Minggu, 17 Januari 2010

Ziarah

Tori selalu ingat tradisi yang dijalankan keluarganya menjelang bulan puasa tiba. Berziarah. Ayah dan Ibu Tori selalu menyempatkan waktu mereka untuk berziarah dengan mengajak anak-anak mereka, termasuk Tori.
“Untuk apa, sih, Yah,kita berziarah?” tanya Tori satu waktu.
“Agar kita selalu ingat,” ucap ayahnya singkat.
Ingat pada kematian ? Begitu gumam Tori dalam hati. Petuah itu juga yang diingat Tori dalam mata pelajaran agama di sekolah. Guru agama Tori berpesan, “Ziarah kubur itu mengingatkan kita akan kematian. Bahwa kita nantinya juga akan mati dan dikubur.” Cuma itu yang dimaknai Tori.
Kini, Tori tak lagi menjalankan ritual itu. Tori sekarang tinggal terpisah dari orang tuanya. Tori merantau di Jakarta untuk berkuliah. Setiap kali bulan puasa tiba, Tori hanya mendengar cerita kakaknya lewat telepon kalau keluarga Tori berziarah ke makam kakek dan nenek mereka.
Satu waktu, Aya, pacar Tori, ditimpa musibah. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tori menghadiri upacara pemakaman ayah Aya, dan juga menemani Aya setiap kali keluarga Aya mengadakan yasinan.
Aya tak henti-hentinya menangis. Aya sangat terpukul karena hubungan emosional Aya dan ayahnya sangat dekat. Acara malam minggu yang biasa mereka lalui dengan suka cita, harus terpaksa dihentikan sementara. Aya tak henti-hentinya mengirimkan doa untuk ayahnya.
“Halo, Aya, kamu dimana?” Tori menelepon Aya karena menjumpai Aya tidak masuk kuliah.
“Tori, aku lagi di pemakaman,” jawab Aya lirih.
“Ngapain kamu di kuburan ? Kamu nggak kuliah?”
“Ziarah, Tor.”
Klik. Telepon ditutup Aya.
Tori heran. Semenjak meninggalnya ayah Aya, Aya jarang terlihat di kampus. Bahkan, Aya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pergi ke kuburan atau mengurung diri di kamar. Tori kemudian mengalah, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Aya yang cukup jauh dari kampus dan membawakan bebek goreng, makanan kesukaan Aya. Kedatangan Tori kali ini tidak hanya untuk menghibur Aya, namun juga merayakan keberhasilan Tori yang mendapatkan kesempatan magang di sebuah surat kabar ternama.
“Aya, ayah kamu sudah meninggal, ngapain ditangisin terus? Almarhum ayah kamu pasti tidak senang kalau kamu sedih terus kayak gini,” kata Tori di ruang makan rumah Aya. Mereka berdua menyantap bebek goreng yang dibawa Tori.
“Aku sedih Tor. Rasanya aku belum siap ditinggal Ayah.”
“Kamu sedih terus. Ati-ati lho, kesambet di kuburan,” sahut Tori. “Bebeknya enak kan?”
“Enakk..” Aya sedikit tersenyum.
“Tor, selamat ya jadi magang di koran. Terus, cerita kamu apa nih, hari pertama magang?” lanjut Aya.
“Seru deh. Yang sekarang sedang ramai kasus korupsi di kepolisian. Susah juga menggali keterangan dari narasumber, apalagi kasus yang kontroversial seperti itu,” jawab Tori cepat.
“ Besok siang nonton yuk, kan besok hari Minggu?” ajak Tori.
“Nggak bisa. Besok siang aku mau ziarah lagi.”
“Ya ampun, Ya…Ziarah terus. Doanya dari rumah aja, selesai kamu sembahyang.”
“Aku ingin mengingat Ayahku. Biar besok Seninnya aku bisa kuliah lagi dengan tenang,” ujar Aya cuek.
Dan dunia kembali berputar. Tori menjadi mahasiswa yang bekerja paruh waktu di sebuah harian di Jakarta. Aya menjadi mahasiswi jurusan Akuntansi yang sesekali meluangkan waktu pergi berziarah sebelum berangkat kuliah. Keluarga Tori hidup tenang di sebuah kota kecil di Pulau Jawa.
Dunia menemukan keseimbangan ketika Jakarta telah membuat Tori beradaptasi. Kota yang macet. Hiruk pikuk yang kotor. Debu yang menggantang di langit Jakarta.
Gang yang sempit. Perpaduan bau antara deterjen yang dibubuhkan dalam air cucian dengan limbah pabrik yang menggenang di got mampet. Ditambah dengan bau-bau bumbu dapur yang menyeruak di antara – entah dapur atau ruang tamu- yang berada di sepanjang gang. Kumuh.
Bos yang galak. Kantor-kantor yang dipenuhi dengan kompetisi. Mentalitas licik perlahan menyelinap di antara pegawai-pegawai yang tengah berkompetisi. Parfum dan kosmetik digenjot sana-sini. Katanya, agar persaingan dapat dijinakkan. Akhirnya, sumpah serapah tumpah juga di kafetaria karyawan di lantai dasar.
Sial !
Ribuan atau mungkin jutaan pencari kerja dari luar Jakarta memadati gang-gang sempit. Sekadar menumpang di rumah sanak kerabat sambil menunggu panggilan kerja. Atau, berharap-harap cemas status magang mereka akan ditingkatkan menjadi pegawai tetap. Seperti Tori dan Aya di sore itu.
Tori mengendarai motor kakak Aya yang dipinjamnya untuk mengantar Aya mendatangi job fair di pusat kota. Setelah lelah berdesakan di antara ribuan pencari kerja, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah Aya di sore hari. Perjalanan menuju rumah Aya tidak semudah ditempuh ketika Tori menyusuri jalanan di kampung halamannya. Sore hari, ketika karyawan-karyawan di seantero Jakarta memunguti jalan mereka pulang ke rumah, adalah jam padat di jalanan Jakarta. Salah-salah sedikit bisa,
Braak !!!
Motor yang dikendarai Tori bertabrakan dengan motor yang datang dari arah yang berlawanan.
Hei, anjing luh! Mata lo bisa ngeliat nggak? Gue lagi jalan, lo asal nyelonong aja! Gue nggak mau tau, ganti slebor depan gue!
“Tor, udah Tor. Cuma lecet dikit kok slebor depannya. Lagian kamu sih, lampu belum hijau sudah diterobos,” kata Aya perlahan setengah berbisik.
Pengendara motor yang bertabrakan dengan Tori kemudian menghampiri Tori.
Mata lo yang rabun! Sudah tahu merah, masih diterobos juga!
“Tor, udah Tor…” Aya mencoba menenangkan Tori yang masih diliputi emosi. Sementara itu, pengendara motor yang bertabrakan menstater kembali motornya dan beranjak pergi.
“Orang kayak gitu harus dikasih pelajaran Ya!” teriak Tori tak puas.
Tak mau menjadi tontonan, Aya kemudian mengistruksikan Tori, “ Tor, stater lagi. Nanti keburu polisi datang! Ayok! “
Tori kemudian menuruti kata-kata Aya. Sesaat kemudian mereka sudah berada di jalanan yang lebih sepi.
“Tor, di warung depan berhenti bentar ya. Kita makan bebek dulu yuk. Kamu pasti laper kan, tadi siang belum makan?” Aya mencoba membujuk Tori.
Tori menghentikan motor kakak Aya di depan warung bebek goreng di pinggir jalan. Aya mengamit Tori masuk.
“Kenapa sih, Tor, kayaknya emosi banget?”
“Habisnya…” Tori menghela nafas. Dalam hati, ia menyadari kalau ia juga bersalah karena melanggar lampu lalu lintas.
Pelayan warung makan lalu menghampiri meja tempat Tori dan Aya duduk. Dua gelas es jeruk segar dihidangkan untuk mereka berdua. “Tori, minum dulu. Biar emosi kamu hilang.” Aya tersenyum ke arah Tori.
“Aku ingin ziarah lagi,” kata Aya tiba-tiba.
Tori memandang Aya dengan keheranan. “Kenapa mesti ziarah lagi?”
“Kamu sudah berapa lama nggak ziarah?” tanya Aya.
“Berapa ya ?” Tori berpikir sejenak. “Mungkin sudah empat tahun lalu.”
“Kenapa nanyain ziarah?” Tori balik bertanya.
“Biar ingat. Ingat apa aja. Nggak cuma soal kematian. Kalau buat aku, ingat pesan-pesan Ayah yang juga pernah kecelakaan. Hati-hati di jalan. Buat aku juga, biar ingat lagi! Ingat kalau kita tuh manusia aja.”
Mendadak Tori ingat tradisi yang dilakukan keluarganya di kampung halaman. Ia sudah lupa keheningan apa yang didapat dalam memanjatkan doa kala berziarah. Tapi Tori masih ingat jawaban ayah Tori tentang mengapa harus ziarah.
“Biar kita bisa mikir pakai hati ya?” pungkas Tori.
“Nah, itu kamu tahu.” Senyum Aya mengembang.
Jakarta sore itu meninggalkan banyak cerita. Ceceran sumpah serapah. Ceceran silat lidah untuk menembus persaingan kerja. Ceceran cerita kusam di gang-gang sempit. Lupa untuk diziarahi.