Selamat datang di lembar corat-coret saya, manusia yang selalu gelisah dan bosan. Pekerjaan saya sehari-hari menuntut analisis ekonomi-politik internasional. Tapi sejujurnya saya lebih menyukai sastra, psikologi dan sains populer. Saya bukanlah pencermat atau pengamat, tapi saya menulis untuk membebaskan diri saya. Semoga bisa diambil manfaatnya :)
Sabtu, 29 November 2008
People-Centered Regionalism ?
By 2003, ASEAN has shifted its regionalism into ‘community’ model of regionalism. Community means that there are members of the community owning shared identity and shared responsibility (Ife&Tesoriero, 2002). Also, it means that ASEAN should develop its regionalism into ‘bottom-up’ process. Top-down process, to some extent, is still needed, but ‘bottom-up’ process is also important to build genuine regionalism. The idea of regionalism is not only unite the states, but also the society. If not, the benefit of regionalism would be difficult to be reached by precisely the society.
In my opinion, there are two different principles between state regionalism (old regionalism) and people-centered regionalism (new regionalism).
First, the old focuses on financial capital, which concentrates on the accumulation of financial capital that might be owned by big companies or the have. Whilst the poor lack of resources, social capital is the solution came from new regionalism. According to Robert Putnam 2006, social capital refers to the collective value of all social network and the inclinations that arise from these networks to do things for each other.
Second is the paradox between power and empowering. The old regionalism was perceived as drawing its power from units of government above and below it. The new regionalism gains power by empowering. In many places, part of this empowerment is directed toward neighborhoods and communities, with the objective of getting them constructively engaged in regional decision making. Empowerment also consists of engaging nonprofits and for-profits in governance decisions that were once treated as the domain of the public sector alone. Using the approach of empowerment is based on the assumption that new interests bring new energy, authority, and credibility; in short, it grows power or capacity in order to move a regional agenda. Obama also employed this approach when campaigning and speaking out on the election.
The solution would not be black or white, old or new. It could be mixed. The bottom-up approach might be called as idealist, whilst the top-down is more political realist. The bottom-up might be so naïve, but it depends on who would call the confusion of regionalism: you, as an agent itself, or you, as follower?
Selasa, 25 November 2008
Ahhh There I Am !
Kemudian ingatan saya mundur beberapa tahun ke belakang, dan mulai mempertanyakan kembali, “Jadi sebenernya bidang ilmu yang cocok dengan saya apa, ya?” Pertanyaan itu mungkin kelewat terlambat, karena saya sendiri sudah lulus dari S1 sejak dua tahun lalu. Bahkan, sempat berkuliah S1 di dua tempat dan jurusan yang berbeda. Tapi, sampai saat ini masih ada sisa-sisa yang mengganjal. Jika memutar waktu, di ujung masa SMU dulu, saya sempat bingung juga : mau ngambil jurusan apa, ya? Maksudnya, jurusan yang cocok dengan saya. Yang pertama, Teknik, yang jadi mainstream anak-anak IPA waktu itu (selain kedokteran), saya merasa tidak cocok sama sekali. Nilai Fisika saya standar, dan melihat apa yang dipelajari di masa matrikulasi seorang mahasiswa Teknik sungguh pusing : Fisika I, Fisika II, dan Fisika III. Can’t help! Kedua, Kedokteran, sebenarnya belum pernah didalami dan dilihat secara langsung, tapi melihat kakak saya belajar Biokimia dan Faal, saya jadi minder sendiri. Apakah saya sanggup? Sepertinya otak saya nggak mampu ke situ. Sebenarnya di antara mata kuliah IPA yang lain, yang paling saya suka adalah Matematika. Berniat mau masuk Statistika, tapi dilarang oleh orang tua, katanya : Mau jadi apa ? Pilihan berikutnya, Ekonomi. Tadinya saya ingin masuk juga jurusan Ekonomi Pembangunan, tapi tidak jadi. Belakangan, merasa beruntung juga tidak masuk Ilmu Ekonomi karena pusing juga dengan ekonometri yang saya lihat di beberapa buku. Akuntansi ? Big No. Saya bermasalah dengan coding. Pilihan terakhir, Hukum. Dalam hati saya, “Kok kayaknya hapalan semua. Bisa mati kutu aku.” Apalagi saya bukan orang yang taat hukum (alias suka curi-curi kesempatan untuk melanggar) dan pusing membaca UU yang berpasal-pasal itu, jadi pilihan untuk kuliah di Fakultas Hukum jauh-jauh ditinggalkan. Sepertinya cuma ada yang di benak saya sebagai siswa SMU dari jurusan IPA memandang.
Lepas dari SMU, bertemulah saya dengan Ilmu Sosial Ekonomi Perikanan (campur aduk banget). Pokoknya mata kuliahnya masih sama dengan SMU banget deh. Yang membuat berbeda dari SMU adalah kesempatan mempelajari buku-buku tebal yang belum pernah saya sentuh sebelumnya di SMU. Beberapa waktu kemudian, saya terpaku di sebuah perpustakaan yang sunyi di atas Danau Dramaga IPB. Rupanya sedang asik membaca buku terbitan CSIS mengenai Indonesia tahun 1990-an. Entah mengapa, dua hari membaca buku itu di perpustakaan hati saya tergerak untuk mempelajari ilmu sosial lebih lanjut. Dan kemudian, setelah lepas dari Kampus Dramaga, terjunlah saya di lautan lepas ilmu sosial yang menurut saya lebih menarik daripada ilmu alam.
Perkenalan pertama, bertemu dengan mata kuliah-mata kuliah Hubungan Internasional, seperti : Sejarah Dunia Modern, Teori Hubungan Internasional, Politik Internasional, Organisasi Internasional, Kajian Strategi, Ekonomi Politik Internasional, dan Diplomasi Modern. Kecanduannya masih pada level 2, alias masih waras. Yang paling jadi discouragement saya adalah mata kuliah Sejarah Dunia Modern dan Kajian Strategi yang sebagian besar bicara mengenai pertahanan keamanan. Dalam hati saya, “Kok kayaknya saya ngantuk banget yah, bicara soal postur pertahanan beserta paramiliternya atau Sejarah Perang Vietnam.” Poin lebih saya berikan pada mata kuliah Teori Hubungan Internasional. Perkenalan kedua di Hubungan Internasional adalah belajar terapan dari teori itu, seperti : Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Asia Selatan, Politik Global Amerika, Hubungan Internasional di Timor Tengah dan Afrika, Hubungan Internasional di Eropa, Jepang dan Negara Industri Baru, atau Hubungan Internasional di Amerika. Kecanduan saya sudah berada pada level 4, alias sudah hampir ekstase. Menurut saya, ternyata lebih menarik mempelajari HI dengan melihat pada dinamika masalah di tingkat kawasan. Dinamikanya pun beraneka ragam, mulai dar dinamika politik, ekonomi, dan sosial (misalnya masalah migrasi, pengungsi, atau ancaman-ancaman baru). Analisis saya, ini karena saya lebih cenderung berpikir empirik ketimbang berpikir di alam ide. Empirisme dalam belajar HI ini juga membuat saya sering bertanya-tanya pada hal-hal yang ada di masyarakat, seperti misalnya pertanyaan Mengapa masyarakat negara A miskin? Mengapa ide besar mengenai nasionalisme tidak bisa menyentuh masyarakat perbatasan? Mengapa permasalahan perebutan sumberdaya alam selalu terjadi di kawasan A meskipun militer sudah turun tangan di sana untuk mengatasinya? Dengan pola pikir yang empiris juga, saya kemudian menyelesaikan skripsi dengan dasar keingintahuan mengenai, “Mengapa bantuan internasional ke negara X tidak menyelesaikan masalah kemiskinan di negara itu ? Apa yang salah ?”
Setelah lulus, ketika berselancar ilmu pengetahuan pada institusi yang mengagung-agungkan pendekatan materialisme Marx pun saya tetap saja gundah pada pertanyaan, “Apakah ketergantungan dan ketimpangan hubungan menjadi sebab utama tertinggalnya di sebuah masyarakat atau negara?” Kalau melihat beberapa data yang tersuguh, saya sepertinya yakin. Ternyata keyakinan itu runtuh karena setiap berkunjung ke lapangan, saya selalu menjumpai jawaban, “Kalau buat kami (petani), sederhana saja, bagaimana produk saya bisa laku dan mempunyai nilai jual yang tinggi.” Bukan masalah agribisnis yang ingin dikritisi, tapi ada sistem perilaku tertentu yang telah hidup di masyarakat.
Kemudian pengembaraan itu sampai pada kubu ilmu baru yakni Pembangunan Sosial (yang dikelola oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial). Dalam ilmu ini, saya belajar tiga level intervensi sosial yang bisa merubah “nasib” sekelompok masyarakat : level mikro yakni di tingkat individu dan keluarga, level mezzo di tingkat komunitas, dan level makro di tingkat komunitas serta kebijakan. Ketika duduk di kelas Dinamika Perilaku Manusia yang membahas secara mikro, saya seperti mendapat suntikan amunisi baru. Psikoanalisis, Behavioralisme, dan Humanistik menjadi alat bedah baru dalam memahami mengapa masyarakat begini dan mengapa pembangunan tidak berjalan. Baru beberapa hari membaca sebuah buku berjudul Essentials of Psychology karangan Benjamin Lahey, sepertinya saya tingkat kecanduan saya sudah mencapai level 4,8 !!! Freud, Carl Jung, Karen Horney, Erikson, Maslow, Skinner, Kohlberg, Watson, you’re all rocks !!!
Kata orang perasaan suka itu bisa datang tiba-tiba dan bisa pula tiba-tiba menghilang. Mungkin saat ini ekstase saya yang mendalam karena empirisme ini tiba-tiba bisa mendarat dengan tepat. Ruang bifurkasi antara rasionalisme – empirisme menemukan keseimbangan atau equilibrium yang baru. Seperti secangkir kopi yang menemukan takaran yang pas antara kopi dan gulanya. Kalau di awal saya menyebutkan kalau saya empiris, bukan berarti saya tidak meletakkan ide (rasio) sama sekali. Justru karena saya empiris, maka untuk menjawab kegelisahan empiris, saya berpikir mengenai ide-ide secara logis kan ?
Narsisme yang muncul berikutnya adalah perasaan lega yang mengatakan, “Ahh, there I am !!” Oleh karena itu, mungkin ini yang menjadikan jawaban atas olok-olok ketika zaman mahasiswa dulu. Ketika ditanya, “Jadi Juno ini hijau, merah, atau biru sih? Kok nggak jelas gitu. ” Maka ada yang menjawabnya dengan, “Nggak tau. Tengah kali, ya.” Mungkin kecuekan saya terhadap ideologi adalah karena saya melihat ideologi tidak relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Ideologi adalah sesuatu yang secara nilai bisa benar, tapi belum tentu benar secara kognitif. Terkait dengan ideologisasi, menurut saya, dari sudut pandang pemikiran Piaget bisa dinyatakan, “Jangan-jangan mekanisme pergaulan dalam lingkaran ideologi itu yang menjadi pembelajaran sosial (social learning) untuk bersikap dan bertindak seperti ideolog?” Yang paling tepat, menurut saya, adalah sikap empiris yang diturunkan menjadi sikap yang reflektif.
Minggu, 09 November 2008
Otonomi Daerah dan Perut yang Kosong
Di suatu siang yang menjemukan, kami terlibat diskusi yang dengan seorang dosen yang pemikirannya tidak pernah menjemukan. Penyandang gelar profesor itu bertanya kepada seisi kelas kami, “Apakah menurut kalian pembangunan sosial sudah berjalan di Indonesia?” Ada seribu jawaban di sana. Ada seribu bantahan mengiringinya. Sampai pada satu titik, kami mendiskusikan mengenai otonomi daerah, yang saat ini menjadi arah pembangunan di negeri ini. Otonomi daerah bukan saja dibicarakan secara hangat oleh pembuat kebijakan, tapi juga dicatat oleh kamera wartawan yang meliput kerusuhan di daerah-daerah karena ketidakpuasan hasil Pilkada.
Dari salah seorang staf pemerintahan, saya mendengar bahwa biaya untuk menyelenggarakan Pilkada Jawa Timur adalah sebesar 900 milyar rupiah. Jumlah yang cukup fantastis. Biaya yang dikeluarkan ini hanya salah satu gambaran biaya yang ada di satu provinsi. Biaya yang ada di depan mata lainnya adalah biaya pemekaran provinsi atau kabupaten/kotamadya. Pemekaran sebuah provinsi atau kotamadya memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau dihitung secara sederhana saja : Berapa uang yang harus keluar untuk membentuk kantor pemerintahan daerah beserta dinas-dinasnya sekaligus untuk menggaji semua stafnya. Tidak sedikit.
Tapi, kebanyakan dari berita otonomi daerah yang nampak di televisi tidak menggembirakan. Kerusuhan, ketidakpuasan, bahkan kemiskinan masih menjerat warga yang daerahnya sudah diotonomikan. Kalau dilihat lebih jauh pun, pendapatan asli daerah (PAD) tidak bisa sepenuhnya menopang pengeluaran di daerah tersebut. Di daerah-daerah yang PAD-nya masih minim, pemerintah pusat mensuplai banyak. Artinya, otonomi hanya terletak pada kekuasaan eksekutif saja. Beberapa daerah masih tergantung dari pusat untuk pendanaan.
Yang meruak dari otonomi daerah pasca keluarnya UU No.32 tahun 2004 adalah motivasi untuk menjadi pemegang kekuasaan di daerah. Fenomena munculnya raja-raja kecil di daerah sudah banyak dianalisis oleh sosiolog atau ilmuwan politik. Kue kekuasaan yang sudah terbagi ini kemudian menjadi ‘bancakan’ bagi mereka yang duduk di pemerintahan daerah. Beberapa daerah kemudian gagap dalam menyusun alokasi belanja pemerintah daerah. Pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya menjadi alasan bagi terbentuknya pemerintah daerah yang lebih otonom kadangala tidak tercakup, karena orientasi pemerintahan daerah adalah pembangunan fisik : membangun jalan, membangun stadion olahraga, atau membangun gapura selamat datang.
Kembali dalam pertanyaan di atas, apakah pembangunan sosial sudah berjalan di negeri ini, ternyata pembangunan yang mengarah pada otonomi daerah tidak lantas melahirkan pembangunan sosial yang bericirikan “bottom-up”. Pendek kata, pembangunan sosial hanya dimaknai pembangunan yang berasal dari atas, tanpa ada timbal balik dari masyarakat, meskipun sudah secara politik sudah menjalankan otonomi daerah. Karena dalam pendekatan pembangunan dari bawah yang dilakukan dalam otonomi daerah, kebanyakan tidak optimal. Wacana “pembangunan dari bawah” – yang masih asing di masyarakat- tidak seharusnya disikapi dengan institusionalisme pembangunan di tingkat lokal. Ibarat cermin, wacana seharusnya dipantulkan kembali dengan wacana. Membangkitkan alam wacana adalah dengan menggerakkan nilai-nilai. Itu artinya sebelum mendemokratisasikan pemerintahan, nilai-nilai demokrasi yang seharusnya ditanamkan di masyarakat. Sebelum memberdayakan institusi pemerintahan lokal, seharusnya nilai-nilai “berdaya” yang harus ditanamkan di masyarakat. Thee Kian Wie, salah satu ekonom Indonesia pernah berkomentar di bukunya, “ Beginilah akibatnya kalau demokrasi di Indonesia dilakukan dengan kondisi perut yang lapar.” Dalam konteks ini, bisa dimaknai bahwa karena masyarakat tidak “berdaya”, dan yang tersedia untuk disantap adalah kue kekuasaan yang makin banyak (karena demokrasi), maka yang terjadi adalah berebut kue itu agar mereka kenyang dan berdaya. [J]
Badut (Sebuah Fiksi)
Alika malu punya bapak seorang badut sirkus. Tiap kali Alika masuk ke ruang kelas, semua mata seolah tertuju padanya. Hanya ingin mengatakan satu hal : Alika anak pemain badut ! Begitu yang ia rasakan.
Kegelisahan Alika makin menjadi-jadi tatkala Deon dan gank-nya mengolok-olok Alika ketika istirahat tiba. ”Alika, adik gue mau ulang tahun nih. Bokap lo bisa datang nggak?” Atau, ”Pantesan lo suka makan donat, Lik. Orang bokap lo aja mukanya kayak donat!” Biasanya, olokan itu diiringi gelak tawa teman-teman Deon lainnya.
Deon memang keterlaluan. Tapi beberapa guru dan siswa-siswi lain menganggap hal itu sebagai sebuah hal yang lumrah. Keluarganya adalah keluarga terpandang. Bapaknya saja pengusaha yang punya jabatan di pemerintahan. Semua guru tahu berapa sumbangan yang diberikan oleh orang tua Deon ketika ia memasuki sekolah ini.
Alika bersekolah di sebuah es-em-pe negeri yang terbilang favorit di kotanya. Beruntung Alika bisa masuk ke sekolah itu. Berkat keenceran otaknya, Alika masuk ke sekolah itu tanpa hambatan. Beberapa teman Alika tergolong biasa-biasa saja, bahkan ada yang cenderung berkekurangan, namun ada juga yang bergaya elit. Tidak semua mereka yang anak jenderal, walikota, pengusaha, dan lainlainnya bisa lolos seleksi Nilai Ebtanas Murni (NEM). Ada juga yang beli bangku.
Teman Alika berasal dari latar belakang yang beragam. Danti, teman sebangkunya, anak seorang dosen di sebuah perguruan tinggi. Aldo, si ketua kelas, adalah anak kolong. Tampilannya pun disesuaikan dengan anak kolong : rambut cepak dengan tubuh yang tegap. Reisya, teman yang sering pulang bersama Alika, adalah anak seorang manajer hotel kenamaan. Sepulang sekolah, biasanya Reisya dan Alika naik mikrolet bersama. Bagi mereka perbedaan status sosial tidak menjadi masalah. Sedang Ahmad, yang sering meminjam catatan-catatan Alika, adalah orang yang paling sebal dengan perlakuan Deon terhadap Alika.
Kenapa sih, bapakku seorang pemain badut ? Apa Bapak nggak bisa ganti pekerjaan saja ? Begitu yang selalu dipikirkan Alika setiap hari.
”Kenapa Bapak tidak berhenti saja menjadi seorang badut sirkus ? ” tanya Alika suatu hari kepada bapaknya.
”Alika, nggak boleh begitu. Bapak yang membayar uang sekolah kamu.Bapak juga yang memberikan makanan bergizi yang kita makan setiap hari, ” pungkas Ibu Alika.
”Tapi kan, Alika malu, diledekin terus sama teman-teman di sekolah, ” kilah Alika cepat.
Braak. Pintu kamar Bapak dan Ibu Alika ditutup dengan kasar. Kedua orang tua Alika hanya bisa menghela nafas pelan.
Lama-lama, teman-teman Alika sudah lupa dengan ejekan itu. Tapi Alika masih gelisah tiap hari. Ketika ia berjalan di lorong kelas, Alika merasa ada yang menertawakan Alika di belakangnya. Ketika ia maju di depan kelas, Alika merasa seolah-olah semua mata memandang kepadanya seraya membatin, ”Badut.” Hingga Alika merasa tempat paling nyaman untuknya adalah toilet belakang laboratorium IPA. Di situ ia bisa menertawakan dirinya sendiri. Sembunyi dari kenyataan yang begitu pahit buatnya. Sekaligus sambil membaca buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Begitu bel istirahat berbunyi dua kali – tanda istirahat telah selesai- ia bergegas bangkit dari panggung yang ia ciptakan sendiri.
Panggung yang ada di luar toilet terlalu masam untuknya. Meskipun sebenarnya badut sirkus dari negeri nyata itu tak pernah menghampiri Alika di panggung di luar toilet, namun Alika merasa ia telah bertransformasi menjadi seorang badut. Sangat lucu untuk ditertawakan penonton panggung.
Sementara itu, badut sirkus yang sebenarnya sedang mengurai keringatnya. Berjalan dari satu
panggung ke panggung lainnya. Memainkan permainan yang tidak semua orang bisa : trampolin, permainan tongkat, atau sulap. Menuai tepuk tangan dari penonton. Diajak berfoto bersama dengan anak-anak seusia es-de dan te-ka.
Sepertinya lain. Badut sirkus sangat menikmati perannya di sebuah panggung. Sedang badut kecil itu sangat tersiksa dengan bayangan badutnya. Badut sirkus juga perlahan mulai menambah tebal kantongnya. Beberapa kali pertunjukan ia suguhkan kepada warga negara asing di
”Kamu tahu kenapa topeng badut itu selalu tertawa Lik? ” tanya Bapak Alika suatu hari, ketika Alika sudah beranjak dewasa. Alika hanya menggeleng lemah, seraya meneruskan jahitan roknya yang berwarna abu-abu yang akan dikenakannya besok dalam upacara bendera di sekolah. Alika kini sudah memasuki bangku SMU. ”Karena badut selalu berjiwa besar. Ia tidak akan sakit hati dan putus asa jika mendapat banyak cemooh.”
Lalu Bapak Alika kembali mengelap kostum badut-badutnya. Topeng-topeng itu seolah kembali menertawakan Alika. Alika luruh dalam sedih dan kecewa. Topeng yang dihiasi bagian tubuh yang hiperbolis itu menatap Alika. Seolah ingin mengatakan, ”Jangan bersedih. Semua yang ada dalam kostum yang hiperbolis ini hanyalah tanda semata. Topeng ini bukan realitas dari hidup Alika.”
Realitasnya, Alika bisa bersekolah dengan lancar dan memperoleh nilai-nilai gemilang. Realitasnya, Ibu Alika sekarang bisa membuka usaha kecil-kecilan dari topeng ini. Topeng ini hanya tanda.
****
Washington, di sebuah musim semi yang indah
Toilet dingin di sudut kantor itu mengingatkan gadis manis itu pada masa remajanya.Gadis itu masih senang berlama-lama dalam toilet. Entah apa yang ia pikirkan, tapi gadis itu selalu merasa dalam keadaan chaos dan order ketika merenung dalam toilet. Titik itulah yang membuatnya nyaman. ”Seperti mendamaikan oposisi biner,” katanya.
”Alika, is that you?”
“Yeah...Cussie?”
”Come on, Alika. What have you done that long there? You need yoga class, ha ?”
“I’ve just...remembered my childhood, Cussie. Are there any business?”
“Come on, dear. You have to follow yoga class. Please come with me every Wednesday, a fter office hours. O , ya, Matthew is looking for you. He needs your assistance.”
“Allright. I’m coming soon.”
Gadis itu segera membuka selot toilet. Ia merapikan blazer-nya yang sedikit kusut di bagian belakang. Lantas, bergegas menuju ke meja kerjanya.
Alika Suhandono.Anak badut sirkus itu baru saja merampungkan studi master Public Policy di George
Di negeri ini, Alika tak akan lagi teringat pada badut-badut lucu yang menertawakannya. Juga tak ada lagi yang mengolok dia sebagai anak tukang sirkus. Yang orang-orang tahu adalah Alika yang cerdas. Alika yang lulus dari Washington University dengan predikat cumlaude. Alika yang ditawari beberapa pekerjaan di tempat-tempat prestisius.
Setelah merampungkan pekerjaannya, Alika memberesi semua barang-barangnya.Ia tidak langsung pulang ke flat-nya. Sore ini ada pesta ramah tamah duta besar baru di KBRI. Semua mahasiswa Indonesia yang ada di Washington diundang, termasuk Alika yang pernah menjadi sekretaris untuk Ikatan Mahasiswa Indonesia di sana. SMS dari Aryo, teman dekatnya, membuat ia semakin tergesa.
”Buruan lik. dah mo mulai ni. ada mhs baru juga.”
Alika menyetop bis yang menuju ke arah kedutaan Indonesia. Di dalam bis, ia menyaksikan
pertunjukan badut-badut di taman kota. Beberapa anak kecil nampak tertawa kegirangan. Badut dengan lincah memainkan beberapa atraksi. Atraksi sepeda yang dipilih oleh badut-badut itu untuk menghibur anak-anak. Alika sendiri sekarang sudah sedikit merasa nyaman dengan badut –badut itu. Ia sudah menemukan keseimbangan antara chaos dan order-nya.
Pesta dimulai tepat pukul enam dengan diawali basa-basi pidato duta besar baru.Alika tidak terlalu tertarik mendengarkan pidato itu. Ia banyak berbincang-bincang dengan Aryo dan Nimas, temanteman baiknya. Tiba-tiba ada yang mengagetkan Alika. Punggungnya ditepuk dari belakang oleh seseorang ketika ia masih ngobrol dengan Aryo. Alika berbalik untuk melihat siapa gerangan yang telah menepuknya.
”Deon !”
Laki-laki itu tampak malu-malu sambil menjulurkan tangannya, mengajak Alika bersalaman.
”Kamu disini juga sekarang?” Sosok Alika terlihat lebih percaya diri. Tidak terlihat raut kesal karena lelaki ini yang telah memperoloknya sewaktu dia duduk di bangku es-em-pe.
”Iya, gue mahasiswa baru. Tapi gue sih nggak dapet beasiswa kayak lo. Gue ngambil studi tata
”It’s like junior high reunion! Ha-ha-ha,” Alika tertawa.
”Lik, jaman kita es-em-pe dulu, gue nggak sopan banget ya.”
”Udahlah.Forget it”
”Iya, sih, dengan kondisi lo saat ini, lo bisa bilang sudahlah.”
Lika tertawa. Begitu pun dengan Deon. Suasana sudah cair.
”Oya, apa kabar bokap lo? Katanya ....”
Deon segera menimpali, ”Ya, pasti lo semua tahu lah cerita tentang bokap gue. ”
Bapak Deon menduduki jabatan sebagai ketua salah satu partai di Indonesia. Ia diangkat menjadi seorang menteri di pemerintahan saat ini. Namun, belakangan Bapak Deon dicokok polisi lantaran korupsi yang dilakukannya senilai miliaran rupiah. Berita mengenai korupsi yang dilakukan Bapak Deon ini cukup membuat heboh media-media nasional, hingga tercium sampai ke Washington.
”Seharusnya lo bangga sama bokap lo,” Deon memandangi Alika lekat.
”Tapi lo yang menghancurkan kebanggaan gue terhadap Bapak?” Alika setengah protes.
”Meskipun bokap lo seorang badut sirkus, ia bukan badut politik yang terlihat manis di luar namun sesungguhnya tikus korup di dalam. Badut politik hanyalah sampah masyarakat.”
Alika hanya tersenyum dalam hati.Senyum kemenangan yang selama ini tertahan karena ia selalu minder dengan apa yang ia punyai.Mungkin setelah ini Alika akan merenung dalam toilet flat-nya. Ia ingin berada dalam imajinasi bersama topeng-topeng badut Bapaknya. Sambil bergumam kecil, ” Ketika topeng dibuka, badut bukanlah seorang badut gembul lagi. Ia adalah segurat wajah keriput dengan keringat bercucuran di sekujur kepala untuk kehidupan yang lebih baik.” [J]