Rabu, 10 Desember 2008

Sukoharjo, Spiritualitas, dan Wayang


Saya dibesarkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, yakni Kabupaten Sukoharjo yang lekat dengan kebudayaan luhur Jawa. Kabupaten yang terletak di selatan Kota Surakarta atau Solo ini mempunyai potensi alam yang cukup bagus, khususnya dalam sektor pertanian. Sukoharjo dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia ketika masa Orde Baru. Di masa kini, Sukoharjo dikenal sebagai salah satu daerah penyokong Kota Surakarta yang mulai dipengaruhi oleh budaya industri dan urban. Akan tetapi, di beberapa tempat yang masih jauh dari perkotaan, budaya setempat masih cukup terjaga dengan baik.

Salah satu nilai yang hidup di masyarakat Sukoharjo adalah nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas ini tidak semata berarti religius, yang tereduksi dalam simbol-simbol keagamaan, namun spiritualitas dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, hubungan antar alam, sekaligus hubungan dengan Sang Pencipta Kehidupan. Spiritualitas ini dapat terjaga baik, karena sejarah maupun kondisi masa kini masyarakat setempat yang senantiasi menjaga alam. Di tempat saya tinggal, banyak petani yang tergantung hidupnya dari alam. Ilmu pengetahuan lokal mengenai alam, seperti kapan masa tanam, masa panen, atau kapan hama tikus menyerang, sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan petani padi maupun petani sektor lainnya. Bahkan, sebelum Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih berdiri di Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, pada awal tahun 1990-an, petani setempat sudah mempunyai pengetahuan lokal mengenai membuat/mengawinsilangkan benih sehingga menjadi benih unggul. Nilai-nilai spiritualitas ini dianggap berharga oleh masyarakat baik secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, dengan karakteristik masyarakat yang agraris dan mengandalkan alam dalam kehidupan sehari-harinya, pengetahuan mengenai alam sangat diperlukan untuk mengantisipasi kegagalan panen. Pengetahuan mengenai alam ini yang kemudian mengantarkan mereka menjadi spiritualis, karena memanfaatkan alam, dalam filosofi masyarakat Jawa, adalah salah satu bentuk sangkan paraning dumadi. Sangkan paraning dumadi secara sederhana dapat diartikan sebagai "dari asal, akan kemana tujuan, dan akhir perjalanan hidup”. Pandangan akan sangkan paraning dumadi ini menggambarkan bahwa filosofi hidup masyarakat Jawa berbeda dengan filsafat Barat (yang banyak dipelajari di universitas atau perguruan tinggi). Jika filsafat Barat bertujuan mencari kearifan atau wisdom, maka filsafat Jawa berusaha mencari kesempurnaan atau perfection atau "kasampurnan". Filosofi ini yang kemudian menghantarkan pada nilai-nilai spiritual yang mengakar pada masyarakat Jawa pada umumnya, dan Sukoharjo pada khususnya. Namun, dalam konteks relevansi “yang global” dan “yang lokal”, kedua tujuan itu pada akhirnya sama, yakni bermuara pada akar truth atau kebenaran.

Dalam filosofi “kesempurnaan” masyarakat Jawa, hidup bukan lagi semata masalah materi, karena ada tujuan immaterial di atas materi yang lebih luhur nilainya. Menurut pendapat saya, ada tiga nilai dasar yang dihidupi masyakat namun tetap dihadapi hingga saat ini yang berakar dari pandangan kesempurnaan hidup ini. Yang pertama, nilai mengenai “budi pekerti”, yaitu kesopanan yang berlaku antara yang tua dan yang muda, antara orang yang baru dikenal (tamu) dengan orang yang sudah lama dikenal, atau antara anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga yang luas dalam masyarakat Jawa. Yang kedua adalah nilai mengenai “kepemimpinan”. Kepemimpinan ini mengacu pada gagasan-gagasan mengenai negara yang ideal, pemimpin yang bijaksana, kehidupan masyarakat yang sejahtera dan lain sebagainya. Yang ketiga adalah nilai mengenai “keadilan”. Keadilan ini mengacu pada hubungan antara manusia, bagaimana manusia tidak rakus untuk mencaplok hak-hak orang lain, bagaimana yang kuat tidak menindas yang lemah, dan lain sebagainya. Nilai-nilai inilah yang menurut saya, secara de facto dihadapi oleh masyarakat Jawa dari masa ke masa. Kegelisahan akan nilai-nilai yang terus berubah dilukiskan, misalnya, dalam sejarah mengenai syiar Islam yang dilakukan Walisongo di tanah Jawa. Salah satu ajaran Walisongo adalah “Molimo” yang kemudian menjadi tuntunan budi pekerti masyarakat Jawa, lebih khusus lagi dalam konteks penyebaran agama Islam di Jawa. Dalam masa kerajaan, masyarakat Jawa juga dihadapkan pada teka-teki masalah kepemimpinan dan keadilan, kegelisahan akan kepemimpinan dan keadilan dilukiskan dalam sejarah Joko Tingkir (yang kemudian membentuk Kesultanan Pajang), atau Patih Gajah Mada yang bersumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara. Dalam konteks yang paling aktual, masyarakat Jawa pun dihadapkan pada nilai-nilai mengenai “budi pekerti”, “kepemimpinan”, atau “keadilan”. Dalam masa krisis 1997-1998, masyarakat Sukoharjo juga turut resah dengan kabar-kabar dari Jakarta mengenai korupsi (cerminan dari nilai budi pekerti), pemerintahan yang goyah karena krisis moneter (cerminan dari nilai-nilai kepemimpinan), serta harga barang-barang pokok yang mahal, salah satunya beras (cerminan dari nilai-niali keadilan). Keresahan itu yang kemudian memunculkan kerusuhan di sekitar Kota Surakarta (termasuk Kabupaten Sukoharjo) pada bulan Mei 1998, walaupun banyak analis politik menyebutkan kerusuhan itu karena ulah provokator. Akan tetapi, secara umum, tiga nilai itu yang diyakini menjadi “kotak pandora” masyarakat Jawa yang harus ditahan dan dirawat agar tidak muncul sebagai penderitaan dan kesengsaraan.

Menurut Ward H. Goodenough (1981), kebudayaan adalah pengetahuan bersama yang dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Dalam pengertian ini, Goodenough tidak melihat kebudayaan secara formal saja, namun juga meliputi pengetahuan bersama yang bersumber dari kognisi. Menurut Goodenough, kebudayaan diletakkan sebagai gagasan yang secara sistematis menghubungkan dunia kognitif individu dan perilaku kolektif komunitas/penduduk/masyarakat. Ini artinya, sistem pengetahuan individu dapat merubah perilaku kolektif komunitas, dan pada gilirannya perilaku kolektif dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat setempat mengenai penilaian baik/buruk atau sikap etis terhadap suatu hal.

Dalam kerangka teori Goodenough ini, nilai-nilai spritual masyarakat Sukoharjo dapat terus dipelihara dengan mengedepankan nilai-nilai ”budi pekerti”, ”keadilan”, serta tata negara atau ”kepemimpinan”. Sikap ini menjadi etos masyarakat Jawa (khususnya masyarakat pedesaan) yang masih dapat dijumpai, misalnya saling menyapa ketika berpapasan/bertemu di jalan, di sawah, atau di pasar. Etos lain yang muncul dari nilai ”keadilan” adalah etos solidaritas, misalnya ketika ada saudara yang sakit atau terkena musibah, saudara yang lain ikut membantu untuk meringankan beban saudaranya tersebut. Etos masyarakat Jawa lainnya muncul di pasar. Di pasar ini, ada nilai-nilai lokal yang tumbuh bahwa perempuan dapat pula berdaya dan mandiri secara ekonomi dengan berdagang di pasar. Etos seperti ini sebenarnya adalah proses yang kognitif serta afektif yang berharga dalam menyikapi semangat feminisme global. Dari pasar ini, kita dapat mendekonstruksikan wacana mengenai budaya Jawa yang patriarki, menjadi sebuah wacana kebudayaan yang mengedepankan etos perempuan dan kepemimpinan tidak harus dari laki-laki. Perempuan yang berjualan di pasar biasanya bangun lebih pagi dari suaminya, berangkat ke pasar sebelum ufuk menjelang, dan menggunakan uang hasil penjualannya untuk biaya sekolah atau kesehatan anak-anak mereka. Etos ini melahirkan sebuah pengetahuan bersama yang didasari oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa. Etos ini mempunyai makna yang positif dalam konteks pembangunan. Jika pemimpin dapat memanfaatkan etos ini untuk kebaikan bersama, dan pengetahuan bersama mengenai etos tersebut terjaga dengan baik, maka masyarakat pun dapat berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat. Pemerintah daerah dapat memberikan intervensi sosial dengan memberikan arahan-arahan dengan program dan kebijakan yang memungkinkan etos tersebut terpelihara.


Pertunjukan Wayang sebagai Sarana untuk Memelihara Nilai-nilai

Saat ini etos tersebut masih cukup terpelihara walau ditantang dengan munculnya arus globalisasi dan kapitalisme yang deras dewasa ini. Serbuan hypermarket atau ritel multinasional telah menghancurkan relasi-relasi sosial masyarakat Jawa yang berakar di pasar tradisional. Media-media tekonologi informasi, seperti internet, telah menimbulkan dua mata sisi yang berlawanan. Di satu sisi, internet menawarkan akses informasi tanpa batas ke semua negara, namun di sisi lain, internet juga mengikis relasi-relasi sosial masyarakat dewasa ini, ataupun mengikis nilai-nilai budi pekerti lewat beberapa situs-situs internet yang mengumbar libido .

Lewat media-media lokal, nilai-nilai tersebut dapat terpelihara, salah satunya melalui pertunjukan wayang (sayangnya sekarang makin jarang), baik wayang kulit maupun wayang orang. Wayang adalah salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan dari cipta, rasa, dan karsa yang tinggi. Falsafah wayang diharapkan dapat memberi jawaban atas pandangan-pandangan mendasar tentang kebenaran dan realita yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan hidup. Falsafah wayang yang bertujuan "ngudi kasampurnan" menampilkan pandangan antara lain terhadap hal-hal secara metafisika, epistimologi, serta aksiologi. Filsafat wayang itu sangat religius. Pemikiran-pemikiran religius sangat dominan, bahkan seluruh ruang lingkup filsafat ini merupakan simbol manifestasi kekuasaan Tuhan ; manusia dan alam digambarkan dengan indah dalam setiap pergelaran wayang, utamanya pada lakon Dewa Ruci, Bima Suci, Kresno Gugah, Sastra Jendra dan Begawan Ciptoning.

Pandangan epistemologi wayang terhadap kehidupan juga terlihat. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa dan bagaimana pengetahuan itu. Dalam pergelaran wayang banyak mengandung simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Bagaimana kita memahami simbol-simbol dalam pergelaran wayang? Hal ini menuntut kognisi atau pemahaman dari sisi pengamat atau penonton. Pemahaman yang dangkal dari penonton juga akan mengakibatkan pengertian yang dangkal juga mengenai nilai-nilai kehidupan. Dari sisi pergelaran wayang sendiri mengandung contoh-contoh mengenai pemahaman, baik terhadap alam, manusia dan Tuhan. Utamanya, di dalam cerita sangat kaya sekali menggambarkan adanya contoh-contoh tentang pemahaman.

Aksiologi adalah filsafat nilai. Dalam wayang nilai-nilai ini sangat dominan, karena memang misinya adalah menyampaikan pesan moral. Di dalam wayang ada banyak nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika.

Selain wayang, ada beberapa media yang digunakan untuk memelihara nilai-nilai etis di Jawa, misalnya dengan penggunaan bahasa Jawa di antara masyarakat yang bertingkat-tingkat. Nilai-nilai budi pekerti, terutama yang muda menghormati yang tua terlihat dengan perbedaan penggunaan bahasa dengan kromo inggil, kromo madya, dan ngoko. Cerita-cerita rakyat juga sering digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan di dalam diri anak, misalnya cerita mengenai Kancil Nyolong Timun, atau Timun Mas, yang berusaha menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan keadilan. Tradisi itu tetap hidup walaupun berada di bawah bayang-bayang arus modernitas dan globalisasi.


Yang Emik Menjadi Yang Etik ?

Kajian kebudayaan selanjutnya menempatkan fonemik dan fonetik sebagai salah satu fokus kajian. Fonemik adalah tuturan khas yang dijumpai di sebuah bahasa yang tersendiri, sedang fonetik adalah tuturan secara umum yang dapat diucapkan manusia sesuai dengan organ-organ tubuhnya, misalnya lidah, tenggorokan, paru-paru dan lainnnya. Kajian emik adalah kajian yang melihat sesuatu yang khas di masyarakat lokal yang signifikan untuk dilihat, sedangkan kajian etik berusaha melihat sesuatu yang secara objektif ada di dalam setiap individu.

Dalam konteks pembangunan, kajian emik melihat kearifan lokal mana yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan masyarakat. Kearifan lokal itu dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun kearifan lokal tersebut signifikan untuk dilihat dalam proses pembangunan. Di dalam tulisan ini telah dipaparkan bahwa nilai-nilai spiritualitas masyarakat Sukoharjo menjadi objek emik dalam pembangunan. Nilai-nilai tersebut berharga untuk menjaga norma yang ada di masyarakat. Dalam tulisan ini juga ditunjukkan bagaimana masyarakat merawat nilai-nilai itu, salah satunya melalui pertunjukan wayang.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang emik tersebut dapat menjadi sesuatu yang etik ? Menurut pendapat saya, yang emik dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat, namun untuk menjadi etik, tentunya harus dilihat kesesuaianya dengan etika global lainnya. Pada kenyataannya, di dalam masyarakat Sukoharjo sesuatu yang dipahami secara emik juga dipahami oleh masyarakat di tempat lain, misalnya nilai-nilai mengenai keadilan. Yang bermanfaat, sesuatu yang emik ini dapat difungsikan sebagai cara-cara yang lebih partisipatoris dalam menggerakkan etika global. Misalnya, penanaman nilai anti-korupsi tidak harus didekati dengan pendekatan berbasis hak seperti yang ada di dalam masyarakat Barat, tapi dapat didekati dengan pendekatan budi pekerti dan takut pada Tuhan. Sama halnya, untuk mentransfer ide-ide John Rawls mengenai keadilan (libertarian justice), dapat digunakan metode dan ide-ide yang telah berkembang di masyarakat Sukoharjo mengenai bagaimana mereka mempersepsikan keadilan.


* sebelum menulis tulisan ini, penulis sama sekali tidak attach dengan kebudayaan asalnya. tiba-tiba ketika membaca sebuah tulisan, pandangan itu berubah 180 derajat.



Referensi :

Timothy Begaye, Native Teacher Understanding of Culture as a Concept for Curricular Inclusion, Jurnal Wicazo Sa Review - Volume 22, Number 1, Spring 2007

Ward H. Goodenough, Culture, Language, and Society 2d edition, California : Benjamin/Cummings, 1981

Sides Sudyato DS, Wayang, Kebudayaan dan Nasionalisme Poskolonial , diunduh dari: http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=75&page=1