suatu entitas ekonomi supranasional yang mampu untuk berkompetisi dengan Uni Eropa dalam tingkat global. Negosiasi perdagangan yang mungkin akan berdampak pada banyak sektor dalam masyarakat, harus tetap terbuka, transparan, dan accountable untuk diawasi oleh masyarakat. Proses konsultasi panjang baik pada tingkat nasional maupun regional juga harus dilaksanakan, mengingat dinamika di bidang perdagangan juga akan berdampak secara luas (seperti masalah sosial, lingkungan, dan seterusnya).

Kami melihat ada tiga bahaya besar yang akan diterima Indonesia / negara berkembang lainnya di ASEAN jika menyepakati kesepakatan perdagangan bebas dengan EU. Pertama, bahaya bagi sektor jasa di Indonesia (terutama perbankan), bahaya dengan penerapan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang makin ketat di Indonesia, dan bahaya ekspansi industri pertanian modern Eropa ke Indonesia.

Secara umum, liberalisasi perdagangan dengan menghilangkan peran negara di dalam perekonomomian bersumber dari paradigma neoliberalisme. neoliberalisme merupakan bentuk modern liberalisme klasik dengan 3 (tiga) ide utamanya; yaitu pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (yakni kebebasan dan tanggung jawab individu). (Adams, 2004). Implikasi dari perpaduan ide pasar bebas dengan marjinalisasi peran negara dan pengutamaan tanggung jawab individu, adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembiayaan terhadap sektor-sektor strategis yang menopang hajat hidup orang banyak.

Jasa adalah salah satu sektor strategis yang banyak dijalankan oleh penduduk Indonesia. Untuk jasa pasokan bahan-bahan pokok, misalnya, penduduk Indonesia mengandalkan pasar-pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi, setelah tahun 1998, di Indonesia dilakukan kebijakan “open door” bagi ritel-ritel asing dan pemodal di Indonesia yang memungkinkan ritel raksasa menjangkau pasar yang sudah dijangkau oleh pasar-pasar tradisional. Persaingan bisnis ritel pada era FTA tidak melibatkan pebisnis ritel tradisional dan pebisnis ritel modern domestik seperti Hero, Ramayana, dan Matahari. Tetapi juga dari pebisnis ritel modern asing seperti Carrefour, raksasa ritel asal Perancis, anggota Uni Eropa. Data dari Invesment and Banking Research Agency (INBRA) menunjukkan masuknya ritel asing berupa hypermarket dapat menguasai pangsa pasar sampai 32,3 persen tahun 2001. Kenyataan lain yang menarik menunjukkan adanya ekspansi bisnis ritel domestik sampai ke wilayah kecamatan. Minimarket seperti Alfa dan Indomaret perlahan menguasai pasar yang tadinya milik ritel tradisional. Data dari INBRA menjelaskan bahwa 80% omset ritel tradisional terganggu karena hadirnya minimarket. Melihat dari Letter of Intent (LoI) Indonesia dan IMF, masuknya investor asing di bisnis ritel Indonesia adalah syarat dari IMF untuk mengucurkan dana bagi Indonesia.

Di sektor perbankan, liberalisasi perbankan makin tak terbendung Sejak Mc. Kinnon, konsultan Bank Dunia, mengemukakan gagasan kebijaksanaan liberalisasi keuangan untuk negara-negara berkembang pada tahun 1973, maka banyak negara berkembang (termasuk Indonesia ) telah melaksanakan kebijaksanaan ini. Kebijaksanaan liberalisasi keuangan telah direkomendasikan oleh Mc. Kinnon setelah melihat efek negatif yang telah ditimbulkan oleh kebijaksanaan represi keuangan (financial repression policy) yang sebelumnya telah dijalankan oleh banyak negara-negara berkembang ini. Efek negatif ini adalah dalam bentuk distorsi yang ditimbulkan terhadap mekanisme pasar uang. Kebijaksanaan liberalisasi keuangan menghapuskan kontrol atas tingkat bunga, sehingga tingkat bunga nominal bebs bergerak menuju pada posisi yang melebihi tingkat inflasi yang bermakna terbentuknya tingkat bunga riil yang positif.

Sedang di dalam aspek HaKI, paten merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap Intelectual Property Rights (IPR), seperti halnya hak cipta atau merek dagang sebagai bentuk insentif dan imbalan terhadap suatu penemuan. Landasan dari paten ini adalah untuk mendorong penemuan-penemuan komersial, sementara pengetahuan yang melatar-belakangi penemuan tersebut disebarkan kepada masyarakat. Pengetahuan tersebut bebas bagi setiap orang untuk menggunakannya dan memanfaatkannya secara komersial, tetapi hasil penemuan tetap rahasia, dan ada insentif ekonomi terhadap hasil temuannya.

Masalah HaKI/Paten merupakan masalah nasional dan internasional yang terus berkembang dan menimbulkan pro-kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara, terutama yang berkaitan dengan globalisasi perdagangan dan masalah pemanfaatan kekayaan keanekaragaman hayati dan kehidupan dunia Iptek. Ini permasalahan yang sangat kompleks terutama karena adanya dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar.

Di tingkat nasional, masalah HAM telah dilontarkan terutama oleh kalangan LSM dalam kaitannya dengan kesepakatan Internasional yaitu Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan World Trade Organization (WTO). Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi semua kesepakatan internasional tersebut di atas dan menuangkannya dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam UU HAKI (UU No 13/1997) dirasakan belum mampu mengantisipasi aspek-aspek kemajuan produk industri bioteknologi. Undang-undang tersebut antara lain belum bisa menjawab masalah landasan konseptual mengenai apa yang dapat atau tidak dipaten terutama dalam kaitannya dengan aspek sosio-budaya dan sosio-ekonomi.

Melalui TRIPs negara-negara industri berusaha melindungi barang dagangannya dan ini merupakan kekalahan bagi negara berkembang. Perkembangan terakhir dalam masalah IPR adalah bahwa bahan informasi genetik (DNA) yang merupakan bahan hakiki untuk menunjang kemampuan hidup mulai dipatenkan. Sampai dengan tahun 1995, kurang lebih ada 1.200 fragmen DNA telah dipatenkan. Ada banyak perusahaan Eropa yang berkepentingan terhadap penerapan TRIPs di Indonesia, seperti misalnya Novartis, Glaxo Smith Cline, Merck, Zeneca, dan Bayer. Bagi perusahaan yang berusaha mematenkan bahan-bahan hayati ini, paten berguna untuk : 1) memperoleh akses secara lebih mudah terhadap bahan-bahan dasar industri mereka 2) menjamin bahwa negara-negara berkembang yang membeli produk mereka akan membeli harga produk dengan biaya mahal, karena harus membayar IPR kepada produsen barang-barang itu. Perusahaan-perusahaan kimia itu biasanya memproduksi produk-produk farmasi (obat-obatan) sekaligus produk-produk bioteknologi (benih tanaman pertanian). Dengan adanya perluasan pasar produk-produk mereka melalui FTA juga penerapan prinsip-prinsip TRIPs lewat FTA, maka perusahaan-perusahaan kimia Uni Eropa mengeruk banyak keuntungan dengan adanya ASEAN EU FTA.