Kamis, 05 Juni 2008

Indonesia Menekankan Perlunya Perlakuan yang Khusus dan Berbeda dalam Perundingan Perikanan


Sebuah pertemuan informal di dalam Kelompok Negosiasi Perundingan WTO pada tanggal 13-14 Mei lalu mendiskusikan mengenai proposal bersama yang diajukan oleh India, Indonesia, dan China yang menekankan pentingnya ’perlakuan khusus yang berbeda’ untuk negara berkembang menanggapai teks yang diajukan oleh Ketua Perundingan mengenai subsidi perikanan.

India, Indonesia, dan China memperkenalkan proposal bersama (TN/RL/GEN/155/Rev. 1) yang berjudul “Pentingnya Perlakuan yang Khusus dan Berbeda untuk Negara Berkembang di dalam Teks Subsidi Perikanan”. Proposal bersama ini merupakan revisi dari proposal yang terdahulu yang dikumpulkan oleh India dan Indonesia pada pertemuan terakhir dari Kelompok Negosiasi di bulan April. China telah bergabung sebagai negara yang turut mendukung dalam pengumpulan yang telah direvisi.

Menurut perwakilan perdangan India, India menekankan perhatiannya terhadap teks Ketua Perundingan, khususnya berkaitan dengan perlakuan yang khusus dan berbeda. Ini dikatakan bahwa teks alternatif yang diajukan menyediakan perlakuan yang khusus yang berbeda yang efektif dan fleksibilitas yang cukup untuk negara berkembang.

India juga menginginkan Ketua Perundingan untuk mengeluarkan teks yang direvisi sebelum ”proses horizontal” terjadi dalam negosiasi. Dikatakan oleh India, bahwa di samping sistem manajemen perikanan yang formal, negara berkembang dapat menggunakan metode lokal untuk mengontrol permasalahan over-fishing. Dalam proposal ini juga menekankan bahwa negara berkembang membutuhkan jarak kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan.

Indonesia mengatakan bahwa persyaratan yang akan membantu negara berkembang untuk memberikan bantuan subsidi perikanan dalam teks ketua Perundingan juga terlalu ketat, dan banyak dari nelayan yang merasa akan mustahil untuk menepatinya secara penuh dengan skema waktu ini.

Menurut perwakilan perdagangan China, China mengatakan bahwa China mendukung proposal ini karena China merasa permasalahan perlakuan khusus dan berbeda itu penting. China juga menambahkan bahwa proposal tidak membawa banyak perubahan terhadap proposal asli dari India dan Indonesia, kecuali untuk fleksibilitas kebijakan untuk negara berkembang mengenai operasi kapal secara berpindah-pindah.

Proposal bersama India, Indonesia, dan China mencatat bahwa teks draft yang diajukan oleh China telah dimasukkan dalam Annex VIII mengenai Subsidi Perikanan dalam Agreement on Subsidies and Countervailing Measures secara intensif telah didiskusikan dari Desember 2007 sampai dengan Maret 2008.

Makalah bersama juga mengatakan bahwa banyak negara berkembang telah mengetahui perhatian mereka yang kuat dalam draft teks yang secara khusus mengenai provisi yang terkait dengan bantuan untuk perlakuan yang khusus dan berbeda kepada negara berkembang dan kondisionalitas dari manajemen perikanan yang telah disetujui untuk mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda.

“Dalam makalah ini, kita membuat kasus yang kuat untuk provisi perlakuan khusus dan berbeda di dalam teks ketua perundingan,” kata India, Indonesia, dan China.

Makalah tersebut memberikan latar belakang dari karakter perikanan laut di negara berkembang. Ini dikatakan bahwa banyak negara berkembang mempunyai kepentingan yang besar dari populasi mereka yang bergantung dari hasil perikanan. Seringkali, periakanan adalah sarana dari mata pencaharian dari beberapa negara, dan ini berlainan dengan budaya industri ikan secara komersial di negara maju.

Lebih lanjut, menurut makalah itu, sektor perikanan dikarakteristikkan sebagai hasil tangkapan yang tidak dapat diprediksi dan musiman, dimana harga yang didapatkan untuk penangkapan ikan tidak stabil. Bukti-bukti nyata juga memperlihatkan bahwa komunitas perikanan laut secara umum, mempunyai level terendah dari standar pendidikan dan kondisi yang sangat buruk dalam hal perumahan sebagaimana dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Bukti-bukti juga memperlihatkan bahwa komunitas perikanan dihadapkan pada masalah rendahnya kualitas hidup sebagai hasil dari polusi, erosi laut, meningkatkan tekanan pada tanah pesisir, dan degradasi dari lingkungan laut.

Ditambah lagi, menurut makalah itu, teknologi yang digunakan untuk perikanan di negara berkembang masih sangat tradisional, dan jumlah nelayan yang menggunakan perahu tak bermotor atau dengan motor yang minimal cukup besar.

Di Indonesia misalnya, 85% dari kapal perikanan adalah kecil dan tradisional, beroperasi di dalam peraian Indonesia. Ada sekitar 9,337 kapal yang tidak bermesin dan 77,339 kapal bermotor kecil. Hampir semua kapal ini panjangnya sekitar 20 meter saja.

Makalah ini juga mencatat bahwa infrastruktur perikanan di banyak negara berkembang tidak berkembang dan membutuhkan banyak intervensi negara untuk membangunnya. Misalnya, India memiliki panjang garis pantai 8,118 kilometer persegi, dan Zona Ekonomi Eksklusif sebesar 2 juta kilometer persegi. Namun, hanya ada sekitar 6 pelabuhan utama dan 41 pelabuhan kecil dan juga 2,000 tempat mendarat. Hampir semua tempat mendarat adalah dasar dan dalam kebutuhan untuk memelihara dan memperbaiki. Secara jelas, ada kebutuhan untuk membangun lebih banyak pelabuhan dan tempat untuk mendarat.

”Oleh karena itu jelas bahwa negara berkembang membutuhkan konsentrasi pembangunan untuk melindungi perhatian hak untuk hidup dari nelayan miskin dan juga membangun infrastruktur-infrastruktur penting untuk pembangunan. Lebih lanjut, karena pembangunan infrastruktur dan penyediaan layanan publik merupakan sebuah investasi besar, maka jelas bahwa negara harus melanjutkan pembangunan ini untuk rakyatnya.”

Oleh karena itu, menurut makalah ini, merupakan sebuah bukti bahwa teks yang diajukan Ketua Perundingan mengenai subsidi perikanan tidak hanya akan membatasi usaha negara berkembang untuk memformulasi dan mengimplementasi kebijakan publik untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan dari nelayan miskin, namun juga akan mengurangi usaha mereka untuk membangun infrastruktur.

”Lebih lanjut, hal ini memperlihatkan bahwa tidak adil untuk membatasi subsidi di mana negara maju secara historis telah diberikan kepada nelayannya, terutama ketika nelayan kecil untuk negara industri mereka.”

Makalah ini juga mencatat bahwa banyak Negara berkembang adalah anggota Organisasi Pangan Dunia (FAO), di mana banyak yang telah mengumpulkan berbagai perjanjian seperti

UN Fish Stocks Agreement and the Code of Conduct for Responsible Fisheries. Mereka juga mempunyai sistem manajemen perikanan atau proses dari sistem yang berbeda dan operasional.

“Bagaimanapun, kesepakatan FAO adalah sukarela (soft law), di mana memberikan negara berkembang fleksibilitas dan kenyamanan yang diperlukan. Oleh karena itu, berkomitmen dalam sistem ini secara tidak timbal balik di WTO merupakan hal yang tidak diinginkan, namun juga harus menginterpretasi dari rejim negara berkembang untuk ditantang melalui mekanisme penyelesaian sengketa. “

Makalah bersama oleh tiga negara tersebut menganalisis teks Ketua Perundingan dan menjelaskan mengapa negara berkembang mempunyai masalah dalam menerima provisi perlakuan khusus dan berbeda dalam form yang ada saat ini.

Makalah ini juga memberikan tujuan yang sama untuk kesulitan dalam menerima Pasal V (dalam Annex VIII yang diajukan dalam teks Ketua Perundingan mengenai Subsidi Perikanan) dalam Manajemen Perikanan, sebagaimana kerangka dari tiga Negara mengenai Notification and Surveillance requirements (Pasal VI) dan Transitional Provisions (Pasal VII).

Makalah ini juga memberikan sebuah Annex di mana amandemen terhadap teks yang diajukan oleh Ketua Perundingan dalam Subsidi Perikanan telah dianjurkan. Makalah ini juga menyebutkan bahwa negara berkembang diberikan fleksibilitas untuk mengadopsi ukuran-ukuran yang diajukan dalam hubungannya dengan manajemen perikanan (Pasal V) dan memberlakukan legislasi domestik di wilayah mereka.

Dengan menghormati provisi transisional, makalah ini menyarankan bahwa periode yang diberikan untuk konformitas Negara berkembang dinaikkan dari 4 tahun menuju ke 10 tahun. Selain itu, negara berkembang juga meminta perubahan panjang kapal darti 10 meter menjadi 24 meter.

Tiga negara yang menyimpulkan bahwa karena prioritas pembangunan, ketahanan pangan, dan perhatian terhadap hak atas hidup negara berkembang,” Kita percaya bahwa perlakuan khusus dan berbeda yang efektif untuk perikanan yang kecil dan tradisional di dalam disiplin baru adalah penting.

Menurut perwakilan perdagangan di perundingan, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam merefleksikan bantuan untuk menguatkan proposal, di mana mereka mengatakan akan menemui perhatian dari banyak negara berkembang. Negara berkembang akan menyambut dengan gembira masalah panjang kapal dari 10 meter menjadi 24 meter, sebagaimana memanjangkan periode transisi untuk negara berkembang dari 4 tahun menjadi 10 tahun.

Turki juga menyambut gembira makalah ini dan memberi dukungan. Barbados, yang mewakili negara ekonomi kecil dan rentan, menyetujui banyak poin dalam proposal ini.

Berlainan pendapat dengan negara berkembang, Amerika Serikat mengatakan bahwa proposal tersebut akan memberikan negara berkembang sebuah instrumen yang lengkap untuk subsidi perikanan. AS juga meminta bahwa panjang kapal selebar 24 meter adalah panjang untuk kapal yang bukan tradisional, dan mengatakan bahwa memberikan subsidi bagi nelayan di negara berkembang akan membuat stok ikan di lautan lepas terancam, baik negara berkembang maupun negara maju. New Zealand mengatakan bahwa akan ada konsensus di waktu mendatang yang cukup kuat untuk subsidi perikanan. Uni Eropa mengatakan bahwa makalah ini akan membuat potongan tanpa kondisionalitas untuk semua aktivitas perikanan negara berkembang di dalam teritori perairan mereka. Hal ini direspon China bahwa China akan memberikan proposal orisinal untuk memberikan fleksibilitas untuk perikanan negara berkembang di laut lepas.

Uni Eropa mengatakan bahwa EU juga mempunyai kesulitan degan teks yang diberikan Ketua perundingan, menambahkan bahwa anggota harus mengakomodasi masing-masing perhatian. Sedangkan Korea dan Taiwan mengingatkan bahwa fleksibilitas harus diberikan pada perikanan skala kecil untuk semua anggota – baik anggota negara berkembang dan negara maju. Mereka juga mengungkapkan perhatian mereka terhadap posisi mereka dalam manajemen perikanan.

Menurut perwakilan perdagangan yang ada dalam perundingan, Kelompok perundingan akan melanjutkan pertemuannya pada hari Kamis di mana dapat digunakan untuk mendiskusikan Pasal IV yang terkait dengan disiplin umum. Kelompok juga berencana untuk mendiskusikan mengenai bantuan teknis.

Tidak ada komentar: