Kebetulan kamarku berada di lantai dua. Dari beranda kamar, aku bisa mengamati deretan pepohonan yang tingginya hampir sama dengan lantai di mana saya berpijak. Tak begitu rimbun memang, namun cukup untuk melakukan observasi kecil-kecilan tentang apa yang ada di terjadi di atas pohon-pohon tersebut. Suatu pagi, aku menjumpai suara-suara yang sayup, tapi cukup khas. Ternyata suara itu adalah suara burung yang sedang sibuk membawa alang-alang ke atas pohon sebuah pohon yang agak rindang. Aku menduga itu adalah pohon mangga, karena memang tidak terlalu jelas dari kejauhan.
Aktivitas si burung itu semula biasa, tapi esok harinya aku melihat alang-alang yang dibawa burung itu makin meninggi dan dari jauh terlihat seperti sarang. Ya, sarang burung yang biasa digunakan untuk mengerami anaknya yang lahir ke muka bumi. Kemudian, ketika aku browsing di internet, ternyata cara seorang burung betina membuat sarang sangat luar biasa (untuk ukuran seekor burung). Burung merajut jerami atau alang-alang itu yang dibuat menjadi sebuah bentuk mirip mangkok yang kemudian akan menjadi sarang bagi anaknya. Burung memilih bahan-bahan yang berbeda untuk masing-masing lapisan sarang. Untuk membuat dasar sarang, di lapisan terluar dibentuk dengan jerami atau alang-alang yang bertekstur keras. Makin ke dalam, dasar sarang dirajut dengan bahan yang bertekstur lembut. Dan di dasar sarang lapisan terdalam, di mana burung akan meletakkan telur dan anaknya di lapisan itu, burung merajut dengan alang-alang yang teksturnya paling halus. Kemudian, ketika anak burung itu beranjak dewasa, ibu akan mengajarkan bagaimana cara mencari makan, bagaimana mengerat cara biji-biji makanan, atau bagaimana harus menyesuaikan diri dengan cuaca dengan cara bermigrasi ke daerah yang lebih hangat.
Sebenarnya insting hewani ini sama sekali tidak mengejutkan, karena memang hewan mempunyai naluri untuk melindungi anaknya – apa yang menjadi miliknya yang ia anggap berharga. Seperti halnya kanguru yang meletakkan anaknya di kantung atau kucing yang selalu membawa anaknya kemanapun dengan cara menggigit anaknya, mungkin begitulah naluri hewan ini. Tapi, inspirasi yang aku tangkap dari kisah sarang burung ini cukup berharga : kehidupan itu adalah ibu. Seorang anak burung yang akan terlahir ke dunia telah dipersiapkan dengan baik oleh seorang ibu. Kekuatan ibu adalah kekuatan untuk merawat dan memelihara kehidupan ini.
Bahasa adalah salah satu hal yang diajarkan orang tua kepada anaknya. Sebenarnya yang diajarkan oleh orang tua, ayah dan ibu, tidak hanya bahasa yang mencakup huruf vokal dan konsonan, yang kemudian dirangkai menjadi kata dan akhirnya menjadi kalimat. Namun, bahasa yang diajarkan lebih luas dari itu. Bahasa Indonesia, Inggris, Prancis, dan seterusnya, hanyalah simbol dari sebuah konsensus tertentu sebuah komunitas, suku bangsa, atau negara mengenai sebuah makna. Sedang pengajaran bahasa yang lebih substansif adalah pengajaran bahasa optimisme, harapan, atau kasih sayang. Kualifikasi ibu adalah pengajar untuk bahasa-bahasa tersebut. Dikaitkan dengan teori life-span development dari Erikson, di masa awal kehidupan seorang individu membutuhkan arahan untuk mempelajari kepercayaan dasar dalam hidupnya. Jika individu tidak melalui tahap pertama perkembangan masa hidup tersebut dengan sukses, maka ia tumbuh dengan rasa ketidakpercayaan akan apapun hal di dunia ini. Tidak berlebihan rasanya jika aku menyebutkan di awal tulisan ini bahwa kehidupan adalah ibu. [J]
1 komentar:
Waktu pengajian, seorang ustadz bilang gini :
"Zaman sekarang tuh lucu. Seorang perempuan sekolah tinggi, S1 atau S2. Kalo akhirnya cuma di rumah, banyak yang menyayangkan. Harus bekerja di luar rumah. Sedangkan anaknya dititipkan ke orang yang pendidikannya cuma SD. Logikanya dimana?"
Duh, menohok banget euy!
*yang-ngrasa-belum-bisa-menjalankan-peran-sebagai-ibu-sepenuhnya
Posting Komentar