tag:blogger.com,1999:blog-39728086947983971192024-03-13T10:17:10.509-07:00JunaxiologySelamat datang di lembar corat-coret saya, manusia yang selalu gelisah dan bosan. Pekerjaan saya sehari-hari menuntut analisis ekonomi-politik internasional. Tapi sejujurnya saya lebih menyukai sastra, psikologi dan sains populer. Saya bukanlah pencermat atau pengamat, tapi saya menulis untuk membebaskan diri saya. Semoga bisa diambil manfaatnya :)Unknownnoreply@blogger.comBlogger39125tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-68583627066115286982011-08-07T07:30:00.000-07:002011-08-07T09:05:46.088-07:00Soto-soto Paling Enak di JakartaSoto adalah salah satu kuliner favorit saya.Kayanya masakan Nusantara membuat soto dikenal di hampir seluruh suku bangsa di Indonesia. Di Jakarta, soto mengalami modifikasi, mulai dari soto yang mengusung citarasa khas asli daerah soto tersebut, sampai soto yang menyesuaikan citarasanya dengan lidah penduduk Jakarta. Interpretasi ini sangat mungkin terjadi, karena, misalnya kalau kita memakan empek-empek Palembang di Jakarta, citarasanya akan berbeda ketika memakan empek-empek di kota Palembang. <br /><br />Sejujurnya ada soto yang sangat saya sukai, yakni coto Makassar dan soto Banjar. Namun, saya belum menemukan soto Banjar yang sreg di Jakarta. Begitu pula dengan soto Padang yang saya tidak pernah sukai. Sehingga, daftar soto-soto rekomendasi ini tidak lepas dari subjektivitas lidah saya. Berikut adalah soto-soto yang saya temui enak di Jakarta. Keterbatasan geografis untuk menjelajah daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat tidak memungkinkan soto yang enak di daerah tersebut dimuat di blog ini. <br /><br /><br />1. Soto Garuda Tebet & Kemayoran<br />Ini soto yang paling saya sukai. Letaknya persis di sebelah Stasiun Tebet. Soto yang dijual adalah Soto Kudus, sebuah kota dari provinsi Jawa Tengah. Soto yang satu ini layak dicoba karena kesegaran sotonya, nasinya yang gurih, serta makanan pendamping yang enak, seperti telur puyuh, otak-otak, atau kerupuk kulit. Soto ini cocok dimakan di pagi hari untuk sarapan atau pun siang dan malam hari. Soto Kudus khas, bercitarasa seperti masakan India, karena memang pengaruh Timur Tengah cukup kental di Kudus di era kesunanan dahulu. Soto Garuda ini pusatnya ada di pengkolan Jalan Angkasa - Garuda, Kemayoran, namun juga membuka cabang di Stasiun Tebet. <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://id.openrice.com/UserPhoto/photo/0/W/0006H7713E3684E5B7FBDAn.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 285px; height: 190px;" src="http://id.openrice.com/UserPhoto/photo/0/W/0006H7713E3684E5B7FBDAn.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><br />2. Soto Gading Kalibata<br />Soto yang layak dicoba berikutnya adalah Soto Gading yang terletak di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Soto ini terletak di dalam kompleks Stasiun Kalibata. Soto ini enak karena bumbunya yang khas. Soto Gading berasal dari Solo, kampung halaman saya. Gading adalah sebuah daerah yang ada di Kecamatan Serengan. Di sana, terdapat sebuah warung soto yang terkenal enak turun-temurun. Berbeda dengan soto di daerah aslinya di Solo yang bercitarasa masam (aroma lemon), di Jakarta kadar masamnya tidak terlalu ekstrim, disesuaikan dengan lidah orang Jakarta. Soto dari Solo terkenal bening, begitu pula dengan Soto Gading Kalibata yang kuahnya juga bening. Saya mengira soto yang paling disukai orang Jakarta adalah Soto Kudus, yang mampu menjembatani berbagai selera suku bangsa di Jakarta. Buat sebagian orang, soto dari Solo mungkin terlalu minimalis, karena tidak bersantan atau tidak banyak bumbu, hanya bening dan sedikit masam. Tapi buat saya itulah magnetnya. Segar, tidak eneg, dan dagingnya berasa. Makanannya pun khas Solo : tahu tempe, di samping telor puyuh dan empal yang tersaji sebagai makanan pendamping. <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://novansyah.blogsome.com/images/SotoGading.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 448px; height: 336px;" src="http://novansyah.blogsome.com/images/SotoGading.JPG" border="0" alt="" /></a><br /><br />3. Soto Ceker Rawasari<br />Soto ini terletak di seberang Rutan Salemba, di Jalan Percetakan Negara. Soto ini berjenis Soto Surabaya yang kaya kunir dan kaya bumbu. Lauknya? Tidak tanggung-tanggung. Kalau kita memesan ceker satu piring pun akan diberikan. Beraneka ragam lauk, mulai dari ceker,jeroan, atau telor. Soto ini sangat ramai, walau tempatnya kurang representatif (warung tenda).<br />Bedanya dengan soto Surabaya / Madura lainnya, soto ini bumbunya pas dan cekernya itu lho...yang membuat kita ingin makan lagi, lagi, dan lagi. Tempat ini sangat well-recommended kalau kamu lagi pengen makan banyak dan puas (tak terbatas). Kata orang tua saya, itulah beda orang Solo dengan orang Surabaya. Orang Solo cenderung makannya ala 'ndoro', alias makan soto dengan mangkuk kecil dan porsi yang reasonable. Sementara, di Surabaya, kebudayaan untuk bebas berekspresi lebih terlihat. Sehingga, kalau makan pun jadinya serba puas !<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_2swXd_IJRSY/SyD8YM-OYlI/AAAAAAAACGY/cAYnLcuM-HY/s200/Image021.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px; height: 200px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_2swXd_IJRSY/SyD8YM-OYlI/AAAAAAAACGY/cAYnLcuM-HY/s200/Image021.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><br />4. Soto Gebrak !!<br />Soto ini terletak di beberapa tempat di Jakarta, yakni di Margonda Depok dan di Jalan Lapangan Roos Tebet. Entah apa yang Tuhan pikirkan ketika menciptakan daerah Tebet hingga dipenuhi dengan makanan-makanan enak dan kreasi yang sangat kreatif. Kalau saya lebih suka Soto Gebrakk di Tebet daripada di Margonda. Pertama, karena bumbunya lebih mantap yang di Tebet dan kedua soto ini sangat khas. Ketika memasak, empunya warung harus menggebrak dahulu adukan sotonya ke kwali. Sehingga terdengar bunyi brakk setiap 5 menit sekali/ setiap ada pesanan. Di Tebet, bunyi brakk nya tidak memekakkan telinga, sementara di Margonda bunyi brakk nya sudah dalam kategori mengganggu. <br />Di cabang Margonda, warung dipenuhi dengan foto-foto jadul empunya warung dengan artis-artis, seperti Titik Puspa, Krisdayanti, atau Nia Daniati. Menandakan soto itu sudah laris manis sejak dahulu kala. <br />Soto ini merupakan Soto Madura plus plus yang memang benar-benar Madura. Kuahnya hitam, ada berbagai komponen selain daging ayam. Berbeda dengan Soto Surabaya yang bukan murni Soto Madura karena masih adaptif dengan citarasa suku bangsa Jawa yang suka rasa gurih atau manis, soto ini memang Soto Madura yang nendang. Mangkuknya pun mangkuk besar sehingga penikmat soto puas menikmatinya. Menurut saya, soto ini mencerminkan kebudayaan masyarakat Madura yang jenaka. Bagaimana tidak ? Membuatnya saja pakai gebrakan, sehingga menimbulkan perhatian dari pengunjung. Gebrakan bukan berarti marah, tapi hanya sekadar ledekan dan intermezzo yang menimbulkan kekonyolan. <br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://escoret.net/blog/wp-content/uploads/2007/06/soto-gebrak.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 225px;" src="http://escoret.net/blog/wp-content/uploads/2007/06/soto-gebrak.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><br /><br />5. Soto Mie H. Alie Tebet<br />Ini adalah soto mie khas Betawi. Penjualnya pun orang Betawi asli dengan peci dan kaos putihnya yang khas. Namanya Babeh Ali. Soto Babeh Ali citarasanya tegas dan padat, mirip kebudayaan Betawi. Padat, karena sotonya lengkap dengan citarasa mie dan kentang yang dominan. Tegas, karena rasanya lurus-lurus saja, tidak terlalu masam, tidak terlalu gurih, tidak terlalu asin, semua dipadukan dengan menghasilkan sebuah kombinasi yang seimbang. Kata orang Betawi, lempeng kayak centong sayur. Soto ini direkomendasikan untuk kamu yang ingin menjajal kuliner-kuliner Nusantara. Mengapa? Rasanya enak dan mereprentasikan citarasa Betawi dan kebudayaan Betawi (Di belakang warung ada masjid dan tiap kali masuk waktu sholat, Babeh sholat di masjid). Berbeda dengan Soto Kudus dan Soto Gading yang dapat dimakan sering-sering karena terdapat variasi dengan penambahan lauk, soto mie ini relatif membosankan jika tiap hari menyantapnya. Mengapa? Karena memang citarasanya yang tegas dan lempeng dan minim improvisasi. Babeh Ali tidak menyediakan makanan pendamping, hanya kerupuk dan teh botol saja. Tapi rasanya memang khas dan enak. Soto mie ini terletak di Jalan Tebet Barat VIII dengan warung tenda-nya yang bersih.<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.tebetbarat.com/rumahmakan/miebaso/sotomiebangali.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 336px; height: 438px;" src="http://www.tebetbarat.com/rumahmakan/miebaso/sotomiebangali.jpg" border="0" alt="" /></a>Unknownnoreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-70823090154592066772011-06-15T11:07:00.000-07:002011-06-15T11:10:30.370-07:00Do You Know Your Strength? Think (and Feel) Again Please<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_bkk-cCIyZeo/TBR7vP7tjbI/AAAAAAAAAD0/ifWNn7Qh6_s/s1600/head.gif"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 354px; height: 490px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_bkk-cCIyZeo/TBR7vP7tjbI/AAAAAAAAAD0/ifWNn7Qh6_s/s1600/head.gif" border="0" alt="" /></a><br />FYI...dituliskan kembali dari artikel di Harian Kompas, Sabtu 4 Juni 2011 yang ditulis oleh Rene Suhardono, disebarkan untuk keperluan sharing<br /><br /> <br /><br />Pada awalnya,saya bekerja sebagai karyawan di sebuah bank swasta. Saat itu saya belum punya pemahaman soal passion ataupun purpose of life. Pilihan bekerja di bank terasa wajar karena relevansi dengan latar belakang pendidikan dan kesempatan memang terbuka. Hasil tes masuk kepegawaian mengindikasikan saya punya kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Kala itu saya pikir inilah validasi yang diperlukan. Motivasi kerja sekadar supaya bisa bahagia "3 harian" (baca:gaji). Kepedulian cuma pada 1 kata:"Me!" Semua pertimbangan tidak jauh dari kebutuhan untuk tampak keren di hadapan saudara dan teman-teman karena punya kartu nama. Saya bukan termasuk karyawan luar biasa, tetapi karena mudah bergaul saya memperoleh banyak kesempatan memperdalam ilmu perbankan. Saya pikir stength saya adalah perbankan. Selain itu, saya sudah bekerja sesuai dengan strength tersebut.<br /><br />Your job is NOT and shall NEVER be your career. Beberapa tahun pun berlalu. Semakin mendalami dunia perbankan, semakin saya merasa asing dan tidak menikmati sebagian besar aktivis yang dijalankan. Banyak cara sudah dicoba, tetapi kebosanan, keresahan, dan ketidakpedulian semakin mendominasi. Belakangan saya menyadari ini problem karier dan tidak akan bisa dipecahkan dengan pendekatan pekerjaan semata. Tidak ada yang salah dengan profesi bankir dan beragam jenis pekerjaan lainnyanadalah sekadar alat-tidak lebih dan tidak kurang. Namun, berhubungan saya hanya paham dunia perbankan, pilihan apa yang bisa saya ambil? Apa jadinya kalau harus berkiprah di luar strength saya? Apakah anda pernah merasakan hal yang sama?<br /><br />You can only start with what you have, NOT what you wish you have. Ada aspek tertentu dalam aktivitas sebagai bankir yang sangat saya nikmati yaitu berinteraksi dengan orang banyak dan merajut kolaborasi yang bermanfaat. Namun, peluang melakukan hal-hal ini tidak lebih dari 5 persen dari waktu dan porsi kerja ketika itu. Angan-angan beralih menjadi rencana untuk membalikkan keadaan dengan berupaya fokus terhadap hal-hal yang saya tahu saya sukai.<br /><br />Your passion may not be something you are good at right now. Saya beruntung masih punya keberanian (baca:kegilaan) untuk melakukan sesuatu. Selain itu, sesuatu itu adalah pilihan untuk hanya menjalankan hal-hal yang saya nikmati dalam satu paket dengan konsekuensinya. Sama sekali tidak mudah, tetapi segalanya seolah dimudahkan saat sudah bisa jujur dengan diri sendiri.<br /><br />Whether you think you can or you can't, either way you are you right. Sahabat saya Steven Kosasih mengatakan bahwa banyak orang merasa terpenjara dengan pilihan-pilihan yang mereka buat sendiri. Penjara ini hanya bisa dibongkar dengan kejujuran, keberanian,dan kepedulian.<br /><br />Kekuatan dahsyat untuk bekerja, berkarya, dan berkontribusi berasal dari dalam diri sendiri saat pikiran dan hati selaras. Your real strength comes from the combination of your passion and clarity of your purpose. Pada kondisi ini, tidak ada yang tidak mungkin dengan izin-Nya.<br /><br /> <br /><br /> <br /><br />Rene Suhardono - CareerCoach<br /><br />Kompas, 4 Juni 2011 halaman 35Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-60128455434988633882011-05-28T12:04:00.000-07:002011-05-28T12:28:56.856-07:00Ikuti Kata HatiSudah seminggu ini saya sibuk dengan urusan membuat CV yang baik. Saya ingin resign dari kantor, karena momennya juga sesuai bebarengan dengan berakhirnya sekolah S2 saya, amiin. Saya berencana melamar kesana kemari dengan bidang ilmu dan pengalaman kerja saya. Tapi, setelah saya baca-baca lagi dan renungkan, apa memang ini yang saya inginkan ?<br /><br />Apa benar saya mau bekerja di kantor-kantor tersebut dengan urusan yang tak saya pahami.<br /><br />Saya ingin menikah, itu pasti. Dan untuk menuju ke arah sana dibutuhkan persiapan materi yang kuat agar tidak banyak masalah nantinya. Saya akhirnya merasa materi menjadi penting, tadinya mungkin tidak terlalu merisaukan masalah itu. Tapi malam ini, setelah saya renungkan lagi, materi dan kerja keras itu penting. Tapi apa dengan cara ini ? Apa kerja keras saya harus saya lakukan di lahan itu ? Bukankah saya sendiri mempunyai sedikit ilmu yang mungkin orang jarang mempunyainya ?<br /><br />Dari mana saya harus memulai ? Apa saya harus pulang ke kampung dan mau dicap sebagai 'pengangguran'? Itu adalah hal yang paling menyiksa saya.<br /><br />Tiba-tiba tadi bapak telepon. Hari Jumat bapak mau ke tempat saya. Saya kemudian berpikir lebih lanjut, kalau saya bisa dipercaya oleh orang tua untuk dapat mengelola keuangan dengan target yang sangat cepat, saya mungkin akan terbantu untuk menyusun business plan itu. Apakah orang tua mau percaya ? Apa saya berhasil ?<br /><br />Saya orangnya moody, cepat sekali berubah pikiran dan berganti suasana hati. Tentu menjadi tidak mudah untuk mengembangkan diri sendiri karena bisa-bisa saya nggak berkembang karena malas. Tapi, saya juga mempunyai kelemahan cepat jenuh, dan sekalinya jenuh akan mengalami kejenuhan mendalam dan menjadi prokastinator. Selain itu, saya tidak bisa menolak permintaan orang lain walaupun permintaan itu agak mustahil. Di dunia kerja, ini menjadi sulit untuk dipertahankan.<br /><br />Kelebihan saya adalah : imajinasi konseptual serta kemampuan investigasi. Saya adalah orang yang sangat menyukai permainan konsep, debat, counter argument, dan juga menyukai "tuduhan". Maksudnya ? Saya suka menuduh, kemudian dari tuduhan ini saya akan berusaha mencari bukti-bukti yang menguatkan saya untuk mendapatkan justifikasi kalau tuduhan saya benar atau salah. Saya lebih suka merumuskannya dengan istilah 'investigasi', daripada riset. <br /><br />Tik tok tik tok.<br /><br />Ah, saya tahu apa yang ingin saya lakukan sekarang. Mungkin saya tidak perlu menyebar CV, tapi saya akan membuat proposal bisnis yang akan saya kembangkan. #randomthoughtsUnknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-14130746078409104382011-05-15T10:20:00.000-07:002011-05-24T07:23:18.402-07:00Apakah Cinta Memiliki Sayap ?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_MCRPLpoZj-E/SWhEUczVWbI/AAAAAAAAAAw/qFRbqlLAwKo/S660/Sayap.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 448px; height: 336px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_MCRPLpoZj-E/SWhEUczVWbI/AAAAAAAAAAw/qFRbqlLAwKo/S660/Sayap.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><br /><br />Does love have wings ? If yes, there will be many broken heart seeing beautiful paradise.<br /><br />Sayangnya, tidak. Realitasnya, cinta tak bisa terkepak.<br /><br />Benarkah istilah 'cinta yang salah' ? Buatku, tidak pernah ada cinta yang salah. Ia hanya menyesuaikan. <br /><br />Sedihnya, ketika cinta tak disambut, ia tak akan sudi membagi.<br /><br />Hati selalu mencari hati yang dicintai. Ia pergi, bahkan hanya menanyakan bagaimana kabar, keadaan, atau perkembangan terbaru.Sekadar menjaga perasaan, agar tak terlalu sakit hati. <br /><br />Dan waktu yang menenggelamkan semua cerita indah. Berlalu seperti pasir menenggelamkan jejak-jejak kaki di pantai.<br /><br />Jadi, ketika sekarang dia sudah bahagia dengan orang yang dipilih, dan dia menanyakan padaku : Apakah masih aku mencintaimu ?<br /><br /><span style="font-style:italic;">Masih. Karena cinta tak pernah salah. Cinta tak menilai rasio, baik buruk, tapi adanya dirinya.</span><br /><br />Sayang malam ini cinta tak bisa menerbangkan hati. Agar cinta itu bisa dibagi. Tapi aku percaya, semesta punya banyak cinta yang tak bisa dibatasi.<br /><br />Kalau aku tak bisa terbang ke hatinya, maka aku akan terbang ke luasnya cinta semesta :)Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-52920866894272819662011-05-14T03:02:00.000-07:002011-05-14T04:00:34.265-07:00Imajinasi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_IrWqeRoRekM/SfVY9vzP1-I/AAAAAAAAAWY/WhdBDF19N5c/s320/imagination-tree-300px.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 302px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_IrWqeRoRekM/SfVY9vzP1-I/AAAAAAAAAWY/WhdBDF19N5c/s320/imagination-tree-300px.jpg" border="0" alt="" /></a><br />Saya kurang paham dengan apa yang menjadi kelebihan saya. Beberapa teman dekat menganggap saya orangnya angin-anginan. Sebentar senang hal baru, beberapw waktu kemudian beralih pada kesenangan yang lainnya.<span style="font-style:italic;">Moody.</span><br /><br />Kebiasaan moody itu terbawa pada hari-hari saya, tapi tidak ketika saya menghadapi orang atau berkomunikasi. Kadang saya bangun dan masih bermalasan walaupun jam sudah menunjukkan pukul 08.30 atau pukul 09.00 WIB.Tubuh rasanya malas sekali untuk mandi, bahkan malas berangkat kerja.Mood saya baru tergerak ketika mendengarkan musik beberapa kali atau musik yang menghentak sampai saya benar-benar 'terbangun'. Sebaliknya, kalau sedang rajin, saya bisa menginap di kantor, bahkan sampai seminggu tidak pulang. Perlengkapan baju ganti dan mandi memang sengaja dipersiapkan.<br /><br />Di kantor, saya juga selalu mengalami kendala konsentrasi ketika mengawali kerja. Biasanya setengah jam di awal atau lebih, dihabiskan untuk browsing hal-hal yang sifatnya fun dan tidak membuat stress. Baru setelah itu, saya bisa mulai mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.<br /><br />Waktu berkuliah atau bersekolah dulu, saya merasakan tidak pernah menjadi se-moody ini. Bahkan, dulu waktu sekolah, saya paling rajin datang dan pulang ke sekolah. Kuliah juga rajin-rajin juga. Kalaupun bolos, paling karena saya sedang ada kegiatan lain.<br /><br />Mungkin, kondisi fisik saya (obesitas) tidak baik saat ini sehingga sering malas. Tapi saya juga berkesimpulan bahwa ini karena matinya imajinasi. Ya, imajinasi.<br /><br />Itu yang menjadi kelebihan atau mungkin kekurangan saya. Saya suka berimajinasi. Makanya, saya senang membuat karya fiksi, walau waktunya kadang tidak ada.<br /><br />Dalam bekerja, imajinasi saya seperti mati. Saya memang tidak bekerja di sebuah perusahaan swasta yang punya jam kerja dan aturan yang ketat. Saya bekerja di sebuah NGO yang mengandalkan pelaksanaan intervensi sosial. Merubah keadaan lebih baik. Tapi saya merasa imajinasi saya mati karena tekanan-tekanan dalam pekerjaan yang membuat keadaan tidak sadar saya muncul dan menyeruak di tengah kebosanan itu.<br /><br />Saya menemukan kebosanan mendalam dengan kata-kata. Saya merasa kata-kata terbaik adalah kata-kata yang keluar dari dalam diri sendiri. Suara hati, atau aspirasi.<br /><br />Kata-kata di kantor itu sekarang layaknya seperti jargon. Saya lelah dicuci otak. Saya harus mengikuti penalaran dari lingkungan kerja saya, karena ini pakem yang biasa dilakukan. Padahal, saya biasa menulis apa yang ingin saya tulis, yang ingin saya goreskan sesuai penalaran saya.<br /><br />Saya tidak bisa dibentuk. Saya mengerjakan sesuatu dengan passion atau gairah. Jika tidak ada gairah itu, tentunya saya menjadi ogah-ogahan. Dan semakin lama saya mengetahui sekeliling saya, saya semakin pesimis. Bahwa dunia tidak secerah yang kita lihat.<br /><br />Tapi manusia adalah paradoks. Dalam kesuraman ini, saya butuh sebuah harapan dan kecerahan. Dan saya tidak melihat itu dalam pekerjaan saya. Saya semakin merasa pesimis, karena memang kenyataannya suram.<br /><br />Imajinasi ini harus tumbuh kembali dan optimisme harus ditumbuhkan. Kalau terlalu pesimis, bisa habis dunia saya. Kalau terlalu optimis, saya lupa akan diri saya.<br /><br />Ada hal yang saya harapkan bisa melingkupi imajinasi saya : keseimbangan. Karena saya mempercayai filsafat Timur mengenai keseimbangan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-5750414893447418192011-04-16T12:15:00.000-07:002011-04-16T12:54:28.783-07:00Dalam Doaku (puisi Sapardi Damono)Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata,<br />yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,<br />yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara<br /><br />Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,<br />dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,<br />yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin<br />yang mendesau entah dari mana<br /><br />Dalam doaku sore ini,<br />kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,<br />yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,<br />yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu<br /><br />Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin<br />yang turun sangat perlahan dari nun di sana,<br />bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi<br />dan bibirnya di rambut, dahi dan bulu-bulu mataku<br /><br />Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,<br />yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,<br />yang setia mengusut rahasia demi rahasia,<br />yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku<br /><br />Aku mencintaimu,<br />Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu<br /><br />(oleh Sapardi Djoko Damono)Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-29466592987497985752011-03-18T11:02:00.000-07:002011-03-18T11:10:57.147-07:00Do'a LagiYa Tuhanku,<br />Jika kau memang ciptakan peredaran matahari selama 24 jam saja<br />maka berikanlah aku fokus dan tenaga <br />untuk bisa mencapai targetku<br /><br />Ya Allah,<br />Sungguh di malam hari adalah waktu yang tepat untuk mengintrospeksi diri<br />dan pengalamanku hari ini menunjukkan <br />kalau aku bukanlah orang baik dan bersih dari dosa-dosa<br />ampunilah aku dengan segala kelemahanku<br /><br />Ya Allah,<br />hindarkanlah aku dari rasa sombong<br />berikanlah kekuatan agar aku terus bisa melayani<br />dan memberikan sesuatu yang berarti untuk mereka yang lemah dan dicurangi<br /><br />Ya Tuhanku,<br />jika memang Kau ciptakan manusia sama<br />biarlah aku menjadi pelayan <br />karena kuyakin kasih sayang Mu ada untuk setiap umat yang percaya<br /><br />Amiin ya robbal 'alamiinUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-57970137358421174712011-03-14T10:49:00.000-07:002011-03-16T09:20:57.416-07:00Puisi Kahlil Gibran soal Anak<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://marianacity.files.wordpress.com/2010/09/anak-berlari.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 1024px; height: 685px;" src="http://marianacity.files.wordpress.com/2010/09/anak-berlari.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><br /><br /><br /><br />"Anakmu bukan Anakmu"<br />oleh Kahlil Gibran <br /><br /><blockquote>Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu<br />Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri<br />Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu<br />Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu<br /><br />Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu<br />Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri<br />Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka<br />Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah masa depan,<br />yang tak pernah dapat engkau kunjungi, meskipun dalam mimpi<br /><br />Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu<br />Karena hidup tidak berjalan mundur, dan tidak pula berada di masa lalu<br /><br />Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan<br />Sang pemanah telah membidik arah keabadian,<br />dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya,<br />sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh<br /><br />Jadikanlah tarikan tangan Sang Pemanah itu sebagai kegembiraan,<br />Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,<br />Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat<br />Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap dan teguh</blockquote>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-91510584263098933942011-03-13T08:49:00.000-07:002011-03-13T09:12:25.363-07:00Bait-bait DoaYa Allah Tuhan segala jagad,<br />Pada hari ini aku kembali ke hadapanmu<br />dengan dosa yang bertumpuk yang harus kupertanggungjawabkan<br /><br />Ya Allah,<br />Aku memohon pengampunanmu<br />karena aku percaya Engkau lah Sang Maha Pengampun<br />karena aku percaya masih ada hari esok yang harus kutatap<br />karena aku percaya karunia Mu, ya Rabbi<br /><br />Ya Allah,<br />Berikanlah padaku keteguhan hati<br />agar dapat melalui semua rintangan dan cobaan<br /><br />Berkahilah diriku dengan ridho Mu<br />Insya Allah kuberjalan untuk menggapai kebaikan<br />yang Engkau pun ridhoi<br /><br />Mudahkanlah jalanku<br />Karena aku hanya seperti debu di antara luasnya padang pasir<br />Karena ku lemah dan banyak kelengahan<br />Karena aku manusia biasa yang banyak salah<br /><br />Berikanlah taqwamu ya Rabbi<br />agar aku bisa tegar di antara banyaknya penghalang<br />jauhkanlah aku dari nafsu-nafsu yang melampaui batas<br />jauhkanlah aku dari hiruk pikuk duniawi yang sementara<br /><br />Berikanlah aku ketenangan<br />dalam setiap langkah dan tujuan<br />agar aku bisa mencapai visi dan misiku<br />sebagai hamba Mu, ya Rabbi<br /><br />Sungguh aku adalah orang yang sombong<br />yang menginginkan pengakuan-pengakuan duniawi<br />yang ingin merasa lebih baik dari yang lain<br />yang merasa diri paling benar<br />padahal aku terbatas dari segala kesempurnaan<br /><br />Hancurkanlah sombongku ini, ya Allah<br />agar bisa kunikmati semesta Mu yang lebih indah, yang lebih kaya<br /><br />jika hari ini aku masih berjuang<br />itu karena aku percaya bahwa ini adalah rencana Mu<br />hantarkanlah perjuanganku ini menjadi jihad yang kau restui<br /><br />karena aku percaya bahwa ada siang dan ada malam, ada baik ada jahat, ada kaya ada miskin<br />maka kuyakin selalu ada perjuangan untuk menembus oposisi biner itu<br />walaupun kebenaran hanya milik Mu semata<br />kami hanyalah hamba yang berusaha menggapai kebenaran itu<br /><br />Allah tiada merubah nasib suatu kaum jika ia tidak merubahnya sendiri<br />dan kupercaya oposisi biner tidak selalu harus dipertahankan, kecuali hukum alam Mu ya Allah<br />ia harus diperbaiki : agar yang jahat menjadi sedikit baik, agar yang miskin sedikit kaya atau mendekati si kaya, agar yang bodoh menjadi berpengetahuan<br /><br />Ya Allah yang Maha Tahu<br />semua ini kupersembahkan hanya karena naluriku sebagai seorang manusia, sebagai hamba Mu<br /><br />Subhanallah, Allahu Akbar, Laa Ilaha Illa Allah<br /><br />Maha Benar Allah dengan segala firman NyaUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-61007082977049837162011-02-19T10:20:00.000-08:002011-02-19T12:31:25.713-08:00Tesis Cenat Cenut : Mengeksplorasi Motivasi<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-yA0RFl9jEmY/TWAhrcD4z2I/AAAAAAAAAOE/ouBHcSC0Vi0/s1600/IMG0452A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-yA0RFl9jEmY/TWAhrcD4z2I/AAAAAAAAAOE/ouBHcSC0Vi0/s320/IMG0452A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575493368835264354" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-fn4KVmf6Rn0/TWAhkzYw8DI/AAAAAAAAAN8/cpZrKoeZPSM/s1600/IMG0455A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-fn4KVmf6Rn0/TWAhkzYw8DI/AAAAAAAAAN8/cpZrKoeZPSM/s320/IMG0455A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575493254837760050" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/-TwKQDe67fsw/TWAhaoKm-xI/AAAAAAAAAN0/tKr9Ox4XA8Y/s1600/IMG0453A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/-TwKQDe67fsw/TWAhaoKm-xI/AAAAAAAAAN0/tKr9Ox4XA8Y/s320/IMG0453A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575493080026905362" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-iR1lkiBkIc8/TWAhSU-4d3I/AAAAAAAAANs/zrStg-PbbaQ/s1600/blog%2B1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-iR1lkiBkIc8/TWAhSU-4d3I/AAAAAAAAANs/zrStg-PbbaQ/s320/blog%2B1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575492937438492530" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">"Kejujuran itu seperti es krim.Ia akan meleleh jika tidak segera dilahap." - Andai Ia Tahu</span><br /><br />Baiklah, kali ini saya akan jujur. <br /><br />Bicara mengenai tesis saya, sudah banyak yang menanyakan kabar tesis saya. Dalam hati,saya cuma cenat-cenut, karena sebenarnya tesis saya memang belum beres ! Lebih tepat, terlantar. Setiap ada yang bertanya,saya anggap sebagai doa ; semoga memang lekas selesai. Oleh karena itu, semester ini saya harus lulus. Kalau tidak ? DO, karena ini sudah semester terakhir (semester 6). <br /><br />Idealisme saya dalam menggarap tesis ini amat sangat tinggi, jika dibandingkan dengan minimnya waktu yang saya punya untuk 'mengintimi' karya ilmiah ini. Mengingat idealisme di Program Pascasarjana ini cukup tinggi juga, yakni mahasiswa setelah lulus memiliki : ketrampilan, ilmu pengetahuan, dan nilai (Zastrow, tahunnya lupa), maka saya pun terbirit-birit mengejar standar itu.<br /><br />Ketrampilan, artinya saya harus terjun ke lapangan untuk mempraktekkan ketrampilan sebagai social worker. Eits, jangan salah dengan istilah 'social worker' atau pekerja sosial. Profesi ini bukanlah sekadar relawan, aktivis LSM, atau kumpulan mujahid. Gambaran lengkapnya baca di sini saja deh : http://www.naswdc.org/<br /><br />Selain ketrampilan, ilmu pengetahuan dimiliki dengan menjalankan riset ilmu sosial. Ya, seperti layaknya orang mengerjakan skripsi atau tesis. Jadi, ada dua tugas akademik yang harus saya lengkapi : laporan intervensi sosial dan tesis itu sendiri. Intervensi sosial ini awal mula tesis ini sendiri. Ibaratnya pengenalan dan pendalaman terhadap medan yang dihadapi. <br /><br />Karena background pengetahuan saya HI dan bekerja di sebuah lembaga yang concern dengan masalah keadilan ekonomi dan globalisasi, maka saya bermaksud mengambil topik idealis. Pertama, saya mencoba mendalami soal pengungsi yang datang ke Indonesia. Tapi dalam perkembangannya, saya tidak mendapatkan 'klik' dengan pengungsi maupun pimpinan di lembaga tempat saya menjalankan intervensi. Akhirnya bubar jalan di tahap awal. Yang kedua, soal petani di Bekasi. Ini topik yang sebenarnya saya idam-idamkan. Menggeluti kemiskinan petani. Topik idealis ini pun juga idealis benar secara praktik. Dua jam perjalanan dari Jakarta, bersaing dengan truk-truk besar yang hendak ke Tanjung Priok, pembimbing yang telah bergelar Profesor yang perfeksionis, ditambah pekerjaan saya yang menguras emosi karena adanya konflik organisasi. Akhirnya, tesis ini juga terlantar di tengan jalan. Motivasi saya kurang kuat untuk mengerjakannya. Semua berhenti dalam tahap case recording. Berbagai lembaga sempat dijajaki, misalnya lembaga penangangan autisme di Depok,Departemen Psikiatri di FK UI-RSCM, tapi semuanya tidak berhasil. <br /><br />Dua semester berlalu, dan saya tidak dapat berbuat banyak, bahkan sempat berpikir tidak udah dilanjutkan saja karena saya tidak bisa membagi waktu. Selama masa vakum itu, saya mempergunakan untuk membaca-baca buku. Anehnya, saya -lama-lama- seperti keluar dari kotak. Kotak Hubungan Internasional yang berisi realisme, keamanan, ekonomi politik internasional, atau globalisasi. Saya terdampar dalam sebuah kubangan yang mengasyikkan, yang melihat diri manusia, identitas diri, serta relasi sosial. Lama-lama saya benar jatuh cinta dengan disiplin Psikologi.<br /><br />Sementara itu, otak kiri saya terus-menerus digembleng dengan sejuta istilah perdagangan bebas mulai dari multilateralisme, regionalisme, pertanian, perikanan, jasa, TRIPs, sampai keuangan. Topik-topik ini susah susah gampang. Gampang, karena di HI diajarkan dasar-dasarnya. Susah, karena tidak mudah mempelajari perjanjian ekonomi internasional dalam waktu yang singkat. Sungguh konflik motivasi dan konflik pemikiran yang sangat melelahkan. <br /><br />Pada awalnya, saya mengambil program ini karena saya ingin masuk ke industri sosial. Latar belakang HI saya tidak cukup untuk menjangkau pengetahuan mengenai bagaimana harus melakukan Participatory Rural Appraisal (PRA) di komunitas? Bagaimana mengevaluasi suatu program sosial ? Ekspektasi saya di awal hanya ingin mempelajari Community Development / Community Organizing. Tetapi, setelah memasuki bangku kuliah, ternyata apa yang saya dapat lebih dari itu. <br /><br />Intervensi sosial terdiri dari 3 level : mikro, mezzo, dan makro. Di level paling mikro, yakni intervensi individu, saya harus mempelajari teknik konseling dan assessment dengan penerima manfaat (klien). Kelas Intervensi Individu dan Kelompok Kecil tiap Sabtu pagi di Kampus Unika Atmajaya Semanggi bersama Prof Irwanto membuka cakrawala saya mengenai ilmu Psikologi. Lambat laun, saya mulai dibukakan pengetahuan psikologi dalam intervensi mikro, sosiologi dalam intervensi mezzo, teknik-teknik advokasi (yang sudah saya ketahui, karena ini termasuk wilayah pekerjaan saya) dalam intervensi makro, dan disiplin manajemen dalam pengelolaan organisasi sosial. Ternyata, disiplin Psikologi lah yang paling nempel. Ketidakmampuan saya untuk berterus terang dengan apa yang saya mau ini yang membuat tesis ini makin cenat-cenut karena email kantor saya penuh dengan kata-kata : KONSOLODASI, AKSI, ALIANSI, PETISI, STRATEGIC MEETING, JARINGAN INTERNASIONAL, SOLIDARITAS, atau PENELITIAN. Saya suka dengan pekerjaan ini, tetapi kadang-kadang teralienasi karena saya tidak sedang ingin menari di atasnya. Saya ingin menari di atas ANXIETY, NEUROTIK, ASSESSMENT, KEBERFUNGSIAN SOSIAL, dan RETARDASI MENTAL. Sayang, panggungnya tidak ada.<br /><br />Akhirnya, di semester yang harus dirampungkan ini, saya kembali bergegas menata kajian saya. Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan intervensi dalam Kebijakan Manajemen SDM di Organisasi Sosial di sebuah LSM. Penelitian saya bermaksud mendalami motivasi kerja karyawan dalam organisasi sosial.<br /><br />Objek yang saya teliti bukan Jepang, AS, atau LSM Internasional, tapi empat orang individu yang memutuskan diri bekerja di sebuah organisasi sosial selama lebih dari 20 tahun. Individu-individu ini tidak berpindah-pindah tempat kerja, walaupun gaji yang diperoleh di organisasi ini sangat sangat sangat minim untuk ukuran pekerja industri komersil, bahkan untuk ukuran sesama organisasi sosial. Saya ingin mengulik hal apa yang memotivasi mereka sampai rela bekerja dengan gaji yang rendah (masa kerja mereka lebih dari 20 tahun). Bagaimana strategi coping mechanism mereka ? Bagaimana pengaruh kestabilan/perubahan di organisasi terhadap motivasi mereka ? <br /><br />Bicara 'idealisme'lagi, karya ilmiah ini sebenarnya ingin 'memberikan masukan' (cie cie cie) pada pendekatan humanistik dalam Psikologi yang diwakili oleh Maslow dengan teorinya yang 'melegenda', yakni teori motivasi. Bahwa ada persoalan 'Person-in-Environment', di mana ada interaksi yang saling terkait antara individu dengan sistem. Sehingga, persoalan motivasi bukan merupakan sebuah persoalan individualisasi yang ditunjukkan oleh pendekatan humanistik, namun juga persoalan komunal. Berbeda dengan pendekatan struktural yang meletakkan individu bagian dari sistem, tapi adanya level dan jenis motivasi yang berbeda membuat persoalan motivasi adalah juga persoalan personal (eksistensial). 'Person-in-Environment' inilah yang membingkai motivasi kerja di dalam organisasi pelayanan atau organisasi sosial, karena pekerjaan pelayanan juga erat dengan nilai-nilai dan moral/etika tertentu yang disepakati bersama.<br /><br />Kalau Maslow menyebut sebagai 'self-actualization' sebagai motivasi tertinggi, maka saya ingin memasukkan mengenai peran kognisi dalam motivasi. Self-actualization Maslow sangat abstrak untuk dipahami, karena beberapa penelitian juga yang menyebutkan : ada keinginan terpendam yang muncul walaupun kebutuhan-kebutuhan dasar manusia sudah sangat terpenuhi; yang di luar jangkauan kebutuhan dan fase perkembangan, misalnya : konsumerisme, pengalaman masa lalu atau alam bawah sadar (pembuktian terhadap psikologi Freudian). Psikolog dari Rusia, Vygotsky, mengatakan bahwa kognisi diperoleh karena adanya interaksi sosial. Artinya, kedasaran dapat muncul secara kolektif atau 'getok tular'. Yang kedua, semakin banyak ia dipengaruhi oleh lingkungan bahwa 'A adalah B', maka kognisinya akan merujuk ke situ. Walaupun, dalam konteks kognisi dan intelijensia, juga harus diperiksa benar apakah ia mempunyai level kognisi yang serupa, sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan teman-temannya. Jadi, tidak perlu mengidentifikasi sebagai 'self-actualization', tetapi saat kebutuhan dasar, kebutuhan kognisi dan kebutuhan neurotik nya telah terpenuhi, maka kesadaran akan muncul. <br /><br />Tapi, kembali lagi, ini kan namanya juga cita-cita. Cita-cita alias idealisme. Semester ini saya memang sengaja mencurahkan sekitar 70% pemikiran (sisanya untuk pekerjaan) demi tergenapinya idealisme dalam tesis ini. Refleksi yang saya peroleh dari tesis cenat-cenut ini adalah ternyata Tuhan begitu baik menjawab kegelisahan saya. Mungkin saya khilaf masuk HI, karena latar belakang SMU saya IPA, sehingga kurang mengerti benar apa saja disiplin-disiplin ilmu sosial. Ternyata, setelah masuk ke ilmu sosial, jadi keasikan.<br /><br />Sekian dan terima kasih, uneg-uneg sudah saya tumpahkan dalam tong sampah bernama blog ini. Semoga suatu hari nanti saya bisa memungut kepingan-kepingan sampahnya untuk kembali dicermati, <span style="font-style:italic;">although life is ephemeral</span>.<br /><br /><br />PS : Saya lampirkan foto-foto narsis, termasuk perpustakaan di Unika Atmajaya, tempat saya banyak mendapatkan bahan-bahan penyusunan tesis. Habis Perpustakaan di UI makin lama makin bapuk sih ! Buku-bukunya aja banyak yang ilang !Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-16825235556948335072011-02-18T06:31:00.000-08:002011-02-18T07:33:56.573-08:00Seri Mengenal Depok : Hutan Kota UI, seperti Oase di tengah Deru Mesin<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-6uQegsV5W3g/TV6P2ExsxHI/AAAAAAAAANg/6hpGpvdokVQ/s1600/IMG0436A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-6uQegsV5W3g/TV6P2ExsxHI/AAAAAAAAANg/6hpGpvdokVQ/s320/IMG0436A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575051547889157234" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-455uWGw4tIM/TV6Pszd5bcI/AAAAAAAAANY/xpNmXD316Vs/s1600/IMG0443A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-455uWGw4tIM/TV6Pszd5bcI/AAAAAAAAANY/xpNmXD316Vs/s320/IMG0443A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575051388623875522" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-GoZv8zULJ7Y/TV6PjVrPQbI/AAAAAAAAANQ/ozCOAsSKQGw/s1600/IMG0446A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-GoZv8zULJ7Y/TV6PjVrPQbI/AAAAAAAAANQ/ozCOAsSKQGw/s320/IMG0446A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575051226007945650" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/-qEYDxr8xV9A/TV6Pax0QNXI/AAAAAAAAANI/-MSyN-Z6Ilk/s1600/IMG0438A.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/-qEYDxr8xV9A/TV6Pax0QNXI/AAAAAAAAANI/-MSyN-Z6Ilk/s320/IMG0438A.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575051078943126898" /></a><br />Hari Jum'at ini (18/02), saya berkesempatan untuk bersepeda ke Hutan UI yang terletak di utara kampus UI. Setelah hujan dan angin kencang yang menyapu Depok sore itu, saya mengayuh engkel sepeda saya ke Jalan Margonda, menyusur Flyover UI dan masuk ke Gerbatama. Tak lama lagi, voila ! saya sudah sampai di Hutan Kota UI. Sungguh sangat menyegarkan bersepeda setelah hujan turun. Bau tanah dan angin yang bertiup semilir membuat keringat yang jatuh tak terasa beratnya. <br /><br />Dengan Si Putih, sepeda lipat andalan saya, saya menyusuri Danau Salam UI yang seperti berkabut karena hujan mengguyur dengan amat deras. Setelah puas berkeliling di Danau Salam, saya menjajal masuk ke dam yang terletak tak jauh dari Danau Salam.<br /><br />Hutan Kota UI adalah paru-paru kota yang layak dikonservasi. Saya hafal betul dengan tiap jangkah wilayah UI karena kebetulan saya sewaktu kuliah S1 di UI tinggal di lingkar hijau UI, yakni di Asrama UI dan Kelurahan Kukusan, hampir selama empat tahun. Sewaktu tinggal di Jatipadang dan Salemba pun saya tidak bisa berlama-lama, karena dasarnya orang ndeso, jadi selalu nyari tempat yang segar untuk pernapasan saya. Kembali ke selera asal.<br /><br />Kalau kita telusuri, sebenarnya jalur hijau di UI ini kehijauannya berlanjut di bagian barat Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Wilayah yang saya maksud adalah Ciganjur, Setu Babakan (M Kahfi), Ragunan, dan Cilandak. Cobalah agan bersepeda atau mengendarai motor dari UI menuju ke Ciganjur, ke Setu Babakan, Ragunan, Pondok Labu, dan berakhir di Cilandak. Sepanjang jalan pasti agan masih menemui pohon-pohon besar, rimbun pepohonan, kebun-kebun kosong, dan juga jalan-jalan yang kecil dan berkelok. Saya sering menamai daerah ini dengan sebutan 'Jalan Setapak di Selatan'. Mengapa ? Karena jalan di sini seperti oase di tengah Jakarta yang panas, macet, dan kumuh. Jalannya kecil, tidak begitu ramai, hampir tidak ada Kopaja atau Metromini (kebanyakan angkutan umum adalah mikrolet), tapi jalannya berkelok-kelok tidak <span style="font-style:italic;">straight to the point</span>. Kita patut berterima kasih dengan etnis Betawi yang banyak mendiami wilayah ini. Justru karena melambangkan sebagai wilayah yang tergusur inilah, wilayah ini menjadi hijau dan jauh dari ekspansi kota yang serakah. Lihat di sepanjang jalur itu ! Tidak ada mall besar, tidak ada pengemis yang keleleran di tengah jalan, dan juga paru-paru tidak sakit ketika menghirup udaranya. Angka Indeks Pembangunan Manusia di Kecamatan Jagakarsa juga termasuk yang paling tinggi jika dibandingkan kecamatan lain di Jakarta. Artinya, daerah inilah yang bisa katakan sebagai 'another Jakarta is possible'.<br /><br />Sayang, Rektor UI kurang menangkap sinyalemen itu, padahal beliau banyak mengenyam Ilmu Sosiologi ; ilmu yang bertutur soal masyarakat. Kebijakan penutupan pintu Kukusan di malam hari membuat jalur tersebut tidak terlalu populer. Sebenarnya, strategi green lifestyle bagi komuter Depok bisa dimulai di sini. Bersepeda ke UI, Ciganjur, lantas Ragunan untuk menitipkan sepeda mereka di sana. Komuter kemudian bisa menggunakan busway ke arah Kuningan atau ke arah lainnya.<br /><br />Kembali ke Hutan UI. Hutan UI sendiri luasnya 192 hektar, dan terdiri dari tiga vegetasi : Hutan Wales Barat ditanami vegetasi yang banyak tumbuh di wilayah Barat Indonesia, Hutan Wales Timur ditanami vegetasi yang tumbuh di wilayah Indonesia timur, dan hutan meranti yang banyak ditumbuhi pohon meranti. Hutan itu dikelilingi 6 danau, yakni : Danau Salam, Danau Ulin, Dana Puspa, Danau Mahoni, Danau Aghatis, dan Danau Kenanga. <br /><br />Suasananya damai sekali. Agan-agan bisa bayangkan saja, kalau bersepeda dari Stasiun UI menuju Hollywood UI, jika menyusuri jalur sepeda di sebelah kiri jalan, maka agan akan disuguhi pemandangan hutan tropis dengan pohon-pohon sebesar pepohonan di Kebun Raya Bogor dengan gemericik air yang mengalir deras dari atas ke arah Danau Puspa (Hollywood UI). Agan seperti berada di tengah hutan yang kalinya mengalir deras. <br /><br />Jika bersepeda di Danau Salam (sebelah Resto Mak Engking), agan akan mendengar suara gerojokan air yang turun ke parit-parit. Sepertinya air tidak berhenti mengalir. Inilah yang saya sebut sebagai oase di tengah deru mesin.<br /><br />Kapan-kapan agan-agan harus mencoba bermain-main ke Hutan Kota UI, sambil mencicipi hidangan Sunda a la Mak Engking. Udang galahnya yummy !Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-22621977661298031012011-02-18T05:27:00.000-08:002011-02-18T06:14:17.258-08:00Seri Kuliner di Depok : Bakmi Ayam Lenteng<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/-sfd7fmvvKes/TV561HCdmtI/AAAAAAAAANA/ksOdQG40t9g/s1600/mie.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://2.bp.blogspot.com/-sfd7fmvvKes/TV561HCdmtI/AAAAAAAAANA/ksOdQG40t9g/s320/mie.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575028441572285138" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/-hrO_dzmns9U/TV56ssmaO7I/AAAAAAAAAM4/KsILl8s8hBQ/s1600/mie2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/-hrO_dzmns9U/TV56ssmaO7I/AAAAAAAAAM4/KsILl8s8hBQ/s320/mie2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5575028297036348338" /></a><br />Lenteng Agung, adalah sebuah kelurahan di utara Kota Depok yang dahulu dikenal sebagai pemukiman etnis Cina dan terdapat banyak kelenteng di sana. Saat ini, di Lenteng Agung tidak terlihat jejak kelenteng itu, atau pecinan. Tapi nuansa Cina masih sedikit tertinggal di situ, salah satunya kuliner yang satu ini.<br /><br />Di seberang Stasiun KA Lenteng Agung,terdapat bakmi yang uenaakkk banget. Si empunya warung memberi nama : Bakmi Ayam Lenteng (Terasa Sampai ke Hati). <br /><br />Dalam hati saya, panjang amat namanya. Tapi, kalau agan-agan berkunjung ke sana, dijamin rasa bakmi ayam nya sampai ke ulu hati. Bakmi yang digunakan sebagai bahan dasar bukan bakmi biasa yang dipakai penjual mie ayam atau bakmi yang dipakai penjual indomie.Mie-nya buatan sendiri. Bumbunya meresap banget.<br /><br />Satu porsi mie biasanya dihidangkan dengan kuah yang diletakkan di mangkok terpisah. Kuahnya juga enak, nggak bikin pusing karena kebanyakan vetsin. <br /><br />Dari penampakan warungnya memang tidak meyakinkan. Kayak warung abal-abal gitu. Lecek dan kusut. Tapi, yang beli antriannya cukup panjang. Biasanya mereka membungkus mie karena memang lokasinya terlalu kecil untuk makan beramai-ramai.<br /><br />Ditambah lagi, sambil menunggu datangnya mie, bolehlah agan nyoba cakwe atau kue bantal yang dijual di sebelah warung mie. Bener-bener suasana Cina banget. Penjual mie juga masih etnis Cina / Tionghoa yang mengindikasikan 'jaminan' keaslian citarasa kuliner ini. <br /><br />Jadi, buat agan-agan yang sedang tidak mengendarai mobil, saya merekomendasikan untuk mencoba mie ayam spesial ini. Kalau naik mobil memang agak repot karena tidak ada tempat parkir yang memadai.<br /><br /><br /><br />Bakmi ayam Lenteng, ahoyy banget !!Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-83969791480691389832011-02-17T08:23:00.000-08:002011-02-17T16:46:40.553-08:00Setengah Gelas<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_6fhyMNLdYJ0/RjwrLDJ4jzI/AAAAAAAAARU/doOcakKbQ64/s320/P5041800.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_6fhyMNLdYJ0/RjwrLDJ4jzI/AAAAAAAAARU/doOcakKbQ64/s320/P5041800.JPG" border="0" alt="" /></a><br />Minggu lalu, saya berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan teman saya di Kampus UI. Di sebuah kedai kopi baru di belakang kampus FISIP. Saya kebetulan hari itu hendak mengumpulkan (dan mengerjakan) laporan Intervensi Sosial saya. Sedangkan teman saya hendak mempresentasikan mengenai beasiswa Uni Eropa di Balairung. <br /><br />Kedai kopinya cukup nyaman dengan suasana multikultural, di mana menurut pengamatan saya selama nongkrong di situ banyak mahasiswa BIPA dan peneliti asing mengunjungi kedai Coffee Toffee.<br /><br />Kami berdiskusi soal Ahmadiyah,karena kebetulan hari-hari itu penyerangan Cikeusik menjadi topik yang aktual di berbagai media massa. Inti dari diskusi tersebut yang mencerahkan saya adalah : Jangan biarkan dirimu dan kepalamu 'penuh' dengan sesuatu yang dimasukkan ke otak sementara kamu tidak pernah punya kemampuan untuk mencerna dan menginterpretasikannya. <br /><br />Sebelumnya, saya banyak berteori soal temuan Hannah Arendt yang mengobservasi Eichmann, Jenderal Nazi yang membunuh banyak orang, ketika persidangan Eichmann di Jerussalem. Arendt melihat bahwa latar belakang Eichmann sebenarnya adalah pegawai biasa. Eichmann bekerja untuk sebuah perusahaan minyak di Austria. Selama bekerja di situ, Eichmann tidak menampakkan diri sebagai sosok yang vokal atau menentang. Eichmann sempat bergabung dengan organisasi kepemudaan Kristen di Jerman. Keputusannya bergabung dengan Nazi karena keadaan yang mendesak saat itu, di mana ia diminta untuk bergabung ke militer Nazi. Lantas, mengapa Eichmann tega membunuh banyak kepala? <br /><br />Selama bergabung di Nazi, Eichmann banyak mendapatkan pengetahuan soal Nazi dan fasisme Jerman saat itu. Ilmu baru yang didapat Eichmann ini diserap dengan amat baik. Hingga membunuh korban-korban tak berdosa yang 'kebetulan' keturunan Yahudi pun bukan sesuatu yang berat. Temuan Arendt mengatakan Eichmann mengalami banalitas kejahatan (banality of evil) karena ia telah kehilangan dirinya, yang selalu berdialog antara "me" dan "myself". Rejim totaliter Hitler telah memberangus dialog dalam dirinya, karena pengetahuan atau arahan dari pemimpin adalah sabda. Sabda yang telah teruji kebenarannya dan sah untuk dijalankan.<br /><br />Kesamaan (namun tak sepenuhnya sama) kasus Eichmann dengan Ahmadiyah ini, ada orang-orang yang tidak bisa menerima kehadiran Ahmadiyah dan bahkan bisa melakukan kekerasan. Karena monopoli kebenaran dalam kepalanya telah menelan semuanya. Itulah kebenaran yang tak bisa ditawar-tawar lagi.<br /><br />Pada akhirnya, kemampuan untuk menilai apa yang masuk dalam otaknya tidak difungsikan karena ibaratnya gelas, ia sudah penuh. Tidak ada lagi tempat untuk memberikan penilaian, bahkan air dalam gelas pun meluap, karena banyaknya informasi yang berjejal.<br /><br />Kesimpulan yang saya peroleh, bahwa : <span style="font-style:italic;">jangan biarkan dirimu dan kepalamu 'penuh' dengan sesuatu yang dimasukkan ke otak sementara kamu tidak pernah punya kemampuan untuk mencerna dan menginterpretasikannya</span>, seperti halnya setengah gelas air yang dituang ke dalam gelas.<br /><br />Gelas, jika diisi setengah air saja, maka masih mungkin bagi seseorang untuk menaruh pemaknaan di dalamnya. Tapi, bukan berarti kita tidak boleh mengisi gelas dengan sebanyak-banyaknya air lho ! Kata pepatah Jawa, hidup itu seperti mampir minum. Tugas kita mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal. Tetapi, dalam minum itu sendiri, ada masa istirahatnya. Sehingga, perut kita tidak penuh,.<br /><br />Ya, begitulah setengah gelas. Seperti kopi yang diteguk di kedai ini, ia tidak akan memberikan kepuasan maksimal jika porsinya terlalu banyak. Ia akan tumpah saat kita angkat jika terlalu penuh. Setengah gelas saja atau lebih, maka semuanya akan menjadi lebih nyaman :)Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-64086852449577125922010-06-06T06:23:00.000-07:002010-06-06T06:32:18.088-07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://mataharikejora.files.wordpress.com/2009/07/1243293356-hr-165.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 683px; height: 1024px;" src="http://mataharikejora.files.wordpress.com/2009/07/1243293356-hr-165.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><span style="font-style:italic;">Perih yang menusuk dalam setiap kelam<br />adalah rasa yang tak terkuburkan<br />karena ia jiwa ; selalu mencari pendampingnya<br /><br />dan dingin yang menjelajah di antara malam<br />adalah luka tak tertutup<br />seperih-perihnya jiwa<br /><br />mungkin aku harus berhenti sejenak<br />untuk mencari jiwaku<br />yang terlepas<br />dari mata dan telinga<br />saat aku tak terjaga<br /><br />aku ingin menemuimu<br />wahai jiwa yang akan memberikan matahari<br />agar aku percaya bahwa esok masih ada<br /><br />aku ingin menemuimu<br />meredam perih ini<br />mendamaikan jiwa ini</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-10163599969996783342010-05-18T22:53:00.000-07:002010-05-18T22:57:33.811-07:00Jiwa yang Rapuh<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_c_Q53pHvMso/Rqj2RdhmX1I/AAAAAAAAAAk/DSiNeIBHxBk/s400/Forest-023.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 267px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_c_Q53pHvMso/Rqj2RdhmX1I/AAAAAAAAAAk/DSiNeIBHxBk/s400/Forest-023.JPG" border="0" alt="" /></a><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">Apakah kau rasakan malam-malam ini begitu mencuri jiwamu<br />Ketika mata ingin kau tutup, namun jiwamu selalu menyimpan pendar <br />yang menganga, meminta untuk dibuka<br /><br />Seperti tunas yang ingin bertumbuh di pagi hari<br />Jiwamu mendesak untuk menjulang, menyongsong matahari yang menyediakan energi<br />Seperti padang pasir yang mendamba angin di siang hari<br />Jiwamu menatap penuh pengharapan, menanti lambaian angin yang menari<br />mengikis pasir terluarmu untuk redakan terik<br />Dan bagaikan sumbu lilin yang merindukan percik api <br />Jiwamu mendambakan hangat yang menjalari sekujur tubuhmu<br /><br />Ketika jiwa terlempar dari jendela ketidakpastian<br />Hilanglah persemaian dari sinar jingga dan biru awan<br />Hanya gelap kulihat<br />Seperti jelaga yang mengurung cerita tentang luka<br />Seperti badai yang mengurung nelayan di dalam pengembaraan<br /><br />Jiwa yang rapuh meminta agar engkau tetap tinggal <br />Dalam teduh malam ini dengan kelopak mata yang terjaga<br />Teruslah bernyanyi tentang kebenaran<br />Dan senandungkan lirih jiwa ini<br />Sampai jiwamu menjumpai<br />Kicau burung yang akan membawa tunasmu menggapai sinar jingga itu</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-24123019057454821592010-05-14T01:22:00.000-07:002010-05-14T01:36:41.415-07:00Hujan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4rdysama.files.wordpress.com/2009/11/hard_rain_by_gilad.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 549px; height: 800px;" src="http://4rdysama.files.wordpress.com/2009/11/hard_rain_by_gilad.jpg" border="0" alt="" /></a><br /><span style="font-style:italic;">Entah apa yang meruntuhkan semangat burung kecil untuk mengepakkan sayapnya <br />sore ini<br /><br />Entah apa yang meluluhkan hati si jagal sapi untuk menunda kematian lembu tua<br />sore ini<br /><br />Pada rumput ilalang yang luas<br />Pada taman yang dipenuhi bunga dan dedaunan<br />disitulah hujan menemukan artinya<br />memberikan setetes kerinduan setelah terik menyerap cadangan air di batang, dedaunan<br /><br />disitulah hujan menemukan artinya<br />setelah benang sari ditiup badai<br />menggenang di atas putik yang cantik<br /><br />disitulah hujan menemukan artinya<br />ketika amarah dilepaskan<br />dari hati yang beku<br />yang merindukan kepolosan<br />curahan hujan sore ini</span><br /><br /><br />Tebet, 13 Mei 2010Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-38476116830714494652010-01-17T05:09:00.000-08:002010-01-17T05:10:02.580-08:00ZiarahTori selalu ingat tradisi yang dijalankan keluarganya menjelang bulan puasa tiba. Berziarah. Ayah dan Ibu Tori selalu menyempatkan waktu mereka untuk berziarah dengan mengajak anak-anak mereka, termasuk Tori.<br />“Untuk apa, sih, Yah,kita berziarah?” tanya Tori satu waktu.<br />“Agar kita selalu ingat,” ucap ayahnya singkat.<br />Ingat pada kematian ? Begitu gumam Tori dalam hati. Petuah itu juga yang diingat Tori dalam mata pelajaran agama di sekolah. Guru agama Tori berpesan, “Ziarah kubur itu mengingatkan kita akan kematian. Bahwa kita nantinya juga akan mati dan dikubur.” Cuma itu yang dimaknai Tori.<br />Kini, Tori tak lagi menjalankan ritual itu. Tori sekarang tinggal terpisah dari orang tuanya. Tori merantau di Jakarta untuk berkuliah. Setiap kali bulan puasa tiba, Tori hanya mendengar cerita kakaknya lewat telepon kalau keluarga Tori berziarah ke makam kakek dan nenek mereka.<br />Satu waktu, Aya, pacar Tori, ditimpa musibah. Ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Tori menghadiri upacara pemakaman ayah Aya, dan juga menemani Aya setiap kali keluarga Aya mengadakan yasinan.<br />Aya tak henti-hentinya menangis. Aya sangat terpukul karena hubungan emosional Aya dan ayahnya sangat dekat. Acara malam minggu yang biasa mereka lalui dengan suka cita, harus terpaksa dihentikan sementara. Aya tak henti-hentinya mengirimkan doa untuk ayahnya.<br />“Halo, Aya, kamu dimana?” Tori menelepon Aya karena menjumpai Aya tidak masuk kuliah.<br />“Tori, aku lagi di pemakaman,” jawab Aya lirih.<br />“Ngapain kamu di kuburan ? Kamu nggak kuliah?”<br />“Ziarah, Tor.”<br />Klik. Telepon ditutup Aya.<br />Tori heran. Semenjak meninggalnya ayah Aya, Aya jarang terlihat di kampus. Bahkan, Aya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pergi ke kuburan atau mengurung diri di kamar. Tori kemudian mengalah, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Aya yang cukup jauh dari kampus dan membawakan bebek goreng, makanan kesukaan Aya. Kedatangan Tori kali ini tidak hanya untuk menghibur Aya, namun juga merayakan keberhasilan Tori yang mendapatkan kesempatan magang di sebuah surat kabar ternama.<br />“Aya, ayah kamu sudah meninggal, ngapain ditangisin terus? Almarhum ayah kamu pasti tidak senang kalau kamu sedih terus kayak gini,” kata Tori di ruang makan rumah Aya. Mereka berdua menyantap bebek goreng yang dibawa Tori.<br />“Aku sedih Tor. Rasanya aku belum siap ditinggal Ayah.”<br />“Kamu sedih terus. Ati-ati lho, kesambet di kuburan,” sahut Tori. “Bebeknya enak kan?”<br />“Enakk..” Aya sedikit tersenyum.<br />“Tor, selamat ya jadi magang di koran. Terus, cerita kamu apa nih, hari pertama magang?” lanjut Aya.<br />“Seru deh. Yang sekarang sedang ramai kasus korupsi di kepolisian. Susah juga menggali keterangan dari narasumber, apalagi kasus yang kontroversial seperti itu,” jawab Tori cepat.<br />“ Besok siang nonton yuk, kan besok hari Minggu?” ajak Tori.<br />“Nggak bisa. Besok siang aku mau ziarah lagi.”<br />“Ya ampun, Ya…Ziarah terus. Doanya dari rumah aja, selesai kamu sembahyang.”<br />“Aku ingin mengingat Ayahku. Biar besok Seninnya aku bisa kuliah lagi dengan tenang,” ujar Aya cuek.<br />Dan dunia kembali berputar. Tori menjadi mahasiswa yang bekerja paruh waktu di sebuah harian di Jakarta. Aya menjadi mahasiswi jurusan Akuntansi yang sesekali meluangkan waktu pergi berziarah sebelum berangkat kuliah. Keluarga Tori hidup tenang di sebuah kota kecil di Pulau Jawa.<br />Dunia menemukan keseimbangan ketika Jakarta telah membuat Tori beradaptasi. Kota yang macet. Hiruk pikuk yang kotor. Debu yang menggantang di langit Jakarta.<br />Gang yang sempit. Perpaduan bau antara deterjen yang dibubuhkan dalam air cucian dengan limbah pabrik yang menggenang di got mampet. Ditambah dengan bau-bau bumbu dapur yang menyeruak di antara – entah dapur atau ruang tamu- yang berada di sepanjang gang. Kumuh.<br />Bos yang galak. Kantor-kantor yang dipenuhi dengan kompetisi. Mentalitas licik perlahan menyelinap di antara pegawai-pegawai yang tengah berkompetisi. Parfum dan kosmetik digenjot sana-sini. Katanya, agar persaingan dapat dijinakkan. Akhirnya, sumpah serapah tumpah juga di kafetaria karyawan di lantai dasar.<br />Sial !<br />Ribuan atau mungkin jutaan pencari kerja dari luar Jakarta memadati gang-gang sempit. Sekadar menumpang di rumah sanak kerabat sambil menunggu panggilan kerja. Atau, berharap-harap cemas status magang mereka akan ditingkatkan menjadi pegawai tetap. Seperti Tori dan Aya di sore itu.<br />Tori mengendarai motor kakak Aya yang dipinjamnya untuk mengantar Aya mendatangi job fair di pusat kota. Setelah lelah berdesakan di antara ribuan pencari kerja, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah Aya di sore hari. Perjalanan menuju rumah Aya tidak semudah ditempuh ketika Tori menyusuri jalanan di kampung halamannya. Sore hari, ketika karyawan-karyawan di seantero Jakarta memunguti jalan mereka pulang ke rumah, adalah jam padat di jalanan Jakarta. Salah-salah sedikit bisa,<br />Braak !!!<br />Motor yang dikendarai Tori bertabrakan dengan motor yang datang dari arah yang berlawanan.<br />Hei, anjing luh! Mata lo bisa ngeliat nggak? Gue lagi jalan, lo asal nyelonong aja! Gue nggak mau tau, ganti slebor depan gue!<br />“Tor, udah Tor. Cuma lecet dikit kok slebor depannya. Lagian kamu sih, lampu belum hijau sudah diterobos,” kata Aya perlahan setengah berbisik.<br />Pengendara motor yang bertabrakan dengan Tori kemudian menghampiri Tori.<br />Mata lo yang rabun! Sudah tahu merah, masih diterobos juga!<br />“Tor, udah Tor…” Aya mencoba menenangkan Tori yang masih diliputi emosi. Sementara itu, pengendara motor yang bertabrakan menstater kembali motornya dan beranjak pergi.<br />“Orang kayak gitu harus dikasih pelajaran Ya!” teriak Tori tak puas.<br />Tak mau menjadi tontonan, Aya kemudian mengistruksikan Tori, “ Tor, stater lagi. Nanti keburu polisi datang! Ayok! “<br />Tori kemudian menuruti kata-kata Aya. Sesaat kemudian mereka sudah berada di jalanan yang lebih sepi.<br />“Tor, di warung depan berhenti bentar ya. Kita makan bebek dulu yuk. Kamu pasti laper kan, tadi siang belum makan?” Aya mencoba membujuk Tori.<br />Tori menghentikan motor kakak Aya di depan warung bebek goreng di pinggir jalan. Aya mengamit Tori masuk.<br />“Kenapa sih, Tor, kayaknya emosi banget?”<br />“Habisnya…” Tori menghela nafas. Dalam hati, ia menyadari kalau ia juga bersalah karena melanggar lampu lalu lintas.<br />Pelayan warung makan lalu menghampiri meja tempat Tori dan Aya duduk. Dua gelas es jeruk segar dihidangkan untuk mereka berdua. “Tori, minum dulu. Biar emosi kamu hilang.” Aya tersenyum ke arah Tori.<br />“Aku ingin ziarah lagi,” kata Aya tiba-tiba.<br />Tori memandang Aya dengan keheranan. “Kenapa mesti ziarah lagi?”<br />“Kamu sudah berapa lama nggak ziarah?” tanya Aya.<br />“Berapa ya ?” Tori berpikir sejenak. “Mungkin sudah empat tahun lalu.”<br />“Kenapa nanyain ziarah?” Tori balik bertanya.<br />“Biar ingat. Ingat apa aja. Nggak cuma soal kematian. Kalau buat aku, ingat pesan-pesan Ayah yang juga pernah kecelakaan. Hati-hati di jalan. Buat aku juga, biar ingat lagi! Ingat kalau kita tuh manusia aja.”<br />Mendadak Tori ingat tradisi yang dilakukan keluarganya di kampung halaman. Ia sudah lupa keheningan apa yang didapat dalam memanjatkan doa kala berziarah. Tapi Tori masih ingat jawaban ayah Tori tentang mengapa harus ziarah.<br />“Biar kita bisa mikir pakai hati ya?” pungkas Tori.<br />“Nah, itu kamu tahu.” Senyum Aya mengembang.<br />Jakarta sore itu meninggalkan banyak cerita. Ceceran sumpah serapah. Ceceran silat lidah untuk menembus persaingan kerja. Ceceran cerita kusam di gang-gang sempit. Lupa untuk diziarahi.Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-55302490802484512172009-09-13T11:50:00.000-07:002009-09-13T11:52:22.013-07:00Jendela<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CBINET-14%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} span.MsoEndnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} p.MsoEndnoteText, li.MsoEndnoteText, div.MsoEndnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1; mso-endnote-numbering-style:arabic;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p><meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CBINET-14%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} span.MsoEndnoteReference {mso-style-noshow:yes; vertical-align:super;} p.MsoEndnoteText, li.MsoEndnoteText, div.MsoEndnoteText {mso-style-noshow:yes; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} /* Page Definitions */ @page {mso-footnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fs; mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") fcs; mso-endnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") es; mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/BINET-14/LOCALS~1/Temp/msohtml1/01/clip_header.htm") ecs;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1; mso-endnote-numbering-style:arabic;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="font-size: 14pt;" lang="IN">Jendela<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Damar menatap jendela rumahnya dalam-dalam. Bulan depan adalah kelulusan sekolahnya. Dari jendela rumahnya itu terlihat bukit-bukit kapur dengan warna merona becampur tanah. Kadang kala angin menghembus semak liar yang membelit kapur itu. Jika anginnya cukup keras bertiup, terkadang beberapa pasir sempalan kapur rapuh dan terbang ke bawah. Menaburi atap rumah-rumah yang ada di bawahnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Bukit kapur adalah pemandangan yang mungkin akan Damar rindukan. Bulan depan pula Damar akan hijrah ke Kota Jogja dari desa tercintanya, Rongkop Gunung Kidul. Damar sebenarnya masih ingin melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMU, tapi beberapa bulan lalu Bapak sakit. Bapak tidak bisa bekerja sebagai kondektur bus lagi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Seorang teman Bapak telah datang ke rumah sebulan lalu. Teman Bapak membawakan buah-buahan yang sangat jarang Damar lihat di kampung. Teman Bapak yang baik itu menawarkan Damar bekerja di rumah sakit. Damar adalah anak tertua, sehingga layak jika Ibu memanggil Damar untuk dapat memenuhi panggilan kerja itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Damar <i style="">wis gedhe. Pinter bocahe, neng kelas rangking siji. Awake yo rosa, dadi iso kuwi Kang, nek dikon kerjo neng rumah sakit,”<a style="" href="#_edn1" name="_ednref1" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[1]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>ujar Ibu kepada Pak Walidi, teman Bapak yang menawarkan pekerjaan itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“<i style="">Dadi ngene lho, Yu. </i>Anik <i style="">kuwi rak wis meh lahiran, bojone yo ngongkon leren. </i>Daripada Anik <i style="">nggolek wong liya, mending lak yo tak kongkon anakmu wae to yo. Jenenge kok yo apik men..Damar,”<a style="" href="#_edn2" name="_ednref2" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[2]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>jawab Pak Walidi sambil terkekeh. Rupanya ia senang akan segera mendapatkan cucu pertamanya dari Anik, anak perempuannya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“<i style="">Lha mengko sengeni opo ora? Damar kuwi sik lulusan SMP. Nek syarate lulusan SMA, yo durung. Tapi bocahe pinter lho...”<a style="" href="#_edn3" name="_ednref3" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[3]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>Ibu Damar mewanti-wanti Pak Walidi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“<i style="">Tenang wae, Yu. Sing penting jujur. </i>Anik <i style="">wis ngomong karo perawate, jare ra popo. Wis pokoke tenang wae, “<a style="" href="#_edn4" name="_ednref4" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[4]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>begitu Pak Walidi menenangkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Dan bulan depan harapan dan doa Ibu di atas sajadah menjadi kenyataan. Manajemen Rumah Sakit memanggil Damar bersama dengan Perawat yang merekomendasikan Damar, nama yang didapatnya dari Anik, anak Pak Walidi yang menjadi petugas kebersihan sebelumnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Angan-angan Damar untuk kembali ke bangku sekolah pupus. Tak ada pilihan lain yang harus ditempuhnya. Semua itu sudah jalan Tuhan, begitu ia menirukan filosofi orang-orang kampungnya, terutama mengenai <i style="">pulung<a style="" href="#_edn5" name="_ednref5" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[5]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a></i>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Ia tidak ingin ibunya terlalu lama menatap jendela rumahnya dalam-dalam di malam hari. Sebab, jika ibunya melihat ada cahaya jingga yang seolah jatuh di atap rumahnya, maka ‘virus’ pulung gantung mungkin akan menyebar di keluarganya. Damar tak ingin. Tiga orang adiknya yang masih kecil membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walau pun sekarang sekolah dijanjikan gratis oleh pemerintah, tak mungkin pula tak ada periuk nasi yang mengisi perut mereka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Sebelum ia meninggalkan Rongkop, ia menatap lagi jendela rumahnya dalam-dalam. Berharap jendela itu bisa mengabarkan berita baik, bukan sebaliknya. Sebulan sekali ia akan bisa berjumpa kembali dengan bukit-bukit kapur ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Dan akhirnya bus dari Pantai Kukup membawanya ke Terminal Prambanan hari ini. Dari Rongkop, perjalanan ke Jogjakarta ditempuh selama hampir dua jam. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Jadi, kamu harus tahu tanggung jawabmu disini, Damar. Pagi hari dan sore hari kamu mengepel Paviliun Melati dan Paviliun Anggrek. Termasuk kamar pasien. Ingat ! Satu per satu. Kamar mandinya juga harus bersih. Siang harinya kamu membawa semua pakaian dan seprai pasien ke ruang <i style="">laundry. </i>Dari ruang <i style="">laundry </i>juga harus dibawa cucian yang sudah bersih. Jangan lupa juga menyiram taman di depan Poliklinik. Jangan sampai terlambat. Bu Naya yang akan mengawasi kalian. Kalau terlambat, ada sanksinya.” Kepala Perawat memberi instruksi pada Damar. Damar hanya manggut-manggut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Tak ada lagi permainan mendaki bukit kapur, atau permainan kelereng. Yang Damar hadapi sekarang hanyalah sapu dan ember. Dan bau pewangi lantai rumah sakit yang khas. Lantai yang Damar injak bukan lantai sekolah yang membawa cita-citanya tinggi ke langit, tapi lantai rumah sakit yang dibasahi oleh darah dan cairan infus. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Delapan bulan berlalu. Damar mulai dapat menyesuaikan diri di Jogjakarta. Delapan<span style=""> </span>kali pula ia pulang ke rumah. Ibunya mengeluhkan keringnya sumber air di Rongkop. Sumur Bribin dan Seropan yang ditemukan di kecamatan tidak bisa menopang kebutuhan air warganya. “<i style="">Miline saumet-umet,”<a style="" href="#_edn6" name="_ednref6" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[6]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>kata Ibu Damar. Musim panceklik yang panjang memang sangat menyengsarakan Ibunya. Ia harus turun dan mendaki bukit untuk mendapatkan air bersih. Sedangkan, kalau untuk membeli air bersih, ia harus mengeluarkan uang seratus ribu rupiah untuk satu tangki air bersih. Pengusaha air bersih menjual air yang didapat dari Pracimantoro, Wonogiri. Uang kiriman Damar bisa-bisa habis jika Ibu terus menerus membeli air dari pengedar. Pengedar yang bersenang-senang di atas kekeringan. Bisnis besar, kata mereka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Pundak Ibu Damar sekarang lebih perkasa dari pundak seorang pelajar remaja putra di kota-kota. Pundaknya sudah terampil untuk mengambil air yang didapat dari sumber air berjarak 15 kilometer dari rumahnya. Ibu dibantu Nur, anak keduanya yang hanya selisih satu tahun dari Damar, mengangkut air. Bapak masih terbaring sakit di rumah. Biaya pengobatan setahun lalu masih terasa cukup besar, sehingga Ibu memutuskan memulangkan Bapak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Empat bulan kemudian, Damar sudah malas pulang. Wesel di Kantor Pos membuatnya lebih nyaman untuk mengantarkan uang ke kampung halamannya. Jogja lebih menarik buatnya sekarang. Kafe, <i style="">mall, </i>dan pertunjukan musik bertebaran di sudut kota. Kerlip cahaya lampu-lampu pertokoan, keramaian di pusat kota, serta dispenser air yang dirasanya sangat praktis telah membuatnya malas pulang ke Rongkop.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">**<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Jendela rumah Damar membawa kabar tidak baik hari ini. Bapak terbatuk-batuk, kadang mengeluarkan darah. Digerogoti TBC dan kelumpuhan membuat Bapak tidak leluasa beraktivitas. Kualitas dan kuantitas air di Rongkop yang sangat buruk membuat TBC Bapak semakin parah. Dan batuknya sekarang makin menjadi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“<i style="">Nur, tulung tulis surat nggo Masmu, kon ndang bali. Bapak gerahe wis nemen, iso nggak digowo neng<span style=""> </span>rumah sakit nggone Masmu nyambut gawe? Nek wis, kekno </i>Pak Sugi <i style="">sing kulino bolak-balik Jogja. Nek </i>Pak Sugi <i style="">kerso, surate tulung dicaoske neng Sardjito, “<a style="" href="#_edn7" name="_ednref7" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[7]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>begitu instruksi Ibu kepada Nur dengan tergesa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“<i style="">Ngko nek pareng, nyilih handphone </i>Pak Sugi <i style="">wae,”<a style="" href="#_edn8" name="_ednref8" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[8]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a> </i>ucap Nur sambil mencium tangan Ibunya. Berpamitan menuju rumah Pak Sugi di bawah bukit. Ia membawa buku sekolahnya serta sebuah pensil di tangan. Nur bergegas menuju ke rumah Pak Sugi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">**<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Damar memencet dispenser warna biru. Segera air dingin menyentuh tenggorokannya. Jauh lebih segar daripada air yang dirasakannya di rumah. Badannya sangat pegal. Kemarin, banyak kotoran yang ia bersihkan di kamar mandi. Sesungguhnya ia sangat tidak menyukai pekerjaan ini. Namun, pekerjaan ini yang membuat orang tuanya bertahan di Gunung Kidul. Walaupun gaji yang ia peroleh kecil, namun pekerjaan ini memberinya banyak kesempatan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Ia masih terbayang jendela di rumahnya yang menawarkan pemandangan perbukitan kapur. Jalur yang ia lalui untuk bersekolah. “Kapan aku bisa sekolah lagi?” ratap Damar dalam hati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Tiba-tiba pintu <i style="">pantry </i>terbuka. Nisa, rekan kerjanya, membawa kabar bagi Damar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Damar, ada telepon dari adikmu.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Hah? Dimana?” Damar terkejut sekaligus heran.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Di ruangan Bu Naya. Buruan diangkat. Penting <i style="">banget kayaknya,</i>” jawab Nisa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Bergegas Damar menuju ruangan supervisornya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Assalamu’alaikum Nur. <i style="">Ono opo?<a style="" href="#_edn9" name="_ednref9" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[9]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a>”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“<i style="">Mas, Bapak gerahe soyo ndadi. Ndang bali, Mas. Bapak iso ora digowo neng rumah sakit nggonmu?”<a style="" href="#_edn10" name="_ednref10" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[10]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><span style="" lang="IN">“</span></i><span style="" lang="IN">Astaghfirullah<i style="">. Lha trus sing mbayar sopo?”<a style="" href="#_edn11" name="_ednref11" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[11]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><span style="" lang="IN">“Yo maturo karo Bosmu. Pokoke kuwi ngomongo karo rumah sakit , iso ora iso, ndang bali. Sik yo Mas, soale iki aku nyilih handphone </span></i><span style="" lang="IN">Pak Sugi.<i style="">”<a style="" href="#_edn12" name="_ednref12" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[12]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Krek. Telepon ditutup.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Hati Damar tidak menentu. Ia mencari Nisa untuk memperoleh dukungan. Ia meminta Nisa menemaninya menghadap Bu Naya. Dan sekarang ia bersama Nisa telah berada di depan Ibu Naya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Ibu Naya mengatakan ia tidak bisa memperjuangkan nasib Bapak Damar. Ia menyarankan Damar untuk segera mengurus perpanjangan Askeskin ke Puskesmas di kampungnya. Kemudian, Damar harus membawa Askeskin itu ke UGD atau Poliklinik, dan mungkin menghadap dokter Aziz, kepala UGD. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Damar mengejar bus terakhir hari ini ke Rongkop. Bus yang akan mengantarkannya ke jendela rumahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Damar menjumpai ayahnya terbaring lunglai tidak berdaya di rumah. Beberapa obat-obat alternatif yang dibawakan oleh rekan sekerjanya di kampung cukup menenangkan Bapak malam itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Dan malam itu, Damar memasang tirai di jendela rumahnya. Tirai yang berasal dari kain seprai yang tidak terpakai di rumah sakit. Kain itu sengaja ia bawa bersama dengan beberapa barang yang tersisa di rumah sakit, seperti kaleng-kaleng biskuit yang ia temukan di kamar VIP. Orang-orang kaya itu malas membawa makanan yang dibawa tamu-tamu mereka selama di rumah sakit. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Tirai itu ia pasang agar Ibu tidak memandangi langit dari jendela rumahnya. Ia khawatir, halusinasi Ibunya akan membawa alam pikirannya pada sinar jingga yang meluncur di atas rumahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Damar <i style="">nggak</i> mau bekerja lagi di Jogja. Biar Damar yang jagain Ibu sama Bapak. Siapa yang akan mengambil air di bawah, siapa yang akan mencari kayu? “ kata Damar sambil menatap Bapaknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">“Bulan depan Nur sudah selesai SMP. Biar Nur yang menggantikan Mas Damar kerja di rumah sakit,” lanjut Nur pelan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Ibu Damar tak kuasa menahan tangis. <i style=""><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Damar sekarang mengerti mengapa kehidupan yang ia lihat dari jendela rumahnya di Gunung Kidul selalu sepi, senyap, dan keras seperti batu kapur. Itulah makna kehidupan bagi Damar yang tinggal di Gunung Kidul. Sepi adalah tangis tak berkesudahan karena lingkaran kemiskinan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Senyap adalah doa tak berujung untuk lepas dari sengsara. Dan keras karena harapan itu telah membatu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Namun Jogjakarta tetap riuh dengan musik dan kafe. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">***<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="" lang="IN">HNK- Jakarta, 13 September 2009<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <div style=""><!--[if !supportEndnotes]-->
<br /> <hr align="left" size="1" width="33%"> <!--[endif]--> <div style="" id="edn1"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref1" name="_edn1" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Damar sudah besar. Anaknya pandai, di kelas <i style="">rangking </i>satu. Badannya juga kuat, jadi bisa disuruh kerja di rumah sakit.”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn2"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref2" name="_edn2" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Jadi begini, Kak. Anik itu sudah mau melahirkan, suaminya juga menyuruhnya istirahat. Daripada Anik mencari orang lain, lebih baik meminta anakmu saja (untuk menggantikannya). Namanya bagus juga, Damar.”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn3"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref3" name="_edn3" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Nanti dimarahi apa nggak? Damar itu lulusan SMP. Kalau syaratnya lulusan SMU, Damar belum bisa. Tapi anaknya pandai, lho.”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn4"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref4" name="_edn4" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Sudah tenang saja, Kak. Anik sudah bilang ke perawat di rumah sakit itu. Dan kata dia tidak apa-apa. Sudah pokoknya tenang saja.” <o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn5"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref5" name="_edn5" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> <i style="">Pulung </i>artinya wahyu. Sebagian masyarakat Gunung Kidul percaya akan sebuah wahyu gaib berbentuk bola api berkobar-kobar dan berekor. Jika bola api itu berwarna biru, maka dipercaya itu adalah pertanda baik. Jika bola api berwarna jingga, dipercaya bagi mereka yang rumahnya kejatuhan bola api jingga, maka itu adalah takdir Tuhan untuk mengakhiri hidupnya. Keyakinan semacam ini muncul di Gunung Kidul karena banyaknya fenomena gantung diri di Gunung Kidul. Data dari Kompas menyebutkan 9 dari 1000 orang di Gunung Kidul mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan Jakarta, misalnya, yang terdapat 2 dari 1000 orang yang melakukan bunuh diri dengan jalan gantung diri. Buku yang ditulis Durkheim, sosiolog Prancis, yakni <i style="">Suicide </i>menyebutkan bahwa tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Jika sebagian masyarakat Gunung Kidul, menganggap bunuh diri sebagai wahyu, maka beberapa penelitian, seperti Darmaningtyas (2001) menyebutkan bahwa faktor ekonomi yang membuat mereka mengakhiri hidupnya. <o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn6"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref6" name="_edn6" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Mengalir sedikit sekali.”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn7"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref7" name="_edn7" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Nur, tolong tulis surat untuk kakakmu. Minta dia segera pulang. Bapak sakit keras. Bisa nggak Bapak dirawat di rumah sakit tempat kakakmu kerja? Tolong titipkan surat itu kepada Pak Sugi yang sering bolak-balik ke Jogja. Kalau Pak Sugi berkenan, suratnya tolong disampaikan ke RS Sardjito.” <o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn8"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref8" name="_edn8" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Nanti kalau boleh, ditelepon saja meminjam <i style="">handphone </i>Pak Sugi.”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn9"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref9" name="_edn9" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Ada apa?”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn10"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref10" name="_edn10" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Mas, Bapak sakit keras. Lekas pulang ke rumah. Bisa tidak Bapak dirawat di tempat kerja Mas?”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn11"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref11" name="_edn11" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Yang bayar siapa?”<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="edn12"> <p class="MsoEndnoteText"><a style="" href="#_ednref12" name="_edn12" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="" lang="IN"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="" lang="IN"> “Kamu bilang sama Bos kamu. Pokoknya kamu bilang ke pihak rumah sakit. Bisa atau tidak, lekas pulang ke rumah. Sudah ya Mas, soalnya saya memakai <i style="">handphone </i>Pak Sugi.” </span></p> </div> </div> Unknownnoreply@blogger.com25tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-27120260309848692202008-12-10T04:27:00.000-08:002008-12-10T05:49:37.028-08:00Sukoharjo, Spiritualitas, dan Wayang<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/ST-_P-RyYOI/AAAAAAAAAJQ/io090XX1I0k/s1600-h/sukoharjo.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 212px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/ST-_P-RyYOI/AAAAAAAAAJQ/io090XX1I0k/s320/sukoharjo.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5278147569438056674" border="0" /></a><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Saya dibesarkan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, yakni Kabupaten Sukoharjo yang lekat dengan kebudayaan luhur Jawa. Kabupaten yang terletak di selatan Kota Surakarta atau Solo ini mempunyai potensi alam yang cukup bagus, khususnya dalam sektor pertanian. Sukoharjo dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Indonesia ketika masa Orde Baru. Di masa kini, Sukoharjo dikenal sebagai salah satu daerah penyokong Kota Surakarta yang mulai dipengaruhi oleh budaya industri dan urban. Akan tetapi, di beberapa tempat yang masih jauh dari perkotaan, budaya setempat masih cukup terjaga dengan baik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Salah satu nilai yang hidup di masyarakat Sukoharjo adalah nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas ini tidak semata berarti religius, yang tereduksi dalam simbol-simbol keagamaan, namun spiritualitas dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, hubungan antar alam, sekaligus hubungan dengan Sang Pencipta Kehidupan. Spiritualitas ini dapat terjaga baik, karena sejarah maupun kondisi masa kini masyarakat setempat yang senantiasi menjaga alam. Di tempat saya tinggal, banyak petani yang tergantung hidupnya dari alam. Ilmu pengetahuan lokal mengenai alam, seperti kapan masa tanam, masa panen, atau kapan hama tikus menyerang, sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan petani padi maupun petani sektor lainnya. Bahkan, sebelum Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih berdiri di Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, pada awal tahun 1990-an, petani setempat sudah mempunyai pengetahuan lokal mengenai membuat/mengawinsilangkan benih sehingga menjadi benih unggul. Nilai-nilai spiritualitas ini dianggap berharga oleh masyarakat baik secara kognitif maupun afektif. Secara kognitif, dengan karakteristik masyarakat yang agraris dan mengandalkan alam dalam kehidupan sehari-harinya, pengetahuan mengenai alam sangat diperlukan untuk mengantisipasi kegagalan panen. Pengetahuan mengenai alam ini yang kemudian mengantarkan mereka menjadi spiritualis, karena memanfaatkan alam, dalam filosofi masyarakat Jawa, adalah salah satu bentuk <i>sangkan paraning</i> <i>dumadi. Sangkan paraning dumadi </i>secara sederhana dapat diartikan sebagai "dari asal, akan kemana tujuan, dan akhir perjalanan hidup”.<span style=""> </span>Pandangan akan <i>sangkan paraning dumadi </i>ini menggambarkan bahwa filosofi hidup masyarakat Jawa berbeda dengan filsafat Barat (yang banyak dipelajari di universitas atau perguruan tinggi). Jika filsafat Barat bertujuan mencari kearifan atau <i>wisdom</i>, maka filsafat Jawa berusaha mencari kesempurnaan atau <i>perfection</i> atau "<i>kasampurnan</i>". <span style=""></span>Filosofi ini yang kemudian menghantarkan pada nilai-nilai spiritual yang mengakar pada masyarakat Jawa pada umumnya, dan Sukoharjo pada khususnya. Namun, dalam konteks relevansi “yang global” dan “yang lokal”, kedua tujuan itu pada akhirnya sama, yakni bermuara pada akar <i>truth </i>atau kebenaran. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="IN">Dalam filosofi “kesempurnaan” masyarakat Jawa, hidup bukan lagi semata masalah materi, karena ada tujuan immaterial di atas materi yang lebih luhur nilainya. Menurut pendapat saya, ada tiga nilai dasar yang dihidupi masyakat namun tetap dihadapi hingga saat ini yang berakar dari pandangan kesempurnaan hidup ini. Yang pertama, nilai mengenai “budi pekerti”, yaitu kesopanan yang berlaku antara yang tua dan yang muda, antara orang yang baru dikenal (tamu) dengan orang yang sudah lama dikenal, atau antara anggota keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga yang luas dalam masyarakat Jawa. Yang kedua adalah nilai mengenai “kepemimpinan”. Kepemimpinan ini mengacu pada </span><span style="" lang="SV">gagasan-gagasan mengenai negara yang ideal, pemimpin yang bijaksana, kehidupan masyarakat yang sejahtera dan lain sebagainya</span><span style="" lang="IN">. Yang ketiga adalah nilai mengenai “keadilan”. Keadilan ini mengacu pada hubungan antara manusia, bagaimana manusia tidak rakus untuk mencaplok hak-hak orang lain, bagaimana yang kuat tidak menindas yang lemah, dan lain sebagainya. Nilai-nilai inilah yang menurut saya, secara <i>de</i> <i>facto </i>dihadapi oleh masyarakat Jawa dari masa ke masa. Kegelisahan akan nilai-nilai yang terus berubah dilukiskan, misalnya, dalam sejarah mengenai syiar Islam yang dilakukan Walisongo di tanah Jawa. Salah satu ajaran Walisongo adalah “Molimo” yang kemudian menjadi tuntunan budi pekerti masyarakat Jawa, lebih khusus lagi dalam konteks penyebaran agama Islam di Jawa. Dalam masa kerajaan, masyarakat Jawa juga dihadapkan pada teka-teki masalah kepemimpinan dan keadilan, kegelisahan akan kepemimpinan dan keadilan dilukiskan dalam sejarah Joko Tingkir (yang kemudian membentuk Kesultanan Pajang), atau Patih Gajah Mada yang bersumpah Palapa untuk mempersatukan Nusantara. Dalam konteks yang paling aktual, masyarakat Jawa pun dihadapkan pada nilai-nilai mengenai “budi pekerti”, “kepemimpinan”, atau “keadilan”. Dalam masa krisis 1997-1998, masyarakat Sukoharjo juga turut resah dengan kabar-kabar dari Jakarta mengenai korupsi (cerminan dari nilai budi pekerti), pemerintahan yang goyah karena krisis moneter (cerminan dari nilai-nilai kepemimpinan), serta harga barang-barang pokok yang mahal, salah satunya beras (cerminan dari nilai-niali keadilan). Keresahan itu yang kemudian memunculkan kerusuhan di sekitar Kota Surakarta (termasuk Kabupaten Sukoharjo) pada bulan Mei 1998, walaupun banyak analis politik menyebutkan kerusuhan itu karena ulah provokator. Akan tetapi, secara umum,<span style=""> </span>tiga nilai itu yang diyakini menjadi “kotak pandora” masyarakat Jawa yang harus ditahan dan dirawat agar tidak muncul sebagai penderitaan dan kesengsaraan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Menurut Ward H. Goodenough (1981), kebudayaan adalah pengetahuan bersama yang dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Dalam pengertian ini, Goodenough tidak melihat kebudayaan secara formal saja, namun juga meliputi pengetahuan bersama yang bersumber dari kognisi. Menurut Goodenough, kebudayaan diletakkan sebagai gagasan yang secara sistematis menghubungkan dunia kognitif individu dan perilaku kolektif komunitas/penduduk/masyarakat. Ini artinya, sistem pengetahuan individu dapat merubah perilaku kolektif komunitas, dan pada gilirannya perilaku kolektif dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat setempat mengenai penilaian baik/buruk atau sikap etis terhadap suatu hal. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dalam kerangka teori Goodenough ini, nilai-nilai spritual masyarakat Sukoharjo dapat terus dipelihara dengan mengedepankan nilai-nilai ”budi pekerti”, ”keadilan”, serta tata negara atau ”kepemimpinan”. Sikap ini menjadi etos masyarakat Jawa (khususnya masyarakat pedesaan) yang masih dapat dijumpai, misalnya saling menyapa ketika berpapasan/bertemu di jalan, di sawah, atau di pasar. Etos lain yang muncul dari nilai ”keadilan” adalah etos solidaritas, misalnya ketika ada saudara yang sakit atau terkena musibah, saudara yang lain ikut membantu untuk meringankan beban saudaranya tersebut. Etos masyarakat Jawa lainnya muncul di pasar. Di pasar ini, ada nilai-nilai lokal yang tumbuh bahwa perempuan dapat pula berdaya dan mandiri secara ekonomi dengan berdagang di pasar. Etos seperti ini sebenarnya adalah proses yang kognitif serta afektif yang berharga dalam menyikapi semangat feminisme global. Dari pasar ini, kita dapat mendekonstruksikan wacana mengenai budaya Jawa yang patriarki, menjadi sebuah wacana kebudayaan yang mengedepankan etos perempuan dan kepemimpinan tidak harus dari laki-laki. Perempuan yang berjualan di pasar biasanya bangun lebih pagi dari suaminya, berangkat ke pasar sebelum ufuk menjelang, dan menggunakan uang hasil penjualannya untuk biaya sekolah atau kesehatan anak-anak mereka. Etos ini melahirkan sebuah pengetahuan bersama yang didasari oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa. Etos ini mempunyai makna yang positif dalam konteks pembangunan. Jika pemimpin dapat memanfaatkan etos ini untuk kebaikan bersama, dan pengetahuan bersama mengenai etos tersebut terjaga dengan baik, maka masyarakat pun dapat berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat. Pemerintah daerah dapat memberikan intervensi sosial dengan memberikan arahan-arahan dengan program dan kebijakan yang memungkinkan etos tersebut terpelihara.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><br /><span style="" lang="SV"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b><span style="" lang="SV">Pertunjukan Wayang sebagai Sarana untuk Memelihara Nilai-nilai <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Saat ini etos tersebut masih cukup terpelihara walau ditantang dengan munculnya arus globalisasi dan kapitalisme yang deras dewasa ini. Serbuan <i>hypermarket </i>atau ritel multinasional telah menghancurkan relasi-relasi sosial masyarakat Jawa yang berakar di pasar tradisional. Media-media tekonologi informasi, seperti internet, telah menimbulkan dua mata sisi yang berlawanan. Di satu sisi, internet menawarkan akses informasi tanpa batas ke semua negara, namun di sisi lain, internet juga mengikis relasi-relasi sosial masyarakat dewasa ini, ataupun mengikis nilai-nilai budi pekerti lewat beberapa situs-situs internet yang mengumbar libido . <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Lewat media-media lokal, nilai-nilai tersebut dapat terpelihara, salah satunya melalui pertunjukan wayang (sayangnya sekarang makin jarang), baik wayang kulit maupun wayang orang. Wayang adalah salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan dari cipta, rasa, dan karsa yang tinggi. Falsafah wayang diharapkan dapat memberi jawaban atas pandangan-pandangan mendasar tentang kebenaran dan realita yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan hidup. Falsafah wayang yang bertujuan "<i>ngudi kasampurnan</i>" menampilkan pandangan antara lain terhadap hal-hal secara metafisika, epistimologi, serta aksiologi. Filsafat wayang itu sangat religius. Pemikiran-pemikiran religius sangat dominan, bahkan seluruh ruang lingkup filsafat ini merupakan simbol manifestasi kekuasaan Tuhan ; manusia dan alam digambarkan dengan indah dalam setiap pergelaran wayang, utamanya pada lakon Dewa Ruci, Bima Suci, Kresno Gugah, Sastra Jendra dan Begawan Ciptoning. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pandangan epistemologi wayang terhadap kehidupan juga terlihat. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan apa dan bagaimana pengetahuan itu. Dalam pergelaran wayang banyak mengandung simbol-simbol yang perlu ditafsirkan. Bagaimana kita memahami simbol-simbol dalam pergelaran wayang? Hal ini menuntut kognisi atau pemahaman dari sisi pengamat atau penonton. Pemahaman yang dangkal dari penonton juga akan mengakibatkan pengertian yang dangkal juga mengenai nilai-nilai kehidupan. Dari sisi pergelaran wayang sendiri mengandung contoh-contoh mengenai pemahaman, baik terhadap alam, manusia dan Tuhan. Utamanya, di dalam cerita sangat kaya sekali menggambarkan adanya contoh-contoh tentang pemahaman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Aksiologi adalah filsafat nilai. Dalam wayang nilai-nilai ini sangat dominan, karena memang misinya adalah menyampaikan pesan moral. Di dalam wayang ada banyak nilai dasar yang kesemuanya itu merupakan atribut untuk mencapai kesempurnaan hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan dan beramal saleh kepada sesamanya. Aksiologi wayang dikembangkan dalam dua unsur pokoknya yaitu etika dan estetika. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"> <o:p></o:p>Selain wayang, ada beberapa media yang digunakan untuk memelihara nilai-nilai etis di Jawa, misalnya dengan penggunaan bahasa Jawa di antara masyarakat yang bertingkat-tingkat. Nilai-nilai budi pekerti, terutama yang muda menghormati yang tua terlihat dengan perbedaan penggunaan bahasa dengan <i>kromo inggil, kromo madya, </i>dan <i>ngoko. </i>Cerita-cerita rakyat juga sering digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan di dalam diri anak, misalnya cerita mengenai <i>Kancil Nyolong Timun, </i>atau <i>Timun Mas, </i>yang berusaha menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan keadilan. Tradisi itu tetap hidup walaupun berada di bawah bayang-bayang arus modernitas dan globalisasi. <o:p></o:p></span></p><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b><span style="" lang="SV">Yang Emik Menjadi Yang Etik ?<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kajian kebudayaan selanjutnya menempatkan fonemik dan fonetik sebagai salah satu fokus kajian. Fonemik adalah tuturan khas yang dijumpai di sebuah bahasa yang tersendiri, sedang fonetik adalah tuturan secara umum yang dapat diucapkan manusia sesuai dengan organ-organ tubuhnya, misalnya lidah, tenggorokan, paru-paru dan lainnnya. Kajian emik adalah kajian yang melihat sesuatu yang khas di masyarakat lokal yang signifikan untuk dilihat, sedangkan kajian etik berusaha melihat sesuatu yang secara objektif ada di dalam setiap individu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dalam konteks pembangunan, kajian emik melihat kearifan lokal mana yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan masyarakat. Kearifan lokal itu dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun kearifan lokal tersebut signifikan untuk dilihat dalam proses pembangunan. Di dalam tulisan ini telah dipaparkan bahwa nilai-nilai spiritualitas masyarakat Sukoharjo menjadi objek emik dalam pembangunan. Nilai-nilai tersebut berharga untuk menjaga norma yang ada di masyarakat. Dalam tulisan ini juga ditunjukkan bagaimana masyarakat merawat nilai-nilai itu, salah satunya melalui pertunjukan wayang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang emik tersebut dapat menjadi sesuatu yang etik ? Menurut pendapat saya, yang emik dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat, namun untuk menjadi etik, tentunya harus dilihat kesesuaianya dengan etika global lainnya. Pada kenyataannya, di dalam masyarakat Sukoharjo sesuatu yang dipahami secara emik juga dipahami oleh masyarakat di tempat lain, misalnya nilai-nilai mengenai keadilan. Yang bermanfaat, sesuatu yang emik ini dapat difungsikan sebagai cara-cara yang lebih partisipatoris dalam menggerakkan etika global. Misalnya, penanaman nilai anti-korupsi tidak harus didekati dengan pendekatan berbasis hak seperti yang ada di dalam masyarakat Barat, tapi dapat didekati dengan pendekatan budi pekerti dan takut pada Tuhan. Sama halnya, untuk mentransfer ide-ide John Rawls mengenai keadilan (<i>libertarian justice</i>), dapat digunakan metode dan ide-ide yang telah berkembang di masyarakat Sukoharjo mengenai bagaimana mereka mempersepsikan keadilan.</span></p><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"></p><span style="" lang="SV"><o:p>* sebelum menulis tulisan ini, penulis sama sekali tidak attach dengan kebudayaan asalnya. tiba-tiba ketika membaca sebuah tulisan, pandangan itu berubah 180 derajat. </o:p></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b><span style="" lang="SV"><br /></span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b><span style="" lang="SV"><br /></span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b><span style="" lang="SV">Referensi :<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Timothy Begaye,<b> </b><i>Native Teacher Understanding of Culture as a Concept for Curricular Inclusion</i>, Jurnal Wicazo Sa Review - Volume 22, Number 1, Spring 2007</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Ward H. Goodenough, <i>Culture, Language, and Society</i> <span style="font-style: italic;">2d edition</span>, California : Benjamin/Cummings, 1981</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span class="bigtitle">Sides Sudyato DS, <i>Wayang, Kebudayaan dan Nasionalisme Poskolonial</i></span> , diunduh dari: <a href="http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=75&page=1">http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=75&page=1</a></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"></p>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-29322160905600306852008-11-29T08:00:00.000-08:002008-11-29T08:04:30.293-08:00People-Centered Regionalism ?What is the meaning of Southeast Asia regionalism? Southeast Asian is slowly bounded ASEAN agreements, i.e. ASEAN Charter, Free trade agreements, or AFTA. NGOs and some mass media criticized ASEAN as an elite group; they only draw government-to-government relations, but don’t put people as the subject of regionalism.<br />By 2003, ASEAN has shifted its regionalism into ‘community’ model of regionalism. Community means that there are members of the community owning shared identity and shared responsibility (Ife&Tesoriero, 2002). Also, it means that ASEAN should develop its regionalism into ‘bottom-up’ process. Top-down process, to some extent, is still needed, but ‘bottom-up’ process is also important to build genuine regionalism. The idea of regionalism is not only unite the states, but also the society. If not, the benefit of regionalism would be difficult to be reached by precisely the society.<br />In my opinion, there are two different principles between state regionalism (old regionalism) and people-centered regionalism (new regionalism).<br />First, the old focuses on financial capital, which concentrates on the accumulation of financial capital that might be owned by big companies or the have. Whilst the poor lack of resources, social capital is the solution came from new regionalism. According to Robert Putnam 2006, social capital refers to the collective value of all social network and the inclinations that arise from these networks to do things for each other.<br />Second is the paradox between power and empowering. The old regionalism was perceived as drawing its power from units of government above and below it. The new regionalism gains power by empowering. In many places, part of this empowerment is directed toward neighborhoods and communities, with the objective of getting them constructively engaged in regional decision making. Empowerment also consists of engaging nonprofits and for-profits in governance decisions that were once treated as the domain of the public sector alone. Using the approach of empowerment is based on the assumption that new interests bring new energy, authority, and credibility; in short, it grows power or capacity in order to move a regional agenda. Obama also employed this approach when campaigning and speaking out on the election.<br />The solution would not be black or white, old or new. It could be mixed. The bottom-up approach might be called as idealist, whilst the top-down is more political realist. The bottom-up might be so naïve, but it depends on who would call the confusion of regionalism: you, as an agent itself, or you, as follower?Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-89729875453142009412008-11-25T00:00:00.001-08:002008-11-28T23:16:29.826-08:00Ahhh There I Am !<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/SSu-hopfjbI/AAAAAAAAAIw/b4TM4tEmiJg/s1600-h/gambar.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 270px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/SSu-hopfjbI/AAAAAAAAAIw/b4TM4tEmiJg/s320/gambar.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5272517273823710642" border="0" /></a><span class="text"><span style="font-style: italic;">"There are three things extremely hard: steel, a diamond, and to know one's self." - Benjamin Franklin</span><br /></span><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN"><br /><o:p></o:p></span></b><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p>Beberapa hari lalu, saya mengaduk-aduk kembali beberapa koleksi buku. Menelusuri satu per satu buku, tapi tampaknya tidak semua topik benar-benar saya sukai. Ini berawal dari tugas di salah mata kuliah yang cukup <i style="">decisive, </i>sehingga saya harus berpikir mengenai tesis apa yang akan saya ambil. Sekarang ini, di Pascasarjana, bacaan yang saya hadapi berbeda dari topik Hubungan Internasional yang saya pelajari di S1, walaupun masih ada kaitannya. Mulanya saya senang-senang saja mendengarkan kuliah Profesor Tangdilintin, tapi ketika saya mencari rujukan buku kuliahnya, seperti “Poverty and Social Exclusion”, “Social Development”, dan lain-lain, saya ngantuk banget baca bukunya. Sama ngantuknya dengan membaca buku Anthony Giddens mengenai Teori Kapitalisme dan Perubahan Sosial dari Durkheim, Marx, dan Weber.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kemudian ingatan saya mundur beberapa tahun ke belakang, dan mulai mempertanyakan kembali, “Jadi sebenernya bidang ilmu yang cocok dengan saya apa, ya?” Pertanyaan itu mungkin kelewat terlambat, karena saya sendiri sudah lulus dari S1 sejak dua tahun lalu. Bahkan, sempat berkuliah S1 di dua tempat dan jurusan yang berbeda. Tapi, sampai saat ini masih ada sisa-sisa yang mengganjal. Jika memutar waktu, di ujung masa SMU dulu, saya sempat bingung juga : mau ngambil jurusan apa, ya? Maksudnya, jurusan yang cocok dengan saya. Yang pertama, Teknik, yang jadi <i style="">mainstream </i>anak-anak IPA waktu itu (selain kedokteran), saya merasa tidak cocok sama sekali. Nilai Fisika saya standar, dan melihat apa yang dipelajari di masa matrikulasi seorang mahasiswa Teknik sungguh pusing : Fisika I, Fisika II, dan Fisika III. Can’t help! Kedua, Kedokteran, sebenarnya belum pernah didalami dan dilihat secara langsung, tapi melihat kakak saya belajar Biokimia dan Faal, saya jadi minder sendiri. Apakah saya sanggup? Sepertinya otak saya nggak mampu ke situ. Sebenarnya di antara mata kuliah IPA yang lain, yang paling saya suka adalah Matematika. Berniat mau masuk Statistika, tapi dilarang oleh orang tua, katanya : Mau jadi apa ? Pilihan berikutnya, Ekonomi. Tadinya saya ingin masuk juga jurusan Ekonomi Pembangunan, tapi tidak jadi. Belakangan, merasa beruntung juga tidak masuk Ilmu Ekonomi karena pusing juga dengan ekonometri yang saya lihat di beberapa buku. Akuntansi ? Big No. Saya bermasalah dengan <i style="">coding. </i>Pilihan terakhir, Hukum. Dalam hati saya, “Kok kayaknya hapalan semua. Bisa mati kutu aku.” Apalagi saya bukan orang yang taat hukum (alias suka curi-curi kesempatan untuk melanggar) dan pusing membaca UU yang berpasal-pasal itu, jadi pilihan untuk kuliah di Fakultas Hukum jauh-jauh ditinggalkan. Sepertinya cuma ada yang di benak saya sebagai siswa SMU dari jurusan IPA memandang.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Lepas dari SMU, bertemulah saya dengan Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan (campur aduk banget). Pokoknya mata kuliahnya masih sama dengan SMU banget deh. Yang membuat berbeda dari SMU adalah kesempatan mempelajari buku-buku tebal yang belum pernah saya sentuh sebelumnya di SMU. Beberapa waktu kemudian, saya terpaku di sebuah perpustakaan yang sunyi di atas Danau Dramaga IPB. Rupanya sedang asik membaca buku terbitan CSIS mengenai Indonesia tahun 1990-an. Entah mengapa, dua hari membaca buku itu di perpustakaan hati saya tergerak untuk mempelajari ilmu sosial lebih lanjut. Dan kemudian, setelah lepas dari Kampus Dramaga, terjunlah saya di lautan lepas ilmu sosial yang menurut saya lebih menarik daripada ilmu alam.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Perkenalan pertama, bertemu dengan mata kuliah-mata kuliah Hubungan Internasional, seperti : Sejarah Dunia Modern, Teori Hubungan Internasional, Politik Internasional, Organisasi Internasional, Kajian Strategi, Ekonomi Politik Internasional, dan Diplomasi Modern. Kecanduannya masih pada level 2, alias masih waras. Yang paling jadi <i style="">discouragement </i>saya adalah mata kuliah Sejarah Dunia Modern dan Kajian Strategi yang sebagian besar bicara mengenai pertahanan keamanan. Dalam hati saya, “Kok kayaknya saya ngantuk banget yah, bicara soal postur pertahanan beserta paramiliternya atau Sejarah Perang Vietnam.” Poin lebih saya berikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Perkenalan kedua di Hubungan Internasional adalah belajar terapan dari teori itu, seperti : Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan, Politik Global Amerika, Hubungan Internasional di Timor Tengah dan Afrika, Hubungan Internasional di Eropa, Jepang dan Negara Industri Baru, atau Hubungan Internasional di Amerika. Kecanduan saya sudah berada pada level 4, alias sudah hampir ekstase. Menurut saya, ternyata lebih menarik mempelajari HI dengan melihat pada dinamika masalah di tingkat kawasan. Dinamikanya pun beraneka ragam, mulai dar dinamika politik, ekonomi, dan sosial (misalnya masalah migrasi, pengungsi, atau ancaman-ancaman baru). Analisis saya, ini karena saya lebih cenderung berpikir empirik ketimbang berpikir di alam ide. Empirisme dalam belajar HI ini juga membuat saya sering bertanya-tanya pada hal-hal yang ada di masyarakat, seperti misalnya pertanyaan Mengapa masyarakat negara A miskin? Mengapa ide besar mengenai nasionalisme tidak bisa menyentuh masyarakat perbatasan? Mengapa permasalahan perebutan sumberdaya alam selalu terjadi di kawasan A meskipun militer sudah turun tangan di sana untuk mengatasinya? <span style=""> </span>Dengan pola pikir yang empiris juga, saya kemudian menyelesaikan skripsi dengan dasar keingintahuan mengenai, “Mengapa bantuan internasional ke negara X tidak menyelesaikan masalah kemiskinan di negara itu ? Apa yang salah ?”</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Setelah lulus, ketika berselancar ilmu pengetahuan pada institusi yang mengagung-agungkan pendekatan materialisme Marx pun saya tetap saja gundah pada pertanyaan, “Apakah ketergantungan dan ketimpangan hubungan menjadi sebab utama tertinggalnya di sebuah masyarakat atau negara?” Kalau melihat beberapa data yang tersuguh, saya sepertinya yakin. Ternyata keyakinan itu runtuh karena setiap berkunjung ke lapangan, saya selalu menjumpai jawaban, “Kalau buat kami (petani), sederhana saja, bagaimana produk saya bisa laku dan mempunyai nilai jual yang tinggi.” Bukan masalah agribisnis yang ingin dikritisi, tapi ada sistem perilaku tertentu yang telah hidup di masyarakat.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><span style=""> </span><o:p></o:p><br />Kemudian pengembaraan itu sampai pada kubu ilmu baru yakni Pembangunan Sosial (yang dikelola oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial). Dalam ilmu ini, saya belajar tiga level intervensi sosial yang bisa merubah “nasib” sekelompok masyarakat : level mikro yakni di tingkat individu dan keluarga, level mezzo di tingkat komunitas, dan level makro di tingkat komunitas serta kebijakan. Ketika duduk di kelas Dinamika Perilaku Manusia yang membahas secara mikro, saya seperti mendapat suntikan amunisi baru. Psikoanalisis, Behavioralisme, dan Humanistik menjadi alat bedah baru dalam memahami mengapa masyarakat begini dan mengapa pembangunan tidak berjalan. Baru beberapa hari membaca sebuah buku berjudul Essentials of Psychology karangan Benjamin Lahey, sepertinya saya tingkat kecanduan saya sudah mencapai level 4,8 !!! Freud, Carl Jung, Karen Horney, Erikson, Maslow, Skinner, Kohlberg, Watson, you’re all rocks !!!</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kata orang perasaan suka itu bisa datang tiba-tiba dan bisa pula tiba-tiba menghilang. Mungkin saat ini ekstase saya yang mendalam karena empirisme ini tiba-tiba bisa mendarat dengan tepat. Ruang bifurkasi antara rasionalisme – empirisme menemukan keseimbangan atau <i style="">equilibrium </i>yang baru. Seperti secangkir kopi yang menemukan takaran yang pas antara kopi dan gulanya. Kalau di awal saya menyebutkan kalau saya empiris, bukan berarti saya tidak meletakkan ide (rasio) sama sekali. Justru karena saya empiris, maka untuk menjawab kegelisahan empiris, saya berpikir mengenai ide-ide secara logis kan ?</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Narsisme yang muncul berikutnya adalah perasaan lega yang mengatakan, “Ahh, there I am !!” Oleh karena itu, mungkin ini yang menjadikan jawaban atas olok-olok ketika zaman mahasiswa dulu. Ketika ditanya, “Jadi Juno ini hijau, merah, atau biru sih? Kok nggak jelas gitu. ” Maka ada yang menjawabnya dengan, “Nggak tau. Tengah kali, ya.” Mungkin kecuekan saya terhadap ideologi adalah karena saya melihat ideologi tidak relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Ideologi adalah sesuatu yang secara nilai bisa benar, tapi belum tentu benar secara kognitif. Terkait dengan ideologisasi, menurut saya, dari sudut pandang pemikiran Piaget bisa dinyatakan, “Jangan-jangan mekanisme pergaulan dalam lingkaran ideologi itu yang menjadi pembelajaran sosial (<i style="">social learning</i>) untuk bersikap dan bertindak seperti ideolog?” Yang paling tepat, menurut saya, adalah sikap empiris yang diturunkan menjadi sikap yang reflektif. <o:p></o:p></span></p>Unknownnoreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-71837557954840534822008-11-09T17:36:00.000-08:002008-11-09T17:38:59.109-08:00Otonomi Daerah dan Perut yang Kosong<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/SReQrKF0L0I/AAAAAAAAAIo/dy4pG5VAlRI/s1600-h/desentralisasi.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 225px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/SReQrKF0L0I/AAAAAAAAAIo/dy4pG5VAlRI/s320/desentralisasi.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5266837360350605122" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Di suatu siang yang menjemukan, kami terlibat diskusi yang dengan seorang dosen yang pemikirannya tidak pernah menjemukan. Penyandang gelar profesor itu bertanya kepada seisi kelas kami, “Apakah menurut kalian pembangunan sosial sudah berjalan di Indonesia?” Ada seribu jawaban di sana. Ada seribu bantahan mengiringinya. Sampai pada satu titik, kami mendiskusikan mengenai otonomi daerah, yang saat ini menjadi arah pembangunan di negeri ini. Otonomi daerah bukan saja dibicarakan secara hangat oleh pembuat kebijakan, tapi juga dicatat oleh kamera wartawan yang meliput kerusuhan di daerah-daerah karena ketidakpuasan hasil Pilkada. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dari salah seorang staf pemerintahan, saya mendengar bahwa biaya untuk menyelenggarakan Pilkada Jawa Timur adalah sebesar 900 milyar rupiah. Jumlah yang cukup fantastis. Biaya yang dikeluarkan ini hanya salah satu gambaran biaya yang ada di satu provinsi. Biaya yang ada di depan mata lainnya adalah biaya pemekaran provinsi atau kabupaten/kotamadya. Pemekaran sebuah provinsi atau kotamadya memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara sederhana saja : Berapa uang yang harus keluar untuk membentuk kantor pemerintahan daerah beserta dinas-dinasnya sekaligus untuk menggaji semua stafnya. Tidak sedikit.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Tapi, kebanyakan dari berita otonomi daerah yang nampak di televisi tidak menggembirakan. Kerusuhan, ketidakpuasan, bahkan kemiskinan masih menjerat warga yang daerahnya sudah diotonomikan. Kalau dilihat lebih jauh pun, pendapatan asli daerah (PAD) tidak bisa sepenuhnya menopang pengeluaran di daerah tersebut. Di daerah-daerah yang PAD-nya masih minim, pemerintah pusat mensuplai banyak. Artinya, otonomi hanya terletak pada kekuasaan eksekutif saja. Beberapa daerah masih tergantung dari pusat untuk pendanaan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Yang meruak dari otonomi daerah pasca keluarnya UU No.32 tahun 2004 adalah motivasi untuk menjadi pemegang kekuasaan di daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil di daerah sudah banyak dianalisis oleh sosiolog atau ilmuwan politik. Kue kekuasaan yang sudah terbagi ini kemudian menjadi ‘bancakan’ bagi mereka yang duduk di pemerintahan daerah. Beberapa daerah kemudian gagap dalam menyusun alokasi belanja pemerintah daerah. Pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya menjadi alasan bagi terbentuknya pemerintah daerah yang lebih otonom kadangala tidak tercakup, karena orientasi pemerintahan daerah adalah pembangunan fisik : membangun jalan, membangun stadion olahraga, atau membangun gapura selamat datang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Kembali dalam pertanyaan di atas, apakah pembangunan sosial sudah berjalan di negeri ini, ternyata pembangunan yang mengarah pada otonomi daerah tidak lantas melahirkan pembangunan sosial yang bericirikan “bottom-up”. Pendek kata, pembangunan sosial hanya dimaknai pembangunan yang berasal dari atas, tanpa ada timbal balik dari masyarakat, meskipun sudah secara politik sudah menjalankan otonomi daerah. Karena dalam pendekatan pembangunan dari bawah yang dilakukan dalam otonomi daerah, kebanyakan tidak optimal. Wacana “pembangunan dari bawah” – yang masih asing di masyarakat-<span style=""> </span>tidak seharusnya disikapi dengan institusionalisme pembangunan di tingkat lokal. Ibarat cermin, wacana seharusnya dipantulkan kembali dengan wacana. Membangkitkan alam wacana adalah dengan menggerakkan nilai-nilai. Itu artinya sebelum mendemokratisasikan pemerintahan, nilai-nilai demokrasi yang seharusnya ditanamkan di masyarakat. Sebelum memberdayakan institusi pemerintahan lokal, seharusnya nilai-nilai “berdaya” yang harus ditanamkan di masyarakat. Thee Kian Wie, salah satu ekonom Indonesia pernah berkomentar di bukunya, “ Beginilah akibatnya kalau demokrasi di Indonesia dilakukan dengan kondisi perut yang lapar.” Dalam konteks ini, bisa dimaknai bahwa karena masyarakat tidak “berdaya”, dan yang tersedia untuk disantap adalah kue kekuasaan yang makin banyak (karena demokrasi), maka yang terjadi adalah berebut kue itu agar mereka kenyang dan berdaya. [J] <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-40922509836282667672008-11-09T17:17:00.000-08:002008-11-09T17:36:10.730-08:00Badut (Sebuah Fiksi)<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">Alika malu punya bapak seorang badut sirkus. Tiap kali Alika masuk ke ruang kelas, semua mata seolah tertuju padanya. Hanya ingin mengatakan satu hal : Alika anak pemain badut ! Begitu yang ia rasakan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">Kegelisahan Alika makin menjadi-jadi tatkala Deon dan gank-nya mengolok-olok Alika ketika istirahat tiba. ”Alika, adik gue mau ulang tahun nih. </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Bokap lo bisa datang nggak?” Atau, ”Pantesan lo</span><span lang="SV" style="font-size:100%;"> </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">suka makan donat, Lik. Orang bokap lo aja mukanya kayak donat!” Biasanya, olokan itu diiringi</span><span lang="SV" style="font-size:100%;"> </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">gelak tawa teman-teman Deon lainnya.</span><span lang="FI" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Deon memang keterlaluan. Tapi beberapa guru dan siswa-siswi lain menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang lumrah. Keluarganya adalah keluarga terpandang. Bapaknya saja pengusaha yang punya jabatan di pemerintahan. Semua guru tahu berapa sumbangan yang diberikan oleh orang tua Deon ketika ia memasuki sekolah ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">Alika bersekolah di sebuah es-em-pe negeri yang terbilang favorit di kotanya. Beruntung Alika bisa masuk ke sekolah itu. Berkat keenceran otaknya, Alika masuk ke sekolah itu tanpa hambatan. Beberapa teman Alika tergolong biasa-biasa saja, bahkan ada yang cenderung berkekurangan, namun ada juga yang bergaya elit. Tidak semua mereka yang anak jenderal, walikota, pengusaha, dan lainlainnya bisa lolos seleksi Nilai Ebtanas Murni (NEM). </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Ada juga yang beli bangku.</span><span lang="FI" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Teman Alika berasal dari latar belakang yang beragam. Danti, teman sebangkunya, anak seorang dosen di sebuah perguruan tinggi. Aldo, si ketua kelas, adalah anak kolong. Tampilannya pun disesuaikan dengan anak kolong : rambut cepak dengan tubuh yang tegap. Reisya, teman yang sering pulang bersama Alika, adalah anak seorang manajer hotel kenamaan. Sepulang sekolah, biasanya Reisya dan Alika naik mikrolet bersama. Bagi mereka perbedaan status sosial tidak menjadi masalah. Sedang Ahmad, yang sering meminjam catatan-catatan Alika, adalah orang yang paling sebal dengan perlakuan Deon terhadap Alika.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">Kenapa sih, bapakku seorang pemain badut ? Apa Bapak nggak bisa ganti pekerjaan saja ? Begitu yang selalu dipikirkan Alika setiap hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">”Kenapa Bapak tidak berhenti saja menjadi seorang badut sirkus ? ” tanya Alika suatu hari kepada bapaknya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Alika, nggak boleh begitu. Bapak yang membayar uang sekolah kamu.Bapak juga yang memberikan makanan bergizi yang kita makan setiap hari, ” pungkas Ibu Alika.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">”Tapi kan, Alika malu, diledekin terus sama teman-teman di sekolah, ” kilah Alika cepat.</span><span style="line-height: 150%;font-size:100%;" lang="FI" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="SV">Braak</span></i></span><span lang="SV" style="font-size:100%;">. Pintu kamar Bapak dan Ibu Alika ditutup dengan kasar. Kedua orang tua Alika hanya bisa menghela nafas pelan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Lama-lama, teman-teman Alika sudah lupa dengan ejekan itu. </span><span lang="FI" style="font-size:100%;">Tapi Alika masih gelisah tiap hari. Ketika ia berjalan di lorong kelas, Alika merasa ada yang menertawakan Alika di belakangnya. Ketika ia maju di depan kelas, Alika merasa seolah-olah semua mata memandang kepadanya seraya membatin, ”Badut.” Hingga Alika merasa tempat paling nyaman untuknya adalah toilet belakang laboratorium IPA. </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Di situ ia bisa menertawakan dirinya sendiri. Sembunyi dari kenyataan yang begitu</span><span lang="SV" style="font-size:100%;"> </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">pahit buatnya. Sekaligus sambil membaca buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Begitu bel istirahat berbunyi dua kali – tanda istirahat telah selesai- ia bergegas bangkit dari panggung yang ia ciptakan sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Panggung yang ada di luar toilet terlalu masam untuknya. Meskipun sebenarnya badut sirkus dari negeri nyata itu tak pernah menghampiri Alika di panggung di luar toilet, namun Alika merasa ia telah bertransformasi menjadi seorang badut. Sangat lucu untuk ditertawakan penonton panggung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Sementara itu, badut sirkus yang sebenarnya sedang mengurai keringatnya. Berjalan dari satu<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">panggung ke panggung lainnya. Memainkan permainan yang tidak semua orang bisa : trampolin, permainan tongkat, atau sulap. Menuai tepuk tangan dari penonton. Diajak berfoto bersama dengan </span><span style="font-size:100%;">anak-anak seusia es-de dan te-ka.</span><span lang="SV" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">Sepertinya lain. Badut sirkus sangat menikmati perannya di sebuah panggung. Sedang badut kecil itu sangat tersiksa dengan bayangan badutnya. Badut sirkus juga perlahan mulai menambah tebal kantongnya. Beberapa kali pertunjukan ia suguhkan kepada warga negara asing di <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> itu yang mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak mereka. Sungguh itu sangat berarti, tak hanya untuk sekadar menyeka keringatnya, tapi juga untuk menghidupi si badut kecil.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">”Kamu tahu kenapa topeng badut itu selalu tertawa Lik? ” tanya Bapak Alika suatu hari, ketika Alika sudah beranjak dewasa. Alika hanya menggeleng lemah, seraya meneruskan jahitan roknya yang berwarna abu-abu yang akan dikenakannya besok dalam upacara bendera di sekolah. Alika kini sudah memasuki bangku SMU. ”Karena badut selalu berjiwa besar. </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Ia tidak akan sakit hati dan putus asa jika mendapat banyak cemooh.”</span><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Lalu Bapak Alika kembali mengelap kostum badut-badutnya. Topeng-topeng itu seolah kembali menertawakan Alika. Alika luruh dalam sedih dan kecewa. Topeng yang dihiasi bagian tubuh yang hiperbolis itu menatap Alika. Seolah ingin mengatakan, ”Jangan bersedih. Semua yang ada dalam kostum yang hiperbolis ini hanyalah tanda semata. Topeng ini bukan realitas dari hidup Alika.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Realitasnya, Alika bisa bersekolah dengan lancar dan memperoleh nilai-nilai gemilang. Realitasnya, Ibu Alika sekarang bisa membuka usaha kecil-kecilan dari topeng ini. Topeng ini hanya tanda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">****<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i><span lang="SV">Washington, di sebuah musim semi yang indah<o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Toilet dingin di sudut kantor itu mengingatkan gadis manis itu pada masa remajanya.Gadis itu masih senang berlama-lama dalam toilet. Entah apa yang ia pikirkan, tapi gadis itu selalu merasa dalam keadaan </span><span style="font-size:100%;"><i><span lang="SV">chaos </span></i></span><span lang="SV" style="font-size:100%;">dan </span><span style="font-size:100%;"><i><span lang="SV">order </span></i></span><span lang="SV" style="font-size:100%;">ketika merenung dalam toilet. Titik itulah yang membuatnya nyaman. ”Seperti mendamaikan oposisi biner,” katanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">”Alika, <i>is that you?”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i>“Yeah...Cussie?”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i>”Come on, Alika. What have you done that long there? You need yoga class, ha ?”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i>“I’ve just...remembered my childhood, Cussie. Are there any business?”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i>“Come on, dear. You have to follow yoga class. Please come with me every Wednesday, a fter office hours. O , ya, Matthew is looking for you. He needs your <span style=""> </span>assistance.”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;"><i>“Allright. I’m coming soon.”<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">Gadis itu segera membuka selot toilet. </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Ia merapikan </span><span style="font-size:100%;"><i><span lang="SV">blazer-</span></i></span><span lang="SV" style="font-size:100%;">nya yang sedikit kusut di bagian belakang. Lantas, bergegas menuju ke meja kerjanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">Alika Suhandono.Anak badut sirkus itu baru saja merampungkan studi master Public Policy di George <st1:state st="on"><st1:place st="on">Washington</st1:place></st1:state> University. </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Ia mendapatkan beasiswa Fullbright dan beberapa sponsor lain. Saat ini ia bekerja di sebuah kantor Perserikatan Bangsa-bangsa di Washington untuk program hak asasi manusia. Ia hanya berharap visanya bisa terus diperpanjang. Agar ia bisa terus berada dalam toilet barunya : Amerika Serikat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Di negeri ini, Alika tak akan lagi teringat pada badut-badut lucu yang menertawakannya. Juga tak ada lagi yang mengolok dia sebagai anak tukang sirkus. Yang orang-orang tahu adalah Alika yang cerdas. Alika yang lulus dari Washington University dengan predikat cumlaude. Alika yang ditawari beberapa pekerjaan di tempat-tempat prestisius.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Setelah merampungkan pekerjaannya, Alika memberesi semua barang-barangnya.Ia tidak langsung pulang ke flat-nya. Sore ini ada pesta ramah tamah duta besar baru di KBRI. Semua mahasiswa Indonesia yang ada di Washington diundang, termasuk Alika yang pernah menjadi sekretaris untuk Ikatan Mahasiswa Indonesia di sana. SMS dari Aryo, teman dekatnya, membuat ia semakin tergesa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Buruan lik. dah mo mulai ni. ada mhs baru juga.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Alika menyetop bis yang menuju ke arah kedutaan Indonesia. Di dalam bis, ia menyaksikan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">pertunjukan badut-badut di taman kota. Beberapa anak kecil nampak tertawa kegirangan. Badut dengan lincah memainkan beberapa atraksi. Atraksi sepeda yang dipilih oleh badut-badut itu untuk menghibur anak-anak. Alika sendiri sekarang sudah sedikit merasa nyaman dengan badut –badut itu. Ia sudah menemukan keseimbangan antara </span><span style="font-size:100%;"><i><span lang="SV">chaos </span></i></span><span lang="SV" style="font-size:100%;">dan </span><span style="font-size:100%;"><i><span lang="SV">order-</span></i></span><span lang="SV" style="font-size:100%;">nya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Pesta dimulai tepat pukul enam dengan diawali basa-basi pidato duta besar baru.Alika tidak terlalu tertarik mendengarkan pidato itu. Ia banyak berbincang-bincang dengan Aryo dan Nimas, temanteman baiknya. Tiba-tiba ada yang mengagetkan Alika. Punggungnya ditepuk dari belakang oleh seseorang ketika ia masih ngobrol dengan Aryo. Alika berbalik untuk melihat siapa gerangan yang </span><span lang="FI" style="font-size:100%;">telah menepuknya.</span><span lang="SV" style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">”Deon !”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">Laki-laki itu tampak malu-malu sambil menjulurkan tangannya, mengajak Alika bersalaman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">”Kamu disini juga sekarang?” Sosok Alika terlihat lebih percaya diri. Tidak terlihat raut kesal karena lelaki ini yang telah memperoloknya sewaktu dia duduk di bangku es-em-pe.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="FI" style="font-size:100%;">”Iya, gue mahasiswa baru. Tapi gue sih nggak dapet beasiswa kayak lo. </span><span style="font-size:100%;">Gue ngambil studi tata <st1:city st="on">kota</st1:city> di <st1:place st="on"><st1:placename st="on">Arizona</st1:placename> <st1:placetype st="on">State</st1:placetype> <st1:placetype st="on">University</st1:placetype></st1:place>. Ini gue lagi mampir aja ke <st1:state st="on"><st1:place st="on">Washington</st1:place></st1:state>. Kebetulan dubesnya temen bokap gue,” jawab Deon dengan ramah. Jauh lebih ramah ketika mereka masih duduk di bangku putih biru.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">”It’s like junior high reunion! </span><span lang="SV" style="font-size:100%;">Ha-ha-ha,” Alika tertawa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Lik, jaman kita es-em-pe dulu, gue nggak sopan banget ya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">”Udahlah.Forget it”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span style="font-size:100%;">”Iya, sih, dengan kondisi lo saat ini, lo bisa bilang sudahlah.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Lika tertawa. Begitu pun dengan Deon. Suasana sudah cair.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Oya, apa kabar bokap lo? Katanya ....”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Deon segera menimpali, ”Ya, pasti lo semua tahu lah cerita tentang bokap gue. ”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Bapak Deon menduduki jabatan sebagai ketua salah satu partai di Indonesia. Ia diangkat menjadi seorang menteri di pemerintahan saat ini. Namun, belakangan Bapak Deon dicokok polisi lantaran korupsi yang dilakukannya senilai miliaran rupiah. Berita mengenai korupsi yang dilakukan Bapak Deon ini cukup membuat heboh media-media nasional, hingga tercium sampai ke Washington.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Seharusnya lo bangga sama bokap lo,” Deon memandangi Alika lekat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Tapi lo yang menghancurkan kebanggaan gue terhadap Bapak?” Alika setengah protes.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%; font-family: arial;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">”Meskipun bokap lo seorang badut sirkus, ia bukan badut politik yang terlihat manis di luar namun sesungguhnya tikus korup di dalam. Badut politik hanyalah sampah masyarakat.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family:Garamond;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family: arial;">Alika hanya tersenyum dalam hati.Senyum kemenangan yang selama ini tertahan karena ia selalu minder dengan apa yang ia punyai.Mungkin setelah ini Alika akan merenung dalam toilet flat-nya. Ia ingin berada dalam imajinasi bersama topeng-topeng badut Bapaknya. Sambil bergumam kecil, ” Ketika topeng dibuka, badut bukanlah seorang badut gembul lagi. Ia adalah segurat wajah keriput dengan keringat bercucuran di sekujur kepala untuk kehidupan yang lebih baik.” [J]</span></span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-14872344490038945302008-10-30T07:27:00.000-07:002008-10-30T07:28:54.959-07:00Kehidupan adalah IbuKebetulan kamarku berada di lantai dua. Dari beranda kamar, aku bisa mengamati deretan pepohonan yang tingginya hampir sama dengan lantai di mana saya berpijak. Tak begitu rimbun memang, namun cukup untuk melakukan observasi kecil-kecilan tentang apa yang ada di terjadi di atas pohon-pohon tersebut. Suatu pagi, aku menjumpai suara-suara yang sayup, tapi cukup khas. Ternyata suara itu adalah suara burung yang sedang sibuk membawa alang-alang ke atas pohon sebuah pohon yang agak rindang. Aku menduga itu adalah pohon mangga, karena memang tidak terlalu jelas dari kejauhan.<br /><br />Aktivitas si burung itu semula biasa, tapi esok harinya aku melihat alang-alang yang dibawa burung itu makin meninggi dan dari jauh terlihat seperti sarang. Ya, sarang burung yang biasa digunakan untuk mengerami anaknya yang lahir ke muka bumi. Kemudian, ketika aku browsing di internet, ternyata cara seorang burung betina membuat sarang sangat luar biasa (untuk ukuran seekor burung). Burung merajut jerami atau alang-alang itu yang dibuat menjadi sebuah bentuk mirip mangkok yang kemudian akan menjadi sarang bagi anaknya. Burung memilih bahan-bahan yang berbeda untuk masing-masing lapisan sarang. Untuk membuat dasar sarang, di lapisan terluar dibentuk dengan jerami atau alang-alang yang bertekstur keras. Makin ke dalam, dasar sarang dirajut dengan bahan yang bertekstur lembut. Dan di dasar sarang lapisan terdalam, di mana burung akan meletakkan telur dan anaknya di lapisan itu, burung merajut dengan alang-alang yang teksturnya paling halus. Kemudian, ketika anak burung itu beranjak dewasa, ibu akan mengajarkan bagaimana cara mencari makan, bagaimana mengerat cara biji-biji makanan, atau bagaimana harus menyesuaikan diri dengan cuaca dengan cara bermigrasi ke daerah yang lebih hangat.<br /><br />Sebenarnya insting hewani ini sama sekali tidak mengejutkan, karena memang hewan mempunyai naluri untuk melindungi anaknya – apa yang menjadi miliknya yang ia anggap berharga. Seperti halnya kanguru yang meletakkan anaknya di kantung atau kucing yang selalu membawa anaknya kemanapun dengan cara menggigit anaknya, mungkin begitulah naluri hewan ini. Tapi, inspirasi yang aku tangkap dari kisah sarang burung ini cukup berharga : kehidupan itu adalah ibu. Seorang anak burung yang akan terlahir ke dunia telah dipersiapkan dengan baik oleh seorang ibu. Kekuatan ibu adalah kekuatan untuk merawat dan memelihara kehidupan ini.<br /><br />Bahasa adalah salah satu hal yang diajarkan orang tua kepada anaknya. Sebenarnya yang diajarkan oleh orang tua, ayah dan ibu, tidak hanya bahasa yang mencakup huruf vokal dan konsonan, yang kemudian dirangkai menjadi kata dan akhirnya menjadi kalimat. Namun, bahasa yang diajarkan lebih luas dari itu. Bahasa Indonesia, Inggris, Prancis, dan seterusnya, hanyalah simbol dari sebuah konsensus tertentu sebuah komunitas, suku bangsa, atau negara mengenai sebuah makna. Sedang pengajaran bahasa yang lebih substansif adalah pengajaran bahasa optimisme, harapan, atau kasih sayang. Kualifikasi ibu adalah pengajar untuk bahasa-bahasa tersebut. Dikaitkan dengan teori life-span development dari Erikson, di masa awal kehidupan seorang individu membutuhkan arahan untuk mempelajari kepercayaan dasar dalam hidupnya. Jika individu tidak melalui tahap pertama perkembangan masa hidup tersebut dengan sukses, maka ia tumbuh dengan rasa ketidakpercayaan akan apapun hal di dunia ini. Tidak berlebihan rasanya jika aku menyebutkan di awal tulisan ini bahwa kehidupan adalah ibu. [J]Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3972808694798397119.post-24740454355829744402008-10-23T19:24:00.000-07:002008-10-23T19:40:02.379-07:00Seperti Efemeral<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/SQE05v3aG1I/AAAAAAAAAIg/pUpcK9Tetf0/s1600-h/ephemera.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_LJGjoWkLT0Q/SQE05v3aG1I/AAAAAAAAAIg/pUpcK9Tetf0/s320/ephemera.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5260544006451501906" border="0" /></a><br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dulu film Gie yang dibintangi Nicholas Saputra pernah mempopulerkan kutipan, “Tidak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri.” Sampai sekarang pun kutipan itu masih banyak dipakai untuk menorehkan semangat perubahan, terutama bagi generasi muda.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Dulu aku belum bisa mengaitkan antara kutipan itu dengan sebuah kenyataan hidup yang paling nyata. Dalam ilmu botani, dikenal istilah efemeral<i> </i>yakni tumbuhan yang menyelesaikan hidupnya dalam waktu yang amat pendek, biasanya tumbuhan ini hidup di gurun. Begitu telah menghasilan dan menyebarkan bebijian, tumbuhan efemeral pun layu dan mati. Dengan makna yang hampir sama, dalam bahasa Inggris, istilah <i>ephemera </i>dikenal dalam literatur sastra Inggris yang berarti sesuatu yang bersifat sementara dan sesuatu itu akan mati.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Beberapa waktu aku membaca buku <i>Mapping Human History </i>karya Steve Olson yang pada tahun 2002 memenangi sebagai buku sains terbaik versi <i>Discover </i>dan finalis untuk <i>National Book Award </i>di Amerika Serikat. Meskipun pernyataan dalam buku tersebut masih kontroversial, tapi ada satu fakta yang juga disepakati oleh peneliti lainnya : kehidupan bumi telah dimulai sejak 200.000 tahun lalu ketika ada sekelompok manusia yang hidup di Afrika Timur. Bandingkan umur peradaban manusia dengan umur kita. Bandingkan pula umur bumi sejak jaman pleistosin sampai sekarang. Sungguh, manusia modern yang hidup di negara maju sekalipun hanya mempunyai angka harapan hidup sampai usia 77 tahun. Di Indonesia, angka harapan hidup malah hanya sekitar 65 tahun. Angka itu sangat kecil dibandingkan dengan umur bumi ini.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="IN"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN">Sekarang aku jadi mengerti maksud lain di balik kutipan di film produksi Miles yang kusebut di atas. Seperti siklus efemeral, manusia akan mati, dan muncul manusia yang lain. Jadi, kalau memang hidup ini hanya sementara mengapa ada orang yang menumpuk sedemikian rupa ? Toh suatu saat apa yang akan kita punya akan musnah.</span></p><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style="">I do remember laughter that can make my stomach hard<o:p></o:p><br />With happiness that make it all pretty, even a dirt <o:p></o:p><br />I can remember how long it least <o:p></o:p><br />I'm pretty sure it went away so fast <o:p></o:p><br />Far too many emotion that taint my soul, before my faith<o:p></o:p><br />And often i drown in the moment <o:p></o:p><br />When in the end they all ephemera<o:p></o:p><br /><br />- </i>sebuah lirik dari salah satu band <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> mengenai Ephemera-</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p>Unknownnoreply@blogger.com2