Sabtu, 14 Mei 2011

Imajinasi


Saya kurang paham dengan apa yang menjadi kelebihan saya. Beberapa teman dekat menganggap saya orangnya angin-anginan. Sebentar senang hal baru, beberapw waktu kemudian beralih pada kesenangan yang lainnya.Moody.

Kebiasaan moody itu terbawa pada hari-hari saya, tapi tidak ketika saya menghadapi orang atau berkomunikasi. Kadang saya bangun dan masih bermalasan walaupun jam sudah menunjukkan pukul 08.30 atau pukul 09.00 WIB.Tubuh rasanya malas sekali untuk mandi, bahkan malas berangkat kerja.Mood saya baru tergerak ketika mendengarkan musik beberapa kali atau musik yang menghentak sampai saya benar-benar 'terbangun'. Sebaliknya, kalau sedang rajin, saya bisa menginap di kantor, bahkan sampai seminggu tidak pulang. Perlengkapan baju ganti dan mandi memang sengaja dipersiapkan.

Di kantor, saya juga selalu mengalami kendala konsentrasi ketika mengawali kerja. Biasanya setengah jam di awal atau lebih, dihabiskan untuk browsing hal-hal yang sifatnya fun dan tidak membuat stress. Baru setelah itu, saya bisa mulai mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

Waktu berkuliah atau bersekolah dulu, saya merasakan tidak pernah menjadi se-moody ini. Bahkan, dulu waktu sekolah, saya paling rajin datang dan pulang ke sekolah. Kuliah juga rajin-rajin juga. Kalaupun bolos, paling karena saya sedang ada kegiatan lain.

Mungkin, kondisi fisik saya (obesitas) tidak baik saat ini sehingga sering malas. Tapi saya juga berkesimpulan bahwa ini karena matinya imajinasi. Ya, imajinasi.

Itu yang menjadi kelebihan atau mungkin kekurangan saya. Saya suka berimajinasi. Makanya, saya senang membuat karya fiksi, walau waktunya kadang tidak ada.

Dalam bekerja, imajinasi saya seperti mati. Saya memang tidak bekerja di sebuah perusahaan swasta yang punya jam kerja dan aturan yang ketat. Saya bekerja di sebuah NGO yang mengandalkan pelaksanaan intervensi sosial. Merubah keadaan lebih baik. Tapi saya merasa imajinasi saya mati karena tekanan-tekanan dalam pekerjaan yang membuat keadaan tidak sadar saya muncul dan menyeruak di tengah kebosanan itu.

Saya menemukan kebosanan mendalam dengan kata-kata. Saya merasa kata-kata terbaik adalah kata-kata yang keluar dari dalam diri sendiri. Suara hati, atau aspirasi.

Kata-kata di kantor itu sekarang layaknya seperti jargon. Saya lelah dicuci otak. Saya harus mengikuti penalaran dari lingkungan kerja saya, karena ini pakem yang biasa dilakukan. Padahal, saya biasa menulis apa yang ingin saya tulis, yang ingin saya goreskan sesuai penalaran saya.

Saya tidak bisa dibentuk. Saya mengerjakan sesuatu dengan passion atau gairah. Jika tidak ada gairah itu, tentunya saya menjadi ogah-ogahan. Dan semakin lama saya mengetahui sekeliling saya, saya semakin pesimis. Bahwa dunia tidak secerah yang kita lihat.

Tapi manusia adalah paradoks. Dalam kesuraman ini, saya butuh sebuah harapan dan kecerahan. Dan saya tidak melihat itu dalam pekerjaan saya. Saya semakin merasa pesimis, karena memang kenyataannya suram.

Imajinasi ini harus tumbuh kembali dan optimisme harus ditumbuhkan. Kalau terlalu pesimis, bisa habis dunia saya. Kalau terlalu optimis, saya lupa akan diri saya.

Ada hal yang saya harapkan bisa melingkupi imajinasi saya : keseimbangan. Karena saya mempercayai filsafat Timur mengenai keseimbangan.

Tidak ada komentar: