Minggu, 09 November 2008

Otonomi Daerah dan Perut yang Kosong


Di suatu siang yang menjemukan, kami terlibat diskusi yang dengan seorang dosen yang pemikirannya tidak pernah menjemukan. Penyandang gelar profesor itu bertanya kepada seisi kelas kami, “Apakah menurut kalian pembangunan sosial sudah berjalan di Indonesia?” Ada seribu jawaban di sana. Ada seribu bantahan mengiringinya. Sampai pada satu titik, kami mendiskusikan mengenai otonomi daerah, yang saat ini menjadi arah pembangunan di negeri ini. Otonomi daerah bukan saja dibicarakan secara hangat oleh pembuat kebijakan, tapi juga dicatat oleh kamera wartawan yang meliput kerusuhan di daerah-daerah karena ketidakpuasan hasil Pilkada.

Dari salah seorang staf pemerintahan, saya mendengar bahwa biaya untuk menyelenggarakan Pilkada Jawa Timur adalah sebesar 900 milyar rupiah. Jumlah yang cukup fantastis. Biaya yang dikeluarkan ini hanya salah satu gambaran biaya yang ada di satu provinsi. Biaya yang ada di depan mata lainnya adalah biaya pemekaran provinsi atau kabupaten/kotamadya. Pemekaran sebuah provinsi atau kotamadya memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara sederhana saja : Berapa uang yang harus keluar untuk membentuk kantor pemerintahan daerah beserta dinas-dinasnya sekaligus untuk menggaji semua stafnya. Tidak sedikit.

Tapi, kebanyakan dari berita otonomi daerah yang nampak di televisi tidak menggembirakan. Kerusuhan, ketidakpuasan, bahkan kemiskinan masih menjerat warga yang daerahnya sudah diotonomikan. Kalau dilihat lebih jauh pun, pendapatan asli daerah (PAD) tidak bisa sepenuhnya menopang pengeluaran di daerah tersebut. Di daerah-daerah yang PAD-nya masih minim, pemerintah pusat mensuplai banyak. Artinya, otonomi hanya terletak pada kekuasaan eksekutif saja. Beberapa daerah masih tergantung dari pusat untuk pendanaan.

Yang meruak dari otonomi daerah pasca keluarnya UU No.32 tahun 2004 adalah motivasi untuk menjadi pemegang kekuasaan di daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil di daerah sudah banyak dianalisis oleh sosiolog atau ilmuwan politik. Kue kekuasaan yang sudah terbagi ini kemudian menjadi ‘bancakan’ bagi mereka yang duduk di pemerintahan daerah. Beberapa daerah kemudian gagap dalam menyusun alokasi belanja pemerintah daerah. Pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya menjadi alasan bagi terbentuknya pemerintah daerah yang lebih otonom kadangala tidak tercakup, karena orientasi pemerintahan daerah adalah pembangunan fisik : membangun jalan, membangun stadion olahraga, atau membangun gapura selamat datang.

Kembali dalam pertanyaan di atas, apakah pembangunan sosial sudah berjalan di negeri ini, ternyata pembangunan yang mengarah pada otonomi daerah tidak lantas melahirkan pembangunan sosial yang bericirikan “bottom-up”. Pendek kata, pembangunan sosial hanya dimaknai pembangunan yang berasal dari atas, tanpa ada timbal balik dari masyarakat, meskipun sudah secara politik sudah menjalankan otonomi daerah. Karena dalam pendekatan pembangunan dari bawah yang dilakukan dalam otonomi daerah, kebanyakan tidak optimal. Wacana “pembangunan dari bawah” – yang masih asing di masyarakat- tidak seharusnya disikapi dengan institusionalisme pembangunan di tingkat lokal. Ibarat cermin, wacana seharusnya dipantulkan kembali dengan wacana. Membangkitkan alam wacana adalah dengan menggerakkan nilai-nilai. Itu artinya sebelum mendemokratisasikan pemerintahan, nilai-nilai demokrasi yang seharusnya ditanamkan di masyarakat. Sebelum memberdayakan institusi pemerintahan lokal, seharusnya nilai-nilai “berdaya” yang harus ditanamkan di masyarakat. Thee Kian Wie, salah satu ekonom Indonesia pernah berkomentar di bukunya, “ Beginilah akibatnya kalau demokrasi di Indonesia dilakukan dengan kondisi perut yang lapar.” Dalam konteks ini, bisa dimaknai bahwa karena masyarakat tidak “berdaya”, dan yang tersedia untuk disantap adalah kue kekuasaan yang makin banyak (karena demokrasi), maka yang terjadi adalah berebut kue itu agar mereka kenyang dan berdaya. [J]

2 komentar:

.thedalang mengatakan...

butul sekali. makanya kenapa aku selalu mendengung-dengungkan entrepeneurship. sebuah kegiatan produktif. untuk mengisi perut. kemudian berpikir. dan bukan hanya berpikir bagaimana caranya mengisi perut. dan bukannya bagaimana caranya mengambil perut orang laen. maka nabi berpesan. berhentilah makan sebelum kenyang. so classics but works. keep fight cak :D

Anonim mengatakan...

makasih komennya. iya itu cak, pemberdayaan itu mulanya dari menanamkan jiwa kewirausahaan.