Kamis, 17 Februari 2011

Setengah Gelas


Minggu lalu, saya berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan teman saya di Kampus UI. Di sebuah kedai kopi baru di belakang kampus FISIP. Saya kebetulan hari itu hendak mengumpulkan (dan mengerjakan) laporan Intervensi Sosial saya. Sedangkan teman saya hendak mempresentasikan mengenai beasiswa Uni Eropa di Balairung.

Kedai kopinya cukup nyaman dengan suasana multikultural, di mana menurut pengamatan saya selama nongkrong di situ banyak mahasiswa BIPA dan peneliti asing mengunjungi kedai Coffee Toffee.

Kami berdiskusi soal Ahmadiyah,karena kebetulan hari-hari itu penyerangan Cikeusik menjadi topik yang aktual di berbagai media massa. Inti dari diskusi tersebut yang mencerahkan saya adalah : Jangan biarkan dirimu dan kepalamu 'penuh' dengan sesuatu yang dimasukkan ke otak sementara kamu tidak pernah punya kemampuan untuk mencerna dan menginterpretasikannya.

Sebelumnya, saya banyak berteori soal temuan Hannah Arendt yang mengobservasi Eichmann, Jenderal Nazi yang membunuh banyak orang, ketika persidangan Eichmann di Jerussalem. Arendt melihat bahwa latar belakang Eichmann sebenarnya adalah pegawai biasa. Eichmann bekerja untuk sebuah perusahaan minyak di Austria. Selama bekerja di situ, Eichmann tidak menampakkan diri sebagai sosok yang vokal atau menentang. Eichmann sempat bergabung dengan organisasi kepemudaan Kristen di Jerman. Keputusannya bergabung dengan Nazi karena keadaan yang mendesak saat itu, di mana ia diminta untuk bergabung ke militer Nazi. Lantas, mengapa Eichmann tega membunuh banyak kepala?

Selama bergabung di Nazi, Eichmann banyak mendapatkan pengetahuan soal Nazi dan fasisme Jerman saat itu. Ilmu baru yang didapat Eichmann ini diserap dengan amat baik. Hingga membunuh korban-korban tak berdosa yang 'kebetulan' keturunan Yahudi pun bukan sesuatu yang berat. Temuan Arendt mengatakan Eichmann mengalami banalitas kejahatan (banality of evil) karena ia telah kehilangan dirinya, yang selalu berdialog antara "me" dan "myself". Rejim totaliter Hitler telah memberangus dialog dalam dirinya, karena pengetahuan atau arahan dari pemimpin adalah sabda. Sabda yang telah teruji kebenarannya dan sah untuk dijalankan.

Kesamaan (namun tak sepenuhnya sama) kasus Eichmann dengan Ahmadiyah ini, ada orang-orang yang tidak bisa menerima kehadiran Ahmadiyah dan bahkan bisa melakukan kekerasan. Karena monopoli kebenaran dalam kepalanya telah menelan semuanya. Itulah kebenaran yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Pada akhirnya, kemampuan untuk menilai apa yang masuk dalam otaknya tidak difungsikan karena ibaratnya gelas, ia sudah penuh. Tidak ada lagi tempat untuk memberikan penilaian, bahkan air dalam gelas pun meluap, karena banyaknya informasi yang berjejal.

Kesimpulan yang saya peroleh, bahwa : jangan biarkan dirimu dan kepalamu 'penuh' dengan sesuatu yang dimasukkan ke otak sementara kamu tidak pernah punya kemampuan untuk mencerna dan menginterpretasikannya, seperti halnya setengah gelas air yang dituang ke dalam gelas.

Gelas, jika diisi setengah air saja, maka masih mungkin bagi seseorang untuk menaruh pemaknaan di dalamnya. Tapi, bukan berarti kita tidak boleh mengisi gelas dengan sebanyak-banyaknya air lho ! Kata pepatah Jawa, hidup itu seperti mampir minum. Tugas kita mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal. Tetapi, dalam minum itu sendiri, ada masa istirahatnya. Sehingga, perut kita tidak penuh,.

Ya, begitulah setengah gelas. Seperti kopi yang diteguk di kedai ini, ia tidak akan memberikan kepuasan maksimal jika porsinya terlalu banyak. Ia akan tumpah saat kita angkat jika terlalu penuh. Setengah gelas saja atau lebih, maka semuanya akan menjadi lebih nyaman :)

3 komentar:

geo mengatakan...

Ego seringkali mengalahkan rasionalitas. Ego yang terlalu ekstim, membuat pintu dialog sulit terbuka. Hhmmmm...semoga Indonesia belajar dari peristiwa-peristiwa di masa lalu.

juno mengatakan...

makasih geo.
kau punya blog nggak ?

soal ego dan rasionalitas itu, kalau kata Freud, diri manusia itu terdiri dari ID, ego, dan superego. Kalau kita menaruh terlalu banyak ID (naluri kesenangan alamiah) tidak seimbang. sebaliknya jika rasionalitas terlalu menjadi pertimbangan (superego), maka ia pun menjadi manusia yang terlalu menilai sesuatu secara ideal di luar dirinya. ego adalah konsep perimbangan antara ID dan superego itu. CMIIW.

Freud mendefinisikan naluri kesenangan manusia pada dasarnya adalah seks dan agresi.

geo mengatakan...

Blog gak ada Jun. Suka baca2 blog orang aja hehe