Selasa, 25 November 2008

Ahhh There I Am !

"There are three things extremely hard: steel, a diamond, and to know one's self." - Benjamin Franklin



Beberapa hari lalu, saya mengaduk-aduk kembali beberapa koleksi buku. Menelusuri satu per satu buku, tapi tampaknya tidak semua topik benar-benar saya sukai. Ini berawal dari tugas di salah mata kuliah yang cukup decisive, sehingga saya harus berpikir mengenai tesis apa yang akan saya ambil. Sekarang ini, di Pascasarjana, bacaan yang saya hadapi berbeda dari topik Hubungan Internasional yang saya pelajari di S1, walaupun masih ada kaitannya. Mulanya saya senang-senang saja mendengarkan kuliah Profesor Tangdilintin, tapi ketika saya mencari rujukan buku kuliahnya, seperti “Poverty and Social Exclusion”, “Social Development”, dan lain-lain, saya ngantuk banget baca bukunya. Sama ngantuknya dengan membaca buku Anthony Giddens mengenai Teori Kapitalisme dan Perubahan Sosial dari Durkheim, Marx, dan Weber.


Kemudian ingatan saya mundur beberapa tahun ke belakang, dan mulai mempertanyakan kembali, “Jadi sebenernya bidang ilmu yang cocok dengan saya apa, ya?” Pertanyaan itu mungkin kelewat terlambat, karena saya sendiri sudah lulus dari S1 sejak dua tahun lalu. Bahkan, sempat berkuliah S1 di dua tempat dan jurusan yang berbeda. Tapi, sampai saat ini masih ada sisa-sisa yang mengganjal. Jika memutar waktu, di ujung masa SMU dulu, saya sempat bingung juga : mau ngambil jurusan apa, ya? Maksudnya, jurusan yang cocok dengan saya. Yang pertama, Teknik, yang jadi mainstream anak-anak IPA waktu itu (selain kedokteran), saya merasa tidak cocok sama sekali. Nilai Fisika saya standar, dan melihat apa yang dipelajari di masa matrikulasi seorang mahasiswa Teknik sungguh pusing : Fisika I, Fisika II, dan Fisika III. Can’t help! Kedua, Kedokteran, sebenarnya belum pernah didalami dan dilihat secara langsung, tapi melihat kakak saya belajar Biokimia dan Faal, saya jadi minder sendiri. Apakah saya sanggup? Sepertinya otak saya nggak mampu ke situ. Sebenarnya di antara mata kuliah IPA yang lain, yang paling saya suka adalah Matematika. Berniat mau masuk Statistika, tapi dilarang oleh orang tua, katanya : Mau jadi apa ? Pilihan berikutnya, Ekonomi. Tadinya saya ingin masuk juga jurusan Ekonomi Pembangunan, tapi tidak jadi. Belakangan, merasa beruntung juga tidak masuk Ilmu Ekonomi karena pusing juga dengan ekonometri yang saya lihat di beberapa buku. Akuntansi ? Big No. Saya bermasalah dengan coding. Pilihan terakhir, Hukum. Dalam hati saya, “Kok kayaknya hapalan semua. Bisa mati kutu aku.” Apalagi saya bukan orang yang taat hukum (alias suka curi-curi kesempatan untuk melanggar) dan pusing membaca UU yang berpasal-pasal itu, jadi pilihan untuk kuliah di Fakultas Hukum jauh-jauh ditinggalkan. Sepertinya cuma ada yang di benak saya sebagai siswa SMU dari jurusan IPA memandang.


Lepas dari SMU, bertemulah saya dengan Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan (campur aduk banget). Pokoknya mata kuliahnya masih sama dengan SMU banget deh. Yang membuat berbeda dari SMU adalah kesempatan mempelajari buku-buku tebal yang belum pernah saya sentuh sebelumnya di SMU. Beberapa waktu kemudian, saya terpaku di sebuah perpustakaan yang sunyi di atas Danau Dramaga IPB. Rupanya sedang asik membaca buku terbitan CSIS mengenai Indonesia tahun 1990-an. Entah mengapa, dua hari membaca buku itu di perpustakaan hati saya tergerak untuk mempelajari ilmu sosial lebih lanjut. Dan kemudian, setelah lepas dari Kampus Dramaga, terjunlah saya di lautan lepas ilmu sosial yang menurut saya lebih menarik daripada ilmu alam.


Perkenalan pertama, bertemu dengan mata kuliah-mata kuliah Hubungan Internasional, seperti : Sejarah Dunia Modern, Teori Hubungan Internasional, Politik Internasional, Organisasi Internasional, Kajian Strategi, Ekonomi Politik Internasional, dan Diplomasi Modern. Kecanduannya masih pada level 2, alias masih waras. Yang paling jadi discouragement saya adalah mata kuliah Sejarah Dunia Modern dan Kajian Strategi yang sebagian besar bicara mengenai pertahanan keamanan. Dalam hati saya, “Kok kayaknya saya ngantuk banget yah, bicara soal postur pertahanan beserta paramiliternya atau Sejarah Perang Vietnam.” Poin lebih saya berikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Perkenalan kedua di Hubungan Internasional adalah belajar terapan dari teori itu, seperti : Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan, Politik Global Amerika, Hubungan Internasional di Timor Tengah dan Afrika, Hubungan Internasional di Eropa, Jepang dan Negara Industri Baru, atau Hubungan Internasional di Amerika. Kecanduan saya sudah berada pada level 4, alias sudah hampir ekstase. Menurut saya, ternyata lebih menarik mempelajari HI dengan melihat pada dinamika masalah di tingkat kawasan. Dinamikanya pun beraneka ragam, mulai dar dinamika politik, ekonomi, dan sosial (misalnya masalah migrasi, pengungsi, atau ancaman-ancaman baru). Analisis saya, ini karena saya lebih cenderung berpikir empirik ketimbang berpikir di alam ide. Empirisme dalam belajar HI ini juga membuat saya sering bertanya-tanya pada hal-hal yang ada di masyarakat, seperti misalnya pertanyaan Mengapa masyarakat negara A miskin? Mengapa ide besar mengenai nasionalisme tidak bisa menyentuh masyarakat perbatasan? Mengapa permasalahan perebutan sumberdaya alam selalu terjadi di kawasan A meskipun militer sudah turun tangan di sana untuk mengatasinya? Dengan pola pikir yang empiris juga, saya kemudian menyelesaikan skripsi dengan dasar keingintahuan mengenai, “Mengapa bantuan internasional ke negara X tidak menyelesaikan masalah kemiskinan di negara itu ? Apa yang salah ?”


Setelah lulus, ketika berselancar ilmu pengetahuan pada institusi yang mengagung-agungkan pendekatan materialisme Marx pun saya tetap saja gundah pada pertanyaan, “Apakah ketergantungan dan ketimpangan hubungan menjadi sebab utama tertinggalnya di sebuah masyarakat atau negara?” Kalau melihat beberapa data yang tersuguh, saya sepertinya yakin. Ternyata keyakinan itu runtuh karena setiap berkunjung ke lapangan, saya selalu menjumpai jawaban, “Kalau buat kami (petani), sederhana saja, bagaimana produk saya bisa laku dan mempunyai nilai jual yang tinggi.” Bukan masalah agribisnis yang ingin dikritisi, tapi ada sistem perilaku tertentu yang telah hidup di masyarakat.



Kemudian pengembaraan itu sampai pada kubu ilmu baru yakni Pembangunan Sosial (yang dikelola oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial). Dalam ilmu ini, saya belajar tiga level intervensi sosial yang bisa merubah “nasib” sekelompok masyarakat : level mikro yakni di tingkat individu dan keluarga, level mezzo di tingkat komunitas, dan level makro di tingkat komunitas serta kebijakan. Ketika duduk di kelas Dinamika Perilaku Manusia yang membahas secara mikro, saya seperti mendapat suntikan amunisi baru. Psikoanalisis, Behavioralisme, dan Humanistik menjadi alat bedah baru dalam memahami mengapa masyarakat begini dan mengapa pembangunan tidak berjalan. Baru beberapa hari membaca sebuah buku berjudul Essentials of Psychology karangan Benjamin Lahey, sepertinya saya tingkat kecanduan saya sudah mencapai level 4,8 !!! Freud, Carl Jung, Karen Horney, Erikson, Maslow, Skinner, Kohlberg, Watson, you’re all rocks !!!


Kata orang perasaan suka itu bisa datang tiba-tiba dan bisa pula tiba-tiba menghilang. Mungkin saat ini ekstase saya yang mendalam karena empirisme ini tiba-tiba bisa mendarat dengan tepat. Ruang bifurkasi antara rasionalisme – empirisme menemukan keseimbangan atau equilibrium yang baru. Seperti secangkir kopi yang menemukan takaran yang pas antara kopi dan gulanya. Kalau di awal saya menyebutkan kalau saya empiris, bukan berarti saya tidak meletakkan ide (rasio) sama sekali. Justru karena saya empiris, maka untuk menjawab kegelisahan empiris, saya berpikir mengenai ide-ide secara logis kan ?


Narsisme yang muncul berikutnya adalah perasaan lega yang mengatakan, “Ahh, there I am !!” Oleh karena itu, mungkin ini yang menjadikan jawaban atas olok-olok ketika zaman mahasiswa dulu. Ketika ditanya, “Jadi Juno ini hijau, merah, atau biru sih? Kok nggak jelas gitu. ” Maka ada yang menjawabnya dengan, “Nggak tau. Tengah kali, ya.” Mungkin kecuekan saya terhadap ideologi adalah karena saya melihat ideologi tidak relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Ideologi adalah sesuatu yang secara nilai bisa benar, tapi belum tentu benar secara kognitif. Terkait dengan ideologisasi, menurut saya, dari sudut pandang pemikiran Piaget bisa dinyatakan, “Jangan-jangan mekanisme pergaulan dalam lingkaran ideologi itu yang menjadi pembelajaran sosial (social learning) untuk bersikap dan bertindak seperti ideolog?” Yang paling tepat, menurut saya, adalah sikap empiris yang diturunkan menjadi sikap yang reflektif.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Well, jun..di posting ini yang pingin kamu sampaikan apa to? Perjalananmu dalam menemukan minat karirmu atau penjelasan tentang teori-teori yang telah kamu pelajari?

Bagusnya sih fokus, jun. Lagian baca blog panjang-panjang juga membuat pembaca kecapekan.

Sekedar masukan, sekaligus mengingatkan diri sendiri. Ok?

FYI, mainstream di psikologi setelah era psikoanalisis, behavioris, kognitif, dan humanis adalah transpersonal.

Sepemahamanku sih perkawinan psikoalisis - yang memandang manusia terlalu pesimis - dan humanistik - yang optimis. Jadi lebih berimbang.

Sayang, gerakan humanistik Maslow sedang meredup.

juno mengatakan...

thanks atas masukannya. emang ini nulisnya sangat emosional, jadi berantakan bgt. maksudnya emosional, kayaknya ada unek-unek yang gak bisa dibicarakan sama temen, trus tak tulis gitu aja. hehehe. tapi klo bicara psikologi, km pasti lebih jago. aku masih sangat pemula.

Anonim mengatakan...

Wah, Jun...aku yang malah makasih banged karena dengan baca blogmu, wawasanku bertambah.

*Meskipun bacanya musti berulang-ulang. Temanya uabott tenan. Maklum, otak'e cupet, jhe...hehe

"...tapi klo bicara psikologi, km pasti lebih jago..."

Yaiks, bukan lebih jago deh. Lebih sok tau, tepatnya. Kalo ada anak psikologi baca, pasti diketawain. Hiks..

Anonim mengatakan...

ehm... gw sebenarnya mau ikutan nimbrung diskusi, jun. tapi ntar aja deh, ehm... gak enak ah. takut ganggu lo yang lagi asik masyuk "berbalas pantun" ma salah satu pembaca lo. hehehe. piss ah...

Anonim mengatakan...

hei...i think its ur marvelous road to be there...

i like it...

deelavita

Anonim mengatakan...

Как говорилось на Seexi.net Понимаю, что тема вызавет более смешных коментов, нежели дельных...Но всё же, что сделать что бы они не сползали?
Очки не первые, но именно эти сползают. Очень привлекательные, не хочется сдавать обратно...
п.с. душки завинчены нормально