Pasca meninggalnya Soeharto, banyak hal yang bisa dikemukakan. Mulai dari mistisme seputar mantan orang nomor satu di Indonesia itu, protes beberapa kalangan karena tayangan televisi tentang Pak Harto yang berat sebelah, atau korupsi dan pelanggaran HAM yang terjadi semasa masa pemerintahannya.
Banyak orang yang mengkritik Soeharto sebagai sosok yang bertangan dingin dalam soal penyingkiran musuh-musuh politiknya. Pasca keruntuhan Orde Lama, rezim Orde Lama ditumpas habis oleh Soeharto. Tak bersisa sedikit pun, bahkan konon Soekarno meninggal karena pengasingan dan perawatan yang tidak layak. Saya mencoba menelusuri benang yang mengkaitakan dengan alasan tindakan Soeharto dengan latar belakang kehidupannya. ”Teori” ini bukan berarti benar atau salah, tapi hanya melihat suatu keterkaitan yang mungkin bisa muncul dari pemikiran itu.
Soeharto adalah sosok yang tumbuh dewasa dalam suasana kemerdekaan 1945. Artinya, dia tumbuh dan mencandra realitas sosial-politik daam suasana ”perang”. Perang yang dihadapi saat itu adalah perang fisik dan teknologi juga belum secanggih sekarang. Ketika kecil pun, Soeharto sudah hidup di suasana ”perang”. Bahkan, Soeharto masuk KNIL untuk direkrut menjadi tentara. Perang kemerdekaan adalah sebuah perang konvensional yang mempunyai basis klaim atas teritorial, penduduk, dan pemerintahan atau menjadi raison d’etre, atau alasan berdirinya sebuah negara. Tentu perang semacam ini adalah perang yang hanya berorientasi kekuasaan (kemerdekaan) dengan cara apa pun. Menembak musuh, membom kandang lawan, dan lain-lain. Aktivitas yang semacam ini tentu hanya mengenal dua kategori ”manusia” : musuh atau lawan.
Lain dengan latar belakang Soekarno yang besar dari institusi pendidikan. Bahkan di tahun-tahun pendirian republik ini Soekarno sudah lantang berbicara mengenai ide-ide kemanusiaan, perdamaian dunia, keadilan sosial dan cita-cita paling tinggi di republik ini : KEMERDEKAAN. Suatu hal yang cukup langka di tengah keterbatasan pendidikan saat itu dan kekacauan perang yang membuat orang tidak sempat lagi berpikir mengenai ide dan idealisme. Soekarno juga seorang ”diplomat” karena banyak bernegosiasi dengan Jepang dan Belanda dalam hal kemerdekaan Indonesia. Dalam negosiasi tentu tidak ada pembagian hitam dan putih; kawan dan lawan. Yang lawan bisa menggunakan bahasa-bahasa yang lebih terpelajar sehingga menjadi kawan.
Dengan latar belakang militer 45 semacam ini, pengalaman empiris Soeharto menemukan bahwa membunuh adalah sesuatu yang sangat wajar untuk mencapai satu tujuan. Simaklah bagaimana pengalaman Soeharto memimpin Serangan Fajar di Yogyakarta. Keberhasilan tentara di Yogyakarta untuk mengenyahkan Sekutu memakan banyak korban jiwa dari pihak lawan maupun pribumi.
Hannah Arendt, seorang pemikir dari Jerman, pernah mengemukakan pemikiran mengenai banalitas kejahatan. Dalam buku klasiknya The Origins of Totalitarianism, Arendt mengatakan bahwa banalitas kejahatan adalah fenomena tindak kejahatan yang dilakukan dalam skala raksasa, yang tidak dapat ditelusuri pada kegilaan, patologi, atau keyakinan ideologi sang pelaku. Dengan demikian, banalitas kejahatan bukan suatu bentuk kejahatan yang biasa, tapi kejahatan yang dianggap biasa oleh sang pelaku yang dangkal dalam berpikir dan menilai. Kekerasan pemerintahan Jepang di Indonesia yang dialami Soeharto lewat KNIL dan PETA membuat Soeharto belajar bahwa membunuh adalah suatu hal yang biasa.
Dan kekerasan ini menular. Apa yang dialami Soeharto dalam institusi militer diterapkan ketika ia berkuasa. Ribuan orang korban politik Orde Baru dienyahkan dan dipenjarakan tanpa melalui pengadilan. Tak tanggung-tanggung, Soeharto bahkan menyingkirkan orang kepercayaannya juga seperti LB Moerdani dan Ali Moertopo. Peristiwa Malari, Penembakan Misterius (Petrus) yang marak terjadi di tahun 1980-an juga membuat rakyat Indonesia hidup dalam suasana teror karena banyak yang ”salah tembak”, atau peristiwa Tanjung Priok, adalah beberapa kekerasan yang dilakukannya. Belum cukup, rantai kekerasan juga seperti meruak ke masyarakat. Ternyata tidak hanya militer yang mempunyai pengalaman terhadap kekerasan, tapi ternyata masyarakat sipil juga terlibat dalam kekerasan, seperti yang dipertontonkan dalam Kerusuhan Ambon, Poso, pemboman JW Marriot, Bali, atau pengrusakan massal di kampung halaman saya, Solo, ketika Orde Baru tumbang.
Ada satu buku yang menjelaskan bahwa kekerasan itu lahir dari individu yang telah direkrut oleh ideologi. Individu yang tumbuh dan belajar dari sebuah ideologi, entah ideologi keagamaan yang ekstrim, atau ideologi negara, adalah individu yang mudah melahirkan kekerasan. Pemboman JW Marriot atau Bali menunjukkan bahwa pelaku mengalami delusion of grandeur. Ada sebuah cita-cita atau utopia yang ingin dilahirkan dari sebuah ideologi, namun cara-cara untuk mencapai utopia itu bertentangan dengan kemanusiaan.
Saya – dan generasi muda saat ini- lahir dari sebuah kondisi ”damai” yang tidak lagi mengenal kekerasan fisik lewat perang revolusi. Kondisi ”perang” yang saya saksikan mungkin hanya lewat kotak televisi atau kepingan VCD atau DVD. Saya lahir setelah aktivis HAM dunia memasuki fase ketiga HAM, yakni hak untuk pembangunan. Bahkan, globalisasi sudah meruyak ke permukaan lewat kecanggihan teknologi dan ekspansi ekonomi. Nilai-nilai kemanusiaan sepertinya sudah menjadi nilai universal yang dipelajari generasi muda lewat internet, koran, atau media-media lainnya. Namun, kata Soe Hok Gie, ”happy is the people without history”. Tanpa belajar sejarah kelamnya kekerasan Orde Baru, kita tidak pernah tahu kapan isyarat atau pertanda akan bangkitnya rantai kekerasan itu diwariskan kembali, mungkin di belahan dunia lain. Myanmar, Pakistan, atau Sudan masih menanti kedamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar