Kamis, 23 Oktober 2008

Seperti Efemeral


Dulu film Gie yang dibintangi Nicholas Saputra pernah mempopulerkan kutipan, “Tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.” Sampai sekarang pun kutipan itu masih banyak dipakai untuk menorehkan semangat perubahan, terutama bagi generasi muda.


Dulu aku belum bisa mengaitkan antara kutipan itu dengan sebuah kenyataan hidup yang paling nyata. Dalam ilmu botani, dikenal istilah efemeral yakni tumbuhan yang menyelesaikan hidupnya dalam waktu yang amat pendek, biasanya tumbuhan ini hidup di gurun. Begitu telah menghasilan dan menyebarkan bebijian, tumbuhan efemeral pun layu dan mati. Dengan makna yang hampir sama, dalam bahasa Inggris, istilah ephemera dikenal dalam literatur sastra Inggris yang berarti sesuatu yang bersifat sementara dan sesuatu itu akan mati.


Beberapa waktu aku membaca buku Mapping Human History karya Steve Olson yang pada tahun 2002 memenangi sebagai buku sains terbaik versi Discover dan finalis untuk National Book Award di Amerika Serikat. Meskipun pernyataan dalam buku tersebut masih kontroversial, tapi ada satu fakta yang juga disepakati oleh peneliti lainnya : kehidupan bumi telah dimulai sejak 200.000 tahun lalu ketika ada sekelompok manusia yang hidup di Afrika Timur. Bandingkan umur peradaban manusia dengan umur kita. Bandingkan pula umur bumi sejak jaman pleistosin sampai sekarang. Sungguh, manusia modern yang hidup di negara maju sekalipun hanya mempunyai angka harapan hidup sampai usia 77 tahun. Di Indonesia, angka harapan hidup malah hanya sekitar 65 tahun. Angka itu sangat kecil dibandingkan dengan umur bumi ini.


Sekarang aku jadi mengerti maksud lain di balik kutipan di film produksi Miles yang kusebut di atas. Seperti siklus efemeral, manusia akan mati, dan muncul manusia yang lain. Jadi, kalau memang hidup ini hanya sementara mengapa ada orang yang menumpuk sedemikian rupa ? Toh suatu saat apa yang akan kita punya akan musnah.



I do remember laughter that can make my stomach hard
With happiness that make it all pretty, even a dirt
I can remember how long it least
I'm pretty sure it went away so fast
Far too many emotion that taint my soul, before my faith
And often i drown in the moment
When in the end they all ephemera

-
sebuah lirik dari salah satu band Indonesia mengenai Ephemera-

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ada kutipan menarik dari tulisan Dee - Dewi Lestari di blognya : "There are no dancers, only the dance itself. There is no doer. Saya dan Anda hanyalah topeng-topeng yang ‘dipinjamkan’ supaya semesta ini menari. Yang sejati adalah tariannya. Kita semua fana."

.thedalang mengatakan...

yang menyebabkan fana adalah waktu...