Sabtu, 19 Februari 2011

Tesis Cenat Cenut : Mengeksplorasi Motivasi







"Kejujuran itu seperti es krim.Ia akan meleleh jika tidak segera dilahap." - Andai Ia Tahu

Baiklah, kali ini saya akan jujur.

Bicara mengenai tesis saya, sudah banyak yang menanyakan kabar tesis saya. Dalam hati,saya cuma cenat-cenut, karena sebenarnya tesis saya memang belum beres ! Lebih tepat, terlantar. Setiap ada yang bertanya,saya anggap sebagai doa ; semoga memang lekas selesai. Oleh karena itu, semester ini saya harus lulus. Kalau tidak ? DO, karena ini sudah semester terakhir (semester 6).

Idealisme saya dalam menggarap tesis ini amat sangat tinggi, jika dibandingkan dengan minimnya waktu yang saya punya untuk 'mengintimi' karya ilmiah ini. Mengingat idealisme di Program Pascasarjana ini cukup tinggi juga, yakni mahasiswa setelah lulus memiliki : ketrampilan, ilmu pengetahuan, dan nilai (Zastrow, tahunnya lupa), maka saya pun terbirit-birit mengejar standar itu.

Ketrampilan, artinya saya harus terjun ke lapangan untuk mempraktekkan ketrampilan sebagai social worker. Eits, jangan salah dengan istilah 'social worker' atau pekerja sosial. Profesi ini bukanlah sekadar relawan, aktivis LSM, atau kumpulan mujahid. Gambaran lengkapnya baca di sini saja deh : http://www.naswdc.org/

Selain ketrampilan, ilmu pengetahuan dimiliki dengan menjalankan riset ilmu sosial. Ya, seperti layaknya orang mengerjakan skripsi atau tesis. Jadi, ada dua tugas akademik yang harus saya lengkapi : laporan intervensi sosial dan tesis itu sendiri. Intervensi sosial ini awal mula tesis ini sendiri. Ibaratnya pengenalan dan pendalaman terhadap medan yang dihadapi.

Karena background pengetahuan saya HI dan bekerja di sebuah lembaga yang concern dengan masalah keadilan ekonomi dan globalisasi, maka saya bermaksud mengambil topik idealis. Pertama, saya mencoba mendalami soal pengungsi yang datang ke Indonesia. Tapi dalam perkembangannya, saya tidak mendapatkan 'klik' dengan pengungsi maupun pimpinan di lembaga tempat saya menjalankan intervensi. Akhirnya bubar jalan di tahap awal. Yang kedua, soal petani di Bekasi. Ini topik yang sebenarnya saya idam-idamkan. Menggeluti kemiskinan petani. Topik idealis ini pun juga idealis benar secara praktik. Dua jam perjalanan dari Jakarta, bersaing dengan truk-truk besar yang hendak ke Tanjung Priok, pembimbing yang telah bergelar Profesor yang perfeksionis, ditambah pekerjaan saya yang menguras emosi karena adanya konflik organisasi. Akhirnya, tesis ini juga terlantar di tengan jalan. Motivasi saya kurang kuat untuk mengerjakannya. Semua berhenti dalam tahap case recording. Berbagai lembaga sempat dijajaki, misalnya lembaga penangangan autisme di Depok,Departemen Psikiatri di FK UI-RSCM, tapi semuanya tidak berhasil.

Dua semester berlalu, dan saya tidak dapat berbuat banyak, bahkan sempat berpikir tidak udah dilanjutkan saja karena saya tidak bisa membagi waktu. Selama masa vakum itu, saya mempergunakan untuk membaca-baca buku. Anehnya, saya -lama-lama- seperti keluar dari kotak. Kotak Hubungan Internasional yang berisi realisme, keamanan, ekonomi politik internasional, atau globalisasi. Saya terdampar dalam sebuah kubangan yang mengasyikkan, yang melihat diri manusia, identitas diri, serta relasi sosial. Lama-lama saya benar jatuh cinta dengan disiplin Psikologi.

Sementara itu, otak kiri saya terus-menerus digembleng dengan sejuta istilah perdagangan bebas mulai dari multilateralisme, regionalisme, pertanian, perikanan, jasa, TRIPs, sampai keuangan. Topik-topik ini susah susah gampang. Gampang, karena di HI diajarkan dasar-dasarnya. Susah, karena tidak mudah mempelajari perjanjian ekonomi internasional dalam waktu yang singkat. Sungguh konflik motivasi dan konflik pemikiran yang sangat melelahkan.

Pada awalnya, saya mengambil program ini karena saya ingin masuk ke industri sosial. Latar belakang HI saya tidak cukup untuk menjangkau pengetahuan mengenai bagaimana harus melakukan Participatory Rural Appraisal (PRA) di komunitas? Bagaimana mengevaluasi suatu program sosial ? Ekspektasi saya di awal hanya ingin mempelajari Community Development / Community Organizing. Tetapi, setelah memasuki bangku kuliah, ternyata apa yang saya dapat lebih dari itu.

Intervensi sosial terdiri dari 3 level : mikro, mezzo, dan makro. Di level paling mikro, yakni intervensi individu, saya harus mempelajari teknik konseling dan assessment dengan penerima manfaat (klien). Kelas Intervensi Individu dan Kelompok Kecil tiap Sabtu pagi di Kampus Unika Atmajaya Semanggi bersama Prof Irwanto membuka cakrawala saya mengenai ilmu Psikologi. Lambat laun, saya mulai dibukakan pengetahuan psikologi dalam intervensi mikro, sosiologi dalam intervensi mezzo, teknik-teknik advokasi (yang sudah saya ketahui, karena ini termasuk wilayah pekerjaan saya) dalam intervensi makro, dan disiplin manajemen dalam pengelolaan organisasi sosial. Ternyata, disiplin Psikologi lah yang paling nempel. Ketidakmampuan saya untuk berterus terang dengan apa yang saya mau ini yang membuat tesis ini makin cenat-cenut karena email kantor saya penuh dengan kata-kata : KONSOLODASI, AKSI, ALIANSI, PETISI, STRATEGIC MEETING, JARINGAN INTERNASIONAL, SOLIDARITAS, atau PENELITIAN. Saya suka dengan pekerjaan ini, tetapi kadang-kadang teralienasi karena saya tidak sedang ingin menari di atasnya. Saya ingin menari di atas ANXIETY, NEUROTIK, ASSESSMENT, KEBERFUNGSIAN SOSIAL, dan RETARDASI MENTAL. Sayang, panggungnya tidak ada.

Akhirnya, di semester yang harus dirampungkan ini, saya kembali bergegas menata kajian saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan intervensi dalam Kebijakan Manajemen SDM di Organisasi Sosial di sebuah LSM. Penelitian saya bermaksud mendalami motivasi kerja karyawan dalam organisasi sosial.

Objek yang saya teliti bukan Jepang, AS, atau LSM Internasional, tapi empat orang individu yang memutuskan diri bekerja di sebuah organisasi sosial selama lebih dari 20 tahun. Individu-individu ini tidak berpindah-pindah tempat kerja, walaupun gaji yang diperoleh di organisasi ini sangat sangat sangat minim untuk ukuran pekerja industri komersil, bahkan untuk ukuran sesama organisasi sosial. Saya ingin mengulik hal apa yang memotivasi mereka sampai rela bekerja dengan gaji yang rendah (masa kerja mereka lebih dari 20 tahun). Bagaimana strategi coping mechanism mereka ? Bagaimana pengaruh kestabilan/perubahan di organisasi terhadap motivasi mereka ?

Bicara 'idealisme'lagi, karya ilmiah ini sebenarnya ingin 'memberikan masukan' (cie cie cie) pada pendekatan humanistik dalam Psikologi yang diwakili oleh Maslow dengan teorinya yang 'melegenda', yakni teori motivasi. Bahwa ada persoalan 'Person-in-Environment', di mana ada interaksi yang saling terkait antara individu dengan sistem. Sehingga, persoalan motivasi bukan merupakan sebuah persoalan individualisasi yang ditunjukkan oleh pendekatan humanistik, namun juga persoalan komunal. Berbeda dengan pendekatan struktural yang meletakkan individu bagian dari sistem, tapi adanya level dan jenis motivasi yang berbeda membuat persoalan motivasi adalah juga persoalan personal (eksistensial). 'Person-in-Environment' inilah yang membingkai motivasi kerja di dalam organisasi pelayanan atau organisasi sosial, karena pekerjaan pelayanan juga erat dengan nilai-nilai dan moral/etika tertentu yang disepakati bersama.

Kalau Maslow menyebut sebagai 'self-actualization' sebagai motivasi tertinggi, maka saya ingin memasukkan mengenai peran kognisi dalam motivasi. Self-actualization Maslow sangat abstrak untuk dipahami, karena beberapa penelitian juga yang menyebutkan : ada keinginan terpendam yang muncul walaupun kebutuhan-kebutuhan dasar manusia sudah sangat terpenuhi; yang di luar jangkauan kebutuhan dan fase perkembangan, misalnya : konsumerisme, pengalaman masa lalu atau alam bawah sadar (pembuktian terhadap psikologi Freudian). Psikolog dari Rusia, Vygotsky, mengatakan bahwa kognisi diperoleh karena adanya interaksi sosial. Artinya, kedasaran dapat muncul secara kolektif atau 'getok tular'. Yang kedua, semakin banyak ia dipengaruhi oleh lingkungan bahwa 'A adalah B', maka kognisinya akan merujuk ke situ. Walaupun, dalam konteks kognisi dan intelijensia, juga harus diperiksa benar apakah ia mempunyai level kognisi yang serupa, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan teman-temannya. Jadi, tidak perlu mengidentifikasi sebagai 'self-actualization', tetapi saat kebutuhan dasar, kebutuhan kognisi dan kebutuhan neurotik nya telah terpenuhi, maka kesadaran akan muncul.

Tapi, kembali lagi, ini kan namanya juga cita-cita. Cita-cita alias idealisme. Semester ini saya memang sengaja mencurahkan sekitar 70% pemikiran (sisanya untuk pekerjaan) demi tergenapinya idealisme dalam tesis ini. Refleksi yang saya peroleh dari tesis cenat-cenut ini adalah ternyata Tuhan begitu baik menjawab kegelisahan saya. Mungkin saya khilaf masuk HI, karena latar belakang SMU saya IPA, sehingga kurang mengerti benar apa saja disiplin-disiplin ilmu sosial. Ternyata, setelah masuk ke ilmu sosial, jadi keasikan.

Sekian dan terima kasih, uneg-uneg sudah saya tumpahkan dalam tong sampah bernama blog ini. Semoga suatu hari nanti saya bisa memungut kepingan-kepingan sampahnya untuk kembali dicermati, although life is ephemeral.


PS : Saya lampirkan foto-foto narsis, termasuk perpustakaan di Unika Atmajaya, tempat saya banyak mendapatkan bahan-bahan penyusunan tesis. Habis Perpustakaan di UI makin lama makin bapuk sih ! Buku-bukunya aja banyak yang ilang !

1 komentar:

geo mengatakan...

Nice writing Jun! Jadi teringat kata orang bijak: "Berbahagialah manusia yang menuruti kata hatinya". Kita bisa berbohong mengenai apa saja, tapi kita tidak bisa membohongi hati kecil kita. Kita tidak bisa membantah suara-suara yang muncul dari relung hati kita. Namun sayangnya, di dunia ini hanya sedikit orang saja yang mau melakukan itu. Sesuatu yang, katanya, bernama realitas dunia membuat banyak orang mengabaikan suara hati kecilnya, walaupun sebenarnya mereka tahu hati kecilnya tidak pernah salah. Btw, gw pengen tahu mengenai "psikologi kehilangan". Tolong kalau ada waktu dibuat tulisannya, hehehe... Keep rocks!