Rabu, 27 Februari 2008

Perkembangan terbaru di WTO : Manuver yang “Terpisah dan Mengatur” untuk Perundingan Doha WTO ?


Isu mengenai proses pengambilan keputusan di WTO kembali muncul dalam perundingan WTO ketika negara anggotaa meminta dikeluarkannnya serangkaian teks negosiasi yang baru untuk liberalisasi pertanian dan tarif industri di akhir bulan ini atau awal Februari.


Delegasi mengkhawatirkan Direktur Jenderal Pascal Lamy mengeluarkan proses negosiasi dari tangan ketua kelompok negosiasi secara multilateral, dan mengambil alih prosesnya dengan hanya melibatkan hanya sebagian kecil dari anggota negosiasi.


Pembicaraan terakhir yang terjadi di Genewa adalah bahwa Lamy dapat membawa teks baru ke dalam sebuah ruang yang tertutup atau disebut ”Green Room”. Green room merujuk pada negosiasi yang tertutup yang dilaksanakan di antara jumlah yang terbatas dari delegasi.

Ini akan menjadi ”proses horizontal” dari negosiasi ketika liberalisasi tarif pertanian dan industri dipertemukan bersama sehingga pertukarana dapat terjadi antara dua hal tersebut. Isu lain, terutama mengenai jasa, juga akan dibawa ke meja perundingan tertutup secara cepat – jika tidak pada waktu yang bersamaan.

Pertemuan makan siang secara terpisah telah dilakukan di Davos dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada tanggal 26 Januari 2008. Yang diundang hanyalah sebagian kecil dari menteri. Isu yang digulirkan dalam pertemuan itu adalah bagaimana memproses teks-teks yang telah direvisi tersebut hanya bagi para undangan makan siang.


Ada beberapa rencana untuk mengadakan pertemuan mini-ministerial yang jaraknya tidak terlalu jauh. Ini diharapkan akan dilakukan pada bulan Februari. Tapi karena memang perundingan berjalan dengan lambat, beberapa pihak bahkan berspekulasi bahwa ini hanya akan terwujud di akhir bulan Maret. Salah satu perwakilan negara berkembang di Genewa mengatakan, “Kemajuan adalah satu hal yang harus dilakukan. Tapi kita membutuhkan beberapa perubahan pada beberapa titik (untuk menyimpulkan negosiasi), dan ini akan datang dari level politik, bukan berasal dari meja perundingan secara teknis.”


Mengimentari proses yang ada, delegasi negara berkembang lain mengatakan bahwa, “Lamy dan Uni Eropa, menginginkan untuk merumuskan teks yang telah direvisi dalam Green Room. Ini menjadi sangat berbahaya. Kita berpikir bahwa teks ini perlu dibawa lagi ke dalam diskusi dan jika perlu, akan ada revisi yang kedua.” ”Jika kita mendengarkan suara mayoritas dalam perundingan, hal ini jelas bahwa dalam pertemuan Dewan Umum WTO di bulan Desember lalu menginginkan dalam pertemuan pertanian yang terbuka. Delegasi diminta untuk merundingkan bersama-sama teks yang direvisi dalam sebuah komite spesifik. Lamy, sebaliknya, menginginkan untuk merubah proses horizontal secepatnya, “ kata Delegasi.

Beberapa utusan juga menambahkan, “ Lamy berpikir bahwa orang-orang teknis di Genewa telah menyelesaikan diskusinya. Dia tidak ingin lagi untuk mengadakan sesi khusus (sesi negosiasi mengenai isu-isu tertentu). Sebaliknya, kami tidal pernah berpikir bahwa diskusi telah selesai.”

Delegasi yang tidak diundang ke dalam Green Room khawatir jika suara mereka dapat termajinalisasi jika negosiasi hanya dilakukan di Green Room.

Seorang delegasi Afrika berkomentar bahwa, “ Ini adalah sebuah tradisi dalam WTO untuk menempatkan isu-isu krusial dalam sebuah proses yang tidak transparan dan tidak inklusif. Ini apa yang terjadi ketika mereka membuat sedikit seleksi delegasi, sekitar 30 delegasi atau lebih, untuk memutuskan isu-isu yang penting.

“Mereka terlihat ada dalam diskusi untuk meningkatkan teks tapi pada faktanya anggota yang lainnya hanya sebagai tempelan saja. Kita telah mengkomplain hal ini selama beberapa tahun mengenai kurangnya transparansi, mengenai pembiaran, mengenai pembagian dan peraturan mengenai deklarasi dari ketua (yang tidak merefleksikan secara jujur pandangan dari keanggotaan),” begitu delegasi menuturkan kepada IPS.

”Banyak anggota yang telah memberikan suaranya. Jika kita melakukan proses yang salah ketika teks diluncurkan, maka keberlangsungan sistem perdagangan multilateral secara keseluruhan akan berbahaya.”

Meskipun beberapa perhatian seperti beberapa isu, tapi masih ada perbedaan yang cukup mendalam. Anggota masih jauh untuk mengkritisi AS agar bagaimana distorsi perdagangan yang dilakukan AS harus dihentikan.

Tidak ada perjanjian dalam “special product” di dalam perundingan pertanian untuk negara berkembang – apakah dan sejauh manakah produk-produk khusus tersebut akin dikeluarkan dalam pemotongan tariff. Pembahasan mengenai “Green Box” juga harus dituntaskan, karena jutaan dolar telah dihabiskan oleh AS dan Uni Eropa ketika kategori “Green Box” dilihat sebagai distorsi non-perdagangan dan oleh karenanya dilegalkan oleh WTO.

Dalam bulan-bulan terakhir ini tidak ada perubahan mengenai tingkat pemotongan tariff yang harus dilakukan untuk produk-produk industri. Sebagaimana dikatakan oleh delegasi bahwa, ”Kita telah benar-benar stuck dalam perundingan NAMA.” beberapa delegasi yang diwawancara mengatakan bahwa tidak ada perhatian untuk merubah pemotongan yang sangat dalam yang terefleksi di dalam teks negosiasi di bulan Juli 2007.

Beberapa hal kritis untuk negara berkembang, termasuk negara-negara Afrika mengatakan bahwa mereka satu sisi telah ditinggalkan. Tanda tanya terbesar untuk para negosiator adalah bagaimana Washington akan memutuskan hal ini. Sebuah informan mengatakan, ”Mereka seolah-olah tidak menekan untuk hal apapun.” Jika dalam perundingan NAMA AS dan Uni Eropa ditekan, maka demikan halnya dengan subsidi pertanian AS yang akan diperketat. Sehingga, sebenarnya, dua isu ini saling berkaitan.”

Seorang delegasi dari negara maju mengatakan bahwa dia tidal terlalu berharap perundingan akin membawa pada sebuah kesimpulan. ”Namun, kita masih melakukan negosiasi,” ungkapnya. ”Bahkan jika kita punya kesempatan untuk rehat sejenak (sampai pemilihan Presiden AS selesai digelar), kita tetap harus berhati-hati akan kemungkinan apa yang akan terjadi.

Jika teks yang dibuat saat ini digunakan sebagai dasar perundingan, mereka akan menjustifikasi apapun, termasuk mandat Doha. Jadi, kita melanjutkan untuk menjadi sangat berhati-hati karena kita dapat ditempatkan sebagai pihak yang kalah di masa depan,” demikian kata delegasi.

Delegasi Afrika menekankan perhatiannya kepada politik “inward-looking AS”, “Kebijakan mereka terlihat sangat berorientasi ke dalam, bahkan jika mereka berbicara soal negosiasi bilateral dan multilateral sekalipun. Mereka meletakkan kepentingan nasional di atas segalanya.” Mungkin tidak ada yang salah dengan hal itu, tetapi kita mempunyai komitmen untuk bertrnasformasi system perdagangan sehingga negara berkembang dapat melakukan perdagangan dan menumbuhkan industrinya secara lebih baik.

“Ini membutuhkan kebijakan-kebijakan yang tepat, termasuk untuk perilaku yang berbeda dan spesial. Yang terjadi di dalam WTO adalah tendensi untuk menyamaratakan kemampuan semua negara di level yang sama, seolah-olah setiap negara memiliki otot yang sama. Inilah masalah besar yang ada di WTO.”

Sumber : Aileen Kwa , Trade: ''Divide and Rule'' Manoeuvre Planned for WTO Doha Round?, dipublikasikan oleh IPS.

Kamis, 07 Februari 2008

Soeharto dan Banalitas Kejahatan


Pasca meninggalnya Soeharto, banyak hal yang bisa dikemukakan. Mulai dari mistisme seputar mantan orang nomor satu di Indonesia itu, protes beberapa kalangan karena tayangan televisi tentang Pak Harto yang berat sebelah, atau korupsi dan pelanggaran HAM yang terjadi semasa masa pemerintahannya.

Banyak orang yang mengkritik Soeharto sebagai sosok yang bertangan dingin dalam soal penyingkiran musuh-musuh politiknya. Pasca keruntuhan Orde Lama, rezim Orde Lama ditumpas habis oleh Soeharto. Tak bersisa sedikit pun, bahkan konon Soekarno meninggal karena pengasingan dan perawatan yang tidak layak. Saya mencoba menelusuri benang yang mengkaitakan dengan alasan tindakan Soeharto dengan latar belakang kehidupannya. ”Teori” ini bukan berarti benar atau salah, tapi hanya melihat suatu keterkaitan yang mungkin bisa muncul dari pemikiran itu.

Soeharto adalah sosok yang tumbuh dewasa dalam suasana kemerdekaan 1945. Artinya, dia tumbuh dan mencandra realitas sosial-politik daam suasana ”perang”. Perang yang dihadapi saat itu adalah perang fisik dan teknologi juga belum secanggih sekarang. Ketika kecil pun, Soeharto sudah hidup di suasana ”perang”. Bahkan, Soeharto masuk KNIL untuk direkrut menjadi tentara. Perang kemerdekaan adalah sebuah perang konvensional yang mempunyai basis klaim atas teritorial, penduduk, dan pemerintahan atau menjadi raison d’etre, atau alasan berdirinya sebuah negara. Tentu perang semacam ini adalah perang yang hanya berorientasi kekuasaan (kemerdekaan) dengan cara apa pun. Menembak musuh, membom kandang lawan, dan lain-lain. Aktivitas yang semacam ini tentu hanya mengenal dua kategori ”manusia” : musuh atau lawan.

Lain dengan latar belakang Soekarno yang besar dari institusi pendidikan. Bahkan di tahun-tahun pendirian republik ini Soekarno sudah lantang berbicara mengenai ide-ide kemanusiaan, perdamaian dunia, keadilan sosial dan cita-cita paling tinggi di republik ini : KEMERDEKAAN. Suatu hal yang cukup langka di tengah keterbatasan pendidikan saat itu dan kekacauan perang yang membuat orang tidak sempat lagi berpikir mengenai ide dan idealisme. Soekarno juga seorang ”diplomat” karena banyak bernegosiasi dengan Jepang dan Belanda dalam hal kemerdekaan Indonesia. Dalam negosiasi tentu tidak ada pembagian hitam dan putih; kawan dan lawan. Yang lawan bisa menggunakan bahasa-bahasa yang lebih terpelajar sehingga menjadi kawan.

Dengan latar belakang militer 45 semacam ini, pengalaman empiris Soeharto menemukan bahwa membunuh adalah sesuatu yang sangat wajar untuk mencapai satu tujuan. Simaklah bagaimana pengalaman Soeharto memimpin Serangan Fajar di Yogyakarta. Keberhasilan tentara di Yogyakarta untuk mengenyahkan Sekutu memakan banyak korban jiwa dari pihak lawan maupun pribumi.

Hannah Arendt, seorang pemikir dari Jerman, pernah mengemukakan pemikiran mengenai banalitas kejahatan. Dalam buku klasiknya The Origins of Totalitarianism, Arendt mengatakan bahwa banalitas kejahatan adalah fenomena tindak kejahatan yang dilakukan dalam skala raksasa, yang tidak dapat ditelusuri pada kegilaan, patologi, atau keyakinan ideologi sang pelaku. Dengan demikian, banalitas kejahatan bukan suatu bentuk kejahatan yang biasa, tapi kejahatan yang dianggap biasa oleh sang pelaku yang dangkal dalam berpikir dan menilai. Kekerasan pemerintahan Jepang di Indonesia yang dialami Soeharto lewat KNIL dan PETA membuat Soeharto belajar bahwa membunuh adalah suatu hal yang biasa.

Dan kekerasan ini menular. Apa yang dialami Soeharto dalam institusi militer diterapkan ketika ia berkuasa. Ribuan orang korban politik Orde Baru dienyahkan dan dipenjarakan tanpa melalui pengadilan. Tak tanggung-tanggung, Soeharto bahkan menyingkirkan orang kepercayaannya juga seperti LB Moerdani dan Ali Moertopo. Peristiwa Malari, Penembakan Misterius (Petrus) yang marak terjadi di tahun 1980-an juga membuat rakyat Indonesia hidup dalam suasana teror karena banyak yang ”salah tembak”, atau peristiwa Tanjung Priok, adalah beberapa kekerasan yang dilakukannya. Belum cukup, rantai kekerasan juga seperti meruak ke masyarakat. Ternyata tidak hanya militer yang mempunyai pengalaman terhadap kekerasan, tapi ternyata masyarakat sipil juga terlibat dalam kekerasan, seperti yang dipertontonkan dalam Kerusuhan Ambon, Poso, pemboman JW Marriot, Bali, atau pengrusakan massal di kampung halaman saya, Solo, ketika Orde Baru tumbang.

Ada satu buku yang menjelaskan bahwa kekerasan itu lahir dari individu yang telah direkrut oleh ideologi. Individu yang tumbuh dan belajar dari sebuah ideologi, entah ideologi keagamaan yang ekstrim, atau ideologi negara, adalah individu yang mudah melahirkan kekerasan. Pemboman JW Marriot atau Bali menunjukkan bahwa pelaku mengalami delusion of grandeur. Ada sebuah cita-cita atau utopia yang ingin dilahirkan dari sebuah ideologi, namun cara-cara untuk mencapai utopia itu bertentangan dengan kemanusiaan.

Saya – dan generasi muda saat ini- lahir dari sebuah kondisi ”damai” yang tidak lagi mengenal kekerasan fisik lewat perang revolusi. Kondisi ”perang” yang saya saksikan mungkin hanya lewat kotak televisi atau kepingan VCD atau DVD. Saya lahir setelah aktivis HAM dunia memasuki fase ketiga HAM, yakni hak untuk pembangunan. Bahkan, globalisasi sudah meruyak ke permukaan lewat kecanggihan teknologi dan ekspansi ekonomi. Nilai-nilai kemanusiaan sepertinya sudah menjadi nilai universal yang dipelajari generasi muda lewat internet, koran, atau media-media lainnya. Namun, kata Soe Hok Gie, ”happy is the people without history”. Tanpa belajar sejarah kelamnya kekerasan Orde Baru, kita tidak pernah tahu kapan isyarat atau pertanda akan bangkitnya rantai kekerasan itu diwariskan kembali, mungkin di belahan dunia lain. Myanmar, Pakistan, atau Sudan masih menanti kedamaian.

Senin, 04 Februari 2008

Einstein, Nietzsche, dan Waktu


Time is the One Essential Mystery...
- Jorge Luis Borges

Borges memang tidak familiar bagi saya. Yang saya tahu, ia cuma penulis asal Argentina yang seangkatan dengan Milan Kundera, novelis kondang asal Ceko itu. Namun quote Borges di atas menginspirasikan pada beberapa hal, misalnya menyibak teori relativitas Einstein. Dalil utama Einstein mengenai relativitas waktu, bila ditelisik lebih jauh menyiratkan makna bahwa waktu itu bukan sesuatu yang linier, waktu itu siklikal atau berulang. Ini jadi mengingatkan saya pada konsep waktu a la orang India yang memang benar-benar relatif. Jam tiga sore tidak dimaknai sama bagi setiap orang. Pemaknaan yang sangat humanis? Mungkin. Logika ini mungkin sangat bertabrakan antara sains yang kaku dan pasti serta humaniora yang relatif. Namun, Einstein pun pasti tidak asal-asalan menciptakan teori tentang waktu. Sembilan puluh sembilan kali ia melakukan eksperimen sehingga menghasilkan rumus e=mc2.
Dengan pemaknaan relativitas waktu ini, tak aneh jika pemikiran postmodern Nietzche bisa masuk ke dalamnya. Sekadar mengingatkan, ketidaklinieran waktu hampir sama dengan ketidaklinieran ilmu pengetahuan khas posmo. Ketidaklinieran waktu ini juga membuat adanya sesuatu yang dapat balik, atau reinkarnasi. Tidak ada sesuatu yang abadi, karena sesuatu itu terlahir berulang. Musik misalnya. Tak ada satu bentuk orisinalitas tertentu yang lahir dari periode ke periode. Transformasi dari classic metal, heavy metal-nya Sepultura dan Metallica, kemudian beranjak ke hip metal pada akhir 1990-an, bukan menunjukkan kalau karya-karya Korn atau Slipknot adalah karya yang benar-benar baru dan tak terbantahkan orisinalitasnya. Mengutip Indra Lesmana, musik, menurut dia hanya perpaduan antara satu nada ke nada berikutnya sehingga tidak menutup kemungkinan bakal terjadi pengulangan.
Pemikiran tentang relativitas waktu ini mengusik saya melihat kembali hukum Newton yang diajarkan di bangku SMU dulu: tidak ada energi yang dapat diciptakan atau dimusnahkan, yang ada energi itu hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Hey, bukankah ini hampir mirip dengan pemikiran Einstein tentang relativitas? Segala sesuatu tidak lenyap, namun menghablur dalam ruang dan waktu. Wah, sebuah eternal return? Akan ada kekekalan sebagaimana hukum kekekalan energi? Ini berarti, dalam tahap yang paling ekstrim mungkin, meniscayakan adanya reinkarnasi. Yup, reinkarnasi yang berarti dapat baliknya ruh seseorang ke dunia ini. Lagi-lagi alam pikir saya begitu kecil, pertanyaan-pertanyaan tentang reinkarnasi ini mendekati batas nalar saya.
Namun setidaknya dari hal itu, ternyata waktu tak sekadar dimaknai sebagai jam dinding merk Seiko yang berdentang di ruang tamu. Atau tak hanya diartikan sebagai pembatas antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lainnya. Waktu, dalam semangat Einstein dan Nietzche, bisa berarti banyak hal. Tidak ada justifikasi waktu dari seorang pengamat yang independen, begitu kata Einstein. Secara simpel, dalam dunia nyata, adanya waktu yang tidak bisa dipastikan ini, terlihat misalnya ketika kita hendak berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dua kondisi yang berbeda bisa membuat waktu yang ditempuh berbeda, walaupun secara matematik jarak antara dua tempat itu sama. Berjalan bersama teman dan mengobrol di jalan membuat waktu tempuh menjadi singkat. Lain halnya jika kita menempuh perjalanan itu sendirian. Beda ‘kan?
Lantas, kearifan apa yang bisa kita ambil dari pemikiran Kang Einstein ini? Paul Tillich, seorang filsuf dan teolog, melukiskannya seperti ini: Time is our destiny. Time is our despair, and time is the mirror in which we see eternity. Jika disambungkan ke logika Nietzschenian waktu bukanlah topeng kehidupan. Waktu bukanlah simbol yang meraja di dunia simbol ini. Waktu adalah sebuah esensi. Waktu juga bukanlah jaminan absolut, ia adalah sesuatu yang relatif. Mungkin kita bisa berkaca pada waktu: sebuah keabadian yang tak terjamah.
Francis Fukuyama bisa saja berkata, “Inilah akhir dari sejarah manusia: kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme”. Namun, sejatinya waktu jualah yang menjawab apakah hegemoni AS dapat terus bertahan atau justru menipis seiring dengan resistensi dari kelompok pinggiran. Kita bisa “bohong” pada orang-orang dengan menyiasati fisik yang mulai menua, namun waktu tidak berbohong untuk mengatakan berapa usia kita. Kita bisa tertawa dalam pembangunan berwajah kapitalisme, namun time will tell, kerusakan atau dampak apa yang akan ditimbulkan di kemudian hari.
Menyaksikan waktu sebagai sebuah tujuan akhir memang sangat menarik. Kita ditempatkan seperti Nostradamus atau Jayabaya, futurolog yang bisa meramal masa depan. Yang jelas, akan banyak sekali prediksi-prediksi dari berbagai sudut pandang mengenai dunia ini. Namun, tanpa harus ikut meramal, kita sudah bisa asyik melihat tren dari waktu ke waktu yang terus menggeliat; entah itu tren pemikiran, musik, gaya hidup, yang terus dimodifikasi. Terus berputar dan ber-reinkarnasi. Sampai waktu benar-benar berakhir.


Referensi :
Paul Halpern, Time Journey: A Search for Cosmic Destiny and Meaning, New York: Mc Graw Hill, 1990
Time and Man, Oxford: Pergamon Press, 1978
Paul Davies, About Time: Einstein Unfinished Revolution, New York: Touchstone Book, 1995

Sesaat Ketika Kota Telah Mati


Sesaat ketika kota telah mati. Hanya lampu jalanan yang bersinar redup menemani penjual nasi goreng di pinggir jalan. Sesekali lampu-lampu penerang toko yang dibiarkan menyala membuat warna kota menjadi beragam; merah, biru, kuning, bahkan hijau. Namun, di seberang jalan, masih kudengar sayup-sayup deru mesin pembangun gedung berputar mengaduk semen dan material lainnya. Terus mengaduk di gulita hari karena dipacu waktu yang tak telah disepakati dalam selembar kertas perjanjian; seolah tak mau berkompromi.
Sesaat ketika kota telah mati. Tak kudengar bunyi berisik penanda kehidupan. Tak pula terdengar bunyi jangkrik seperti tertulis dalam dongeng tentang indahnya kehidupan desa. Saat itu semua hilang; berbaur dengan keremangan pikir yang liar. Mata masih belum mau terpejam; meski hati sudah telelap, terlena oleh kematian kota. Dan sesaat ketika kotaku telah mati tak lagi kucium wangi perempuan, yang kucium hanyalah wangi shampo dari ujung rambutku sendiri. Tak kulihat rangkaian kata-kata sahabatku, yang meluncur, melesat, menukik, atau kadang berhenti di tengah terpaan zaman. Tak kuendus kampusku yang selalu ramai dan membawa cerita tersendiri.
Waktu seolah berjalan lambat di malam hari. Saat itu, waktu tak banyak berarti. Ia hanyalah sekumpulan detik, menit, dan jam, yang bercampur dengan aroma kelelahan manusia ibukota. Tak banyak yang bisa dilakukan. Oleh karenanya, itulah yang selalu dijelaskan ibu mengapa ketika kecil aku dibiasakan tidur di malam hari, dan bangun di kala subuh. Tuhan juga tak memperdengarkan seruan-Nya di malam gulita, baru esok subuhnya kudengar lagi lewat pancang pengeras suara di masjid. Malam melahirkan kesepian bagi manusia-manusia yang mencoba terbangun.
Lalu apa yang bisa dipetik dari sebuah malam? Kesepian, ketakbergunaan, atau kesuraman? Sesaat aku mengamati alur rel kereta api yang ada di stasiun, tak jauh dari tempat tinggalku. Biasanya, di pagi, siang dan sore hari, rel ini tak pernah berhenti digilas ribuan manusia yang berkumpul dalam gerbong panas tujuan Jakarta-Bogor. Lalu di malam ini, rel itu hanya terbujur dingin, tak terjamah roda-roda kereta api. Waktu telah melingkar dalam diri manusia; mencengkeram kokoh, hingga manusia berlari seperti dikejar waktu. Tak heran jika di tiap pagi, siang, dan sore mereka berpacu mengejar kereta api. Namun, di malam hari seolah kesibukan itu lenyap.
Waktu terus bergerak, mengikat manusia, menjadikan manusia budak waktu. Namun, ternyata di malam hari ini kutemukan kesan lain. Justru waktu di malam hari yang akan mebebaskan manusia. Malam hari membebaskan manusia dari ketakutan tidak bisa mengejar kereta untuk pergi ke kampus seperti waktu perkuliahan yang telah ditetapkan. Malam hari membebaskan manusia dari kecemasan untuk ingin segera pulang memeluk anggota keluarga. Malam hari membebaskan manusia dari kejaran deadline tugas yang menjemukan.
Ya, di malam hari kita bisa mengungkapkan dan berekspresi tanpa terjamah waktu. Seolah takkan berakhir.
Sesaat ketika kota telah mati. Aku menemukan kedamaian dalam kesepian. Aku menemukan waktu-waktu yang perawan, bergerak leluasa tanpa dicampuri kegelisahan peradaban. Mungkin itu pula yang melanda orang-orang di sekelilingku yang telah terpekur dalam pelukan guling. Mereka damai setelah seharian diintervensi waktu. Sesaat ketika kota telah mati. Hawa malam kini bisa membebaskan dirinya, dari partikel-partikel pekat yang mengandung karbon. Hawa malam berhembus tenang, seperti ia menghempaskan daun-daun dengan sangat perlahan. Tak ada lagi intervensi waktu yang rumit arahan modernitas.
Night will set you free. Ya ‘kan?

margonda, dua puluh satu april dini hari

Solo, Persimpangan antara Kota Tua dan Budaya Urban


Perjalanan ke salah satu pusat kebudayaan Jawa ini dimulai dari Kampung Laweyan. Laweyan adalah kampung pengrajin batik di kota Solo. Kampung yang dahulu merupakan markas Sarekat Dagang Islam (SDI), saat ini menjadi salah satu tujuan wisata turis. Tak ada yang telalu istimewa ketika kita melintas ke dalamnya, hanya terlihat nuansa kota tua lengkap dengan rumah-rumah berarsitektur kuno. Namun coba tengoklah Ndalem Tjokrosumartan, salah satu rumah termegah di kawasan tersebut. Ndalem Tjokrosumartan merupakan cermin luhurnya kebudayaan Jawa: arsitektur keraton, halaman depan yang luas nan asri, serta regol mewah yang menjadi gerbang depan rumah.

Seiring waktu, wajah kota ini pun berganti seiring bertambahnya usia. Dulu, remaja Solo gemar menyantap jadah bakar dan pisang owol di emperan Jalan Slamet Riyadi. Namun, belakangan jajanan kesayangan itu menghilang akibat pembangunan mal dan beberapa pertokoan di kawasan tersebut. Begitu pula dengan Jagung Bakar Kantor Pos yang menjadi tempat nongkrong anak muda kota Solo. Warung jagung manis kini telah disulap menjadi gedung perkantoran berlantai enam.

Hutan mal, begitu Harian Kompas menyebutnya, adalah sosok kota Solo saat ini. Setidaknya ada enam mal yang berdiri di kota yang hanya mempunyai luas sekitar sembilan puluh kilometer persegi. Goro Assalam, Megaland, Solo Grand Mall, Solo Square, Makro Tipes, dan Plaza Singosaren adalah pusat perbelanjaan yang siap menyerbu warga dengan fantasi kebudayaan urban. Jumlah itu belum ditambah dengan supermarket yang tersebar di berbagai sudut kota. Oleh karenanya, tak susah untuk mencari tempat nongkrong anak muda Solo saat ini. Tinggal arahkan kendaraan Anda di salah satu mal, dan pesanlah makanan di gerai fast food terkemuka. Ya, Anda pasti akan bertemu dengan gerombolan anak SMU atau mahasiswa yang menghabiskan waktu di situ.

Inilah perjalanan penulis berikutnya ke salah salah satu sudut mal di kota Solo. Plaza Singosaren, demikian bangunan itu disebut, memang memiliki perpaduan antara unsur modern dan tradisional. Pintu utama mal tersebut berupa pendopo yang berarsitektur Jawa. Atap dan tiangnya dipenuhi dengan ukir-ukiran batik parang yang terbuat dari kayu jati. Namun ketika melangkah jauh ke dalam, rasanya tak jauh berbeda dengan mal di kota-kota besar lainnya. Bahkan, sulit membedakan antara remaja kota Solo dengan Jakarta atau kota besar lainnya. Semua seragam; berpakaian dengan gaya yang mirip. Ketika Radio Prambors Solo mengadakan acara off-air di mal tersebut, pembawa acara dengan santai menggunakan kata panggil “lo” dan “gue” seolah sedang berada di Depok atau Jakarta saja.

Perjalanan menelusuri kegetiran budaya Mataram berlanjut ke Pasar Gede. Pasar Gede adalah peninggalan Paku Buwono X yang dibangun pada tahun 1930 oleh arsitek Thomas Karsten. Bangunan ini menjadi tetenger (penanda) kota, karena letaknya di jantung kota Solo. Di depan pasar Gede, terdapat jam yang dipasang kokoh sebagai penunjuk nol kilometer kota Solo. Pasar Gede merupakan simbol multikultural kota Bengawan. Kawasan ini merupakan pecinan, atau tempat warga beretnis Cina menjajakan dagangannya. Terdiri dari dua bangunan utama, di kanan kiri bangunan tersebut terdapat sentuhan ornamen Cina. Di belakang pasar ini, terdapat kawasan Pasar Kliwon yang banyak ditempati oleh warga beretnis Arab. Bentuk fisik pasar memang tidak terlihat di daerah ini meski dinamai Pasar Kliwon. Kedua daerah ini, Pasar Gede dan Pasar Kliwon, menyangga Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak bersebelahan dengan kedua “pasar” ini.

Bangunan-bangunan di Pasar Kliwon dan Pasar Gede banyak yang bercorak Jawa, Eropa, Indis, Portugis, hingga Timur Tengah. Sayangnya, bangunan tua itu tidak terawat dengan baik. Pemerintah daerah lebih memilih merawat dan membangun pusat perbelanjaan yang bertebaran di kawasan itu: Pusat Grosir Solo (PGS), Beteng, dan ruko-ruko kecil. Saat ini PGS menjadi tempat belanja batik terkemuka bagi pelancong. PGS sekaligus menyatukan tiga kawasan pasar, yakni Pasar Gede, Pasar Klewer, dan Pasar Kliwon. Beteng, salah satu bangunan keraton yang menjadi tempat pertahanan kerajaan, kini beralih fungsi menjadi bangunan pertokoan. Bentuk fisik benteng sudah tidak terlihat secara nyata. Hanya kalau jeli, dua pintu gerbang masuk Beteng menyisakan bukti kejayaan kerajaan di masa lampau.

Perjalanan ke kota Solo dilanjutkan ke tepi Sungai Bengawan. Dalam syair lagunya, Gesang menggambarkan Bengawan Solo sebagai sungai yang berair jernih dan nyaman untuk beristirahat. Namun sekarang, air Sungai Bengawan berwarna coklat pekat. Air sering tercemar limbah perusahaan tekstil yang terletak di radius tiga kilometer dari Sungai Bengawan. Duduk di tepian Sungai Bengawan, sambil menikmati es kelapa dan semilir angin, kini tidak seasyik syair legendaris Bengawan Solo.

Di sebelah Sungai Bengawan terdapat Taman Satwa Taru Jurug yang juga peninggalan budaya Mataram. Jurug merupakan implementasi dari konsep kutaraja atau istana raja sejak awal berdirinya kota Solo pada tahun 1745. Sekarang, tak hanya satwa-satwa yang tak terawat, kebun binatang dan taman kota ini juga digerus oleh kejahatan kerah putih bernama korupsi. Sejak berhembus isu korupsi dana pemeliharaan Jurug oleh pemerintah daerah, Kebun Jurug menjadi pusat perhatian publik, baik di pusat maupun daerah. Wajah Kebun Jurug kini makin pasi, satwa-satwa yang ada di dalamnya kurus dan tidak terawat. Sistem sanitasinya pun tidak terpelihara dengan baik. Ini terlihat dari lumut mengerak yang menghiasi bibir selokan penghubung satu kandang dengan kandang lain. Sarana lain yang dibangun untuk merenovasi sisa bangunan lama juga tampak lapuk. Tempat peristirahatan raja itu, ironisnya, bukan rusak karena warga kota yang enggan mengunjunginya, tetapi karena koruptor yang mengambil uang jatah makan macan dan siamang.

Perjalanan terakhir kota Solo adalah makan malam di kawasan Kerten. Di daerah ini, pedagang menjual aneka penganan tradisional di malam hari. Salah satu yang menjadi kekhasan kota Solo adalah hik, yang sering disebut “hidangan istimewa kampung”. Penjaja hik biasanya membawa gerobak dan menyajikan hangat-hangat beraneka jajanan pasar dan sego kucing. Di depan hik yang berjejer di sepanjang Jalan Moewardi, terdapat Gereja Kerten. Gereja Kerten juga menjadi salah satu peninggalan sejarah di Kota Solo. Gereja ini dahulu adalah bekas gereja Belanda yang menyatu dengan kompleks perumahan pemerintah kolonial Belanda. Kompleks perumahan ini sekarang berganti fungsi menjadi kediaman mantan presiden Soeharto, yakni Ndalem Kalitan. Ndalem Kalitan juga merupakan salah satu representasi budaya Jawa kuno yang saat ini masih terpelihara dengan baik. Gereja Kerten dan kompleks yang ada di dalamnya tampak bersatu dengan jajaran factory outlet yang ada di depannya. Jika siang hari, kawasan Kerten dilewati kereta mini Solo-Wonogiri yang lagi-lagi, perlintasannya merupakan peninggalan Belanda. Karena mengikuti kontur sejarah, rel kereta api sepanjang Purwosari–Kerten–Jalan Slamet Riyadi dibiarkan terbuka tanpa dilengkapi palang pengaman. Rasanya daerah ini merupakan salah satu persimpangan antara keluhuran budaya Solo dan budaya urban yang ditandai dengan kehadiran mal dan jajaran factory outlet.

Jikalau menelusuri Gereja Kerten ke arah barat di waktu malam, maka akan terlihat billboard besar yang berkelip indah di langit. Billboard itu memajang kata-kata promosi: “Solo Kota Budaya”, seolah ingin mengukuhkan jati diri kota ini sebagai cagar kebudayaan nasional. Seiring dengan arus modernitas, Solo tak hanya menjadi kota budaya. Kota yang dilanda kerusuhan hebat pada Mei 1998 ini telah berkembang menjadi persimpangan antara kota tua dan budaya urban. Mungkin hal tersebut tidak saja dialami oleh kota yang berpenduduk 600 ribu jiwa ini, tetapi setali tiga uang dengan kondisi kota-kota lain di Indonesia. Budaya urban rupanya telah menjalari berbagai tempat di mana khazanah kebudayaan bangsa bermukim. Selamat datang di ranah globalisasi budaya urban!

Jumat, 01 Februari 2008

Kedamaian Ekologis



”Manusia itu egosentris; ia berpikir bahwa ”diri” adalah ”aku”, lalu membedakan dirinya dari orang lain, dan membedakan dirinya dengan orang lain, sehingga ia sengsara. Sebenarnya, manusia adalah satu dari unsur-unsur keagungan alam. ” - Zen

Laporan The State of World 2007 dari UN Environmental Programme (UNEP) menunjukkan angka-angka yang kurang menggembirakan. Antara 10 dan 20 persen spesies diperkirakan akan punah pada 20 atau 50 tahun. Berdasarkan kecenderungan tersebut, diperkirakan 34.000 tanaman dan 5.200 spesies hewan akan mengalami kepunahan. 60% terumbu karang dunia juga diperkirakan akan lenyap. Angka yang ”pesimistis” ini berbanding terbalik dengan angka volume perdagangan dunia yang kian meningkat. Dari laporan World Trade Organization (WTO), perdagangan meningkat dari tahun ke tahun, meskipun perundingan Putaran Doha di WTO mengalami kemacetan. Perdagangan bisa lantas ”secara alami” berpindah ke cara-cara perdagangan yang lain; dari WTO ke kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BFTAs); yang memungkinkan ego manusia sebagai homo economicus terwujud.

Gesekan antara perdagangan dan lingkungan hidup sudah terlihat sejak laporan Club of Rome, Limits to Growth, diluncurkan pada tahun 1973. Dari konperensi satu ke konperensi berikutnya, gesekan itu makin mengemuka hingga lahirlah konsep ”sustainable development” pada Konperensi Bumi Rio pada tahun 1992. Sayangnya, konsep ini masih sangat konseptual dan kurang implementatif. Hukum-hukum lingkungan internasional yang bersifat non-legal binding juga mengakibatkan kurang efektifnya rejim lingkungan internasional. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan rejim perdagangan internasional yang bersifat legally binding. Namun, apa yang bisa diharapkan dari rejim perdagangan internasional ? Karakter proliferasi perdagangan (bukan pada pengaturan untuk membatasi perdagangan) membuat rejim yang mengikat ini makin efektif dalam menggerus aspek lingkungan hidup dalam perdagangan internasional.

Namun, karakter hijau dalam WTO bukan semata dilihat sebagai aturan yang bisa meminimalisir dampak negatif perdagangan. Karakter hijau di WTO, misalnya penerapan standar lingkungan (ingat kasus penyu-tuna AS-Meksiko, atau perusakan terumbu karang dalam penangkapan ikan), adalah klaim negara maju yang menghalangi ekspor dari negara berkembang (non-tariff barier). Jika berbicara karakter hijau, maka seharusnya berbicara pula mengenai kekuatan pasar atau kekuatan demand-supply yang datang dari negara maju dalam mengeruk lingkungan hidup. Artinya, klaim ”perusak lingkungan hidup” tidak hanya ditujukan kepada negara berkembang yang mendapatkan bahan-bahan ekstraktif dengan metode yang merusak lingkungan, namun juga permintaan dari negara lain untuk industrialisasi atau konsumsi di negara pengimpor tersebut, atau kehadiran perusahaan multinasional yang memperkenalkan metode yang merusak itu. Contoh yang paling nyata adalah deforestasi hutan Amazon di Brazil yang salah satunya disebabkan oleh industri sapi di Brazil, namun juga terkait dengan permintaan daging sapi di Amerika Serikat. Hingga akhirnya, dapat dilihat bahwa sebenarnya permasalahan lingkungan hidup tidak dilihat secara an sich perusakan lingkungan di suatu wilayah, namun juga turut dipengaruhi oleh karakter kompleksitas globalisasi.

Satu variabel penting yang juga membuat globalisasi makin kompleks adalah makin langkanya dan makin terbatasnya sumberdaya alam. Michael T. Klare dalam buku Resources War menyebutkan bahwa semakin langkanya sumberdaya membuat konflik antarnegara dipicu oleh perebutan sumberdaya alam. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan sumberdaya yang terbatas itu perlu dilakukan upaya kerjasama mengelola sumberdaya tak terbaharukan.

Perdamaian Dunia melalui Gerakan Lingkungan

Ahli hubungan internasional (Lihat misalnya Joseph S. Nye,Jr, Morgenthau, Starr&Russet,Viotti&Kauppi) menggariskan bawa karakter hubungan antar bangsa adalah ”anarki” atau tidak terdapatnya satu kekuasaan sentral yang dapat mengatur antar satu negara dengan negara lainnya, sehingga dengan adanya kekuasaan sentral tersebut negara-negara di dunia harus memberikan sedikit kedaulatannya kepada institusi / kekuasaan tersebut. Kalangan konstruktivis mendebatnya dengan menyatakan bahwa anarki adalah sebuah konstruksi yang dibuat oleh negara / dunia internasional sebagaimana dinyatakan Alexander Wendt dalam ”Anarchy is What States Make of It” (International Organization, 1992). Jika melihat pola pandang Wendt ini sebenarnya mencerminkan optimisme bahwa keadaan anarki itu bisa diatasi, misalnya dengan membentuk institusi yang efektif. Pada tahap lanjutan, berbeda dengan kalangan liberalis Wilsonian yang juga melihat perlunya kerjasama internasional dalam hubungan internasional, kaum konstruktivis melihat perlunya pergeseran tata ”nilai” dan ”persepsi” negara (dan pembuat kebijakan di negara tersebut) misalnya dalam hal insecurity. Pandangan pembuat kebijakan yang masih sama mengenai ketidakamanan, sekuritisasi, xenophobia tertentu, anti-Jewish, dan lain-lain, membuat kerjasama internasional itu tidak akan efektif. Persepsi dan nilai ketidakamanan (termasuk di dalamnya kepentingan nasional) yang konvensional membuat karakter anarki terus bercokol, dan oleh karena persepsi ketidakamanan tersebut akan terus membuat hubungan internasional berkarakter security-complex. Oleh karena itu, inilah kritik yang diberikan oleh pendekatan konstruktivis terhadap kaum liberal Wilsonian.

Pandangan berbeda datang dari pandangan strukturalis yang lebih melihat karakter konflik antara core dan periphery dalam hubungan internasonal. Akan tetapi pendekatan itu untuk sementara dikesampingkan terlebih dahulu (namun tidak berarti ditinggalkan), karena tujuan dari tulisan ini adalah mengarah ke : bagaimana dapat mencapai perdamaian dunia dengan daya dukung bumi yang makin menurun dan sumberdaya yang makin terbatas ? Tulisan ini mengakui adanya konflik atau tekanan antar negara dalam memanfaatkan sumberdaya, namun yang akan dicari jalan keluarnya adalah bagaimana semua elemen manusia di bumi dapat hidup berdampingan tanpa harus terlibat konflik perebutan sumberdaya.

How to mitigate the anarchy ? adalah pertanyaan yang paling relevan dalam menjembatani dua pandangan yang berbeda mengenai konsep ”anarki” yang telah terberi (taken for granted), dan konsep ”anarki” sebagai konstruksi sosial.

Saya menawarkan konsep ”kedamaian ekologis” yang banyak dipengaruhi oleh tulisan mengenai ecologism, misal dari Andre Dobson. Konsep ”kedamaian ekologis” tentu berbeda dengan konsep yang telah dibawa Vandana Shiva mengenai ”ecological justice”, yang lebih menekankan pada ekologi sebagai tujuan (ends) dan kondisi akhir yang akan dituju. Kedamaian ekologis lebih melihat ekologi sebagai sarana (means) dengan prinsip utilitas tertentu untuk mencapai tujuan yang lebih besar yakni perdamaian. Perdamaian dapat dilihat sebagai perdamaian umat manusia dan upaya penjagaan ekologi sebagai salah satu cara untuk mempertahankan perdamaian umat manusia itu sendiri.

Tentunya untuk menjelaskan mengapa manusia perlu menjaga bumi memerlukan penjelaskan berbasis ekologisme tersendiri. Yang ingin saya jelaskan disini adalah bagaimana merubah pola pikir atau tata nilai masyarakat dunia dan pengambil keputusan di setiap negara mengenai ekologi.

Ekologi harus ditempatkan sebagai prioritas dalam hubungan antar negara dan menjadi cara pandang kehidupan sehari-hari (way of life) yang didorong dari aktivitas di lingkup terkecil, misalnya individu, rumah tanggaa, atau masyarakat sipil.

Masyarakat sipil harus mendorong masyarakat melakukan kegiatan yang pro-ecology, yang pasti secara otomatis juga pro-poor karena perimbangan konsumsi dan penggunaan sumberdaya secara berkeadilan dan berkelanjutan, di samping secara ontologis ekologisme mensyaratkan kesetaraan dalam interaksi sosial (diilhami dari interaksi alam). Pembuat keputusan tidak dapat diharapkan mengubah pola pikirnya secara cepat, oleh karena itu gerakan masyarakat sipil di seluruh dunia haruslah semakin kompak untuk mendesakkan urgensi isu-isu lingkungan hidup. Pandangan Gramsci mengenai ”intellectual organic” adalah satu hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam penyebaran ”ide” mengenai ekologisme ini.

Satu hal terakhir, kedamaian ekologi bukanlah sebuah pandangan internasionalis, namun lebih merefleksikan pandangan humanis. Hasil akhir yang diharapkan bukan integrasi antar negara, atau organisasi tingkat negara. Namun, hasil akhir yang diharapkan adalah berkurangnya konflik atau imperialisme gaya baru akibat perebutan sumberdaya. Dengan berkurangnya karakter kompetisi dalam penggunaan sumberdaya ini diharapkan perdamaian lebih mudah terwujud dan kedamaian ekologi juga makin mudah terimplementasi. Secara praktis, diperlukan multi-track diplomacy, terutama dari kalangan masyarakat, untuk mewujudkan gerakan humanis antara semua penghuni bumi untuk mempengaruhi kebijakan di tingkat internasional yang seharusnya makin ramah terhadap bumi. Dan ini, tentunya, memerlukan proses yang tidak singkat.

Change the norms first, then change the institution or policy-related things. (*)

Dari WTO ke Kesepakatan Perdagangan Bebas


Perundingan di World Trade Organization (WTO) mengalami kebuntuan. Kemacetan terjadi karena tidak ada kesepakatan yang bisa menjembatani antara negara berkembang dan negara maju dalam Pertemuan Negara G4 di Postdam, Jerman, minggu lalu. Begitulah berita yang menjadi headline Harian Kompas, 23 Juni 2007. Jika mencermati lebih dalam berita tersebut, maka sebenarnya perundingan WTO sudah mulai mengalami kebuntuan atau deadlock sejak pertemuan negara anggota G6 23 Juli 2006 lalu. Proses kebuntuan perundingan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi berlangsung secara perlahan, yang sudah dapat dirasakan ketika Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Cancun, Meksiko, tahun 2003. Lambannya jalan perundingan di WTO perlahan telah menggusur eksistensi rejim perdagangan di tingkat multilateral, yakni WTO, ke rejim perdagangan di tingkat bilateral atau antarregional.

Refleksi Kegagalan Perundingan WTO

Kegagalan perundingan negara G4 – yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), India, dan Brazil- merefleksikan beberapa hal. Pertama, kegagalan tersebut merupakan kulminasi dari tawar-menawar antarnegara. Negara maju mendesak negara berkembang untuk menurunkan tarif bagi non-agricultural market acsess (NAMA) atau akses pasar untuk produk non-pertanian (industri). Sedang negara berkembang meminta negara maju untuk mencabut subsidi pertanian yang memang merupakan “masalah klasik” dalam perdagangan internasional. Pada kenyataannya, negara berkembang diminta melakukan liberalisasi lebih banyak daripada negara maju. Misalnya, dalam formula Swiss (metode yang digunakan untuk menentukan besarnya pemotongan tarif), negara berkembang diminta memotong lebih besar, yakni sebesar 15%. Sementara negara maju hanya akan mengurangi tarif industrinya sebesar 10%. Ditambah lagi, dalam sektor pertanian, besarnya subsidi pertanian negara maju – terutama AS dan UE- adalah salah satu hal bukti bahwa perdagangan internasional tidak berjalan dengan adil. Lewat Farm Security and Rural Development Act atau lebih dikenal dengan Farm Bill, AS melakukan proteksi pertanian – baik melalui subsidi ekspor dan subdisi domestik – sebesar 180 miliar dollar AS dari tahun 2002 sampai 2007 (Kinasih, 2006). Mengutip pernyataan yang dilontarkan Menteri Perdagangan Marie Pangestu dalam harian ini, “Kegagalan itu terjadi karena negara berkembang menilai tak ada tawaran baru dari negara maju,” maka besarnya nilai subsidi AS tersebut dapat menjelaskan hal tersebut. Pada tahun 2007 ini, ketika tuntutan kepada AS untuk mengurangi subsidinya, negara anggota WTO lain menilai potongan subsidi senilai 7,6 miliar dollar AS per tahun tersebut masih belum signifikan. (Puzin, 2007). Sedang AS bersikukuh tidak akan mengurangi subsidinya sebelum negara berkembang menurunkan tarif industrinya. Tarik-menarik yang tak kunjung usai ini membuat perundingan makin tidak berujung.

Kedua, kegagalan perundingan di WTO tersebut merupakan cerminan dari praktik perdagangan internasional yang tidak adil. Tindakan India dan Brazil meninggalkan ruang sidang memperlihatkan betapa “lelahnya” negara berkembang terus menghadapi permintaan negara maju. Sementara itu, seperti telah disebutkan di atas, negara maju saja enggan mencabut subsidi pertaniannya. Dalam level permainan yang tidak sama, akan sulit bagi negara berkembang untuk berkompetisi dengan negara maju dalam perdagangan produk pertanian jika subsidi masih diselipkan di dalam produk-produk pertanian negara maju. Padahal, sektor pertanian adalah backbone atau tulang punggung bagi rakyat di negara berkembang, yang signifikan tidak hanya karena masalah perdagangan, namun juga karena faktor non-perdagangan terutama berhubungan dengan ketahanan pangan nasional, pembangunan pedesaan, kelestarian lingkungan, dan nafkah bagi jutaan petani miskin di negara berkembang.

Praktik perdagangan yang tidak adil ini direspon Indonesia dengan proposal Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP-SSM) bersama-sama dengan kelompok negara berkembang G33 (Indonesia adalah pemimpin kelompok negara G33), yang pada intinya hendak melindungi komoditas sensitif pertanian, yang seharusnya dikeluarkan dari agenda liberalisasi pertanian. Akan tetapi, Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy, menolak proposal ini. Di tahun ini, dua kali Lamy bertandang ke Indonesia untuk melobi Indonesia dan negara berkembang, namun perundingan minggu lalu di Postdam makin menunjukkan betapa “lelahnya” negara berkembang atas praktik perdagangan yang tidak adil ini.

Ketiga, macetnya perundingan WTO ini melahirkan satu tren baru dalam perdagangan internasional, yakni perjanjian kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreements - FTAs) yang makin mengemuka di antara negara-negara dunia. Para ahli perdagangan internasional mengindentifikasi hal ini dengan melihat maraknya perjanjian ekonomi bilateral ataupun regional. Dent (2006) menyebutkan di kawasan Asia-Pasifik, sekurangnya ada 67 kesepakatan perdagangan bebas yang sudah dan akan ditandatangani di tahun 2005. Kemunculan fenomena ini disebabkan terutama oleh macetnya perundingan di WTO sehingga negara tidak bisa mengambil manfaat perdagangan dari perundingan tersebut. Ketika rejim perdagangan di tingkat multilateral macet, negara –negara di dunia beramai-ramai mengalihkan strategi perdagangannya di tingkat bilateral atau regional.

Munculnya Kesepakatan Perdagangan Bebas

Munculnya kesepakatan perdagangan bebas atau FTAs ini sebenarnya memutar logika dasar perdagangan internasional. Melalui rejim multilateral, perdagangan internasional bersifat non-discriminatory, artinya setiap negara mendapatkan perlakuan yang sama ketika berdagang dengan negara lain. Sedang, kebalikannya, rejim perdagangan bebas bilateral menghendaki adanya sifat preferential bagi beberapa negara yang menjadi mitra perdagangan khususnya. Artinya, tidak setiap negara memiliki akses yang sama terhadap perdagangan di suatu negara. Logika yang semacam ini kemudian membuat negara berlomba melakukan FTAs karena ketakutan negara tidak mendapatkan akses pasar ke negara mitra dagangnya ketika mitra dagang tersebut melakukan FTAs dengan negara lain. Ketakutan itu meluas, dan akhirnya terjadi semacam silang singkarut dalam struktur perdagangan internasional, karena setiap negara tidak mau kalah bersaing dalam memperebutkan akses pasar ke negara lain. Bhagwati (2004) dan Dent (2006) menyebut hal ini dengan fenomena spaghetty bowl atau spaghetty yang saling menjulur tidak beraturan dan tumpang tindih dalam sebuah mangkuk yang diumpamakan sebagai dunia.Dalam posisi bilateral, negosiasi menjadi lebih fleksibel karena mempertimbangkan aspek-aspek yang ada di kedua negara. Menurut Khor (2005) karena fleksibilitas tersebut, biasanya FTAs mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perdagangan bebas. Dalam kesepakatan bilateral dengan AS, misalnya, setiap negara didorong untuk melakukan liberalisasi investasi dengan membentuk bilateral investment treaty (BIT). Karena cakupan yang lebih luas tersebut, banyak pengamat perdagangan internasional menyebut FTAs sebagai WTO-plus. Artinya, tidak sekadar cakupan liberalisasi yang lebih luas, namun juga tingkat liberalisasi yang dilakukan terhadap suatu sektor juga makin tinggi.

Sebenarnya, dalam WTO yang telah disepakati secara multilateral untuk diliberalisasi adalah sektor pertanian dan industri, serta penegakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terkait Perdagangan. Beberapa kesepakatan lain seperti sektor jasa atau investasi belum dapat disepakati, atau hanya disepakati secara plurilateral (beberapa negara saja) seperti belanja pemerintah (government procurement). Namun, dalam FTAs, justru investasi yang menjadi “buldoser” atau “prasyarat awal” dilakukannya FTAs.

Selain itu, dalam FTAs tingkat liberalisasi juga semakin tinggi, misalnya, dalam HaKI terkait perdagangan. Dalam kesepakatan WTO, paten obat-obatan esensial bagi negara berkembang tidak harus dibayar, melainkan dapat menggunakan mekanisme lisensi wajib atau impor paralel. Secara sederhana, kedua mekanisme itu memungkinkan memperoleh obat-obatan bagi penyakit yang urgen, seperti HIV/AIDS, dengan lebih murah, atau dapat dikembangkan sendiri oleh industri farmasi nasional. Akan tetapi, dalam FTAs, hal tersebut tidak akan terjadi, karena negara maju memberikan standar yang lebih tinggi, seperti pembatasan impor paralel, paten atas zat hayati, atau perpanjangan masa paten (Barizah, dalam Chandra, 2007).

Dengan adanya rejim perdagangan bilateral dan antarkawasan yang berkarakter WTO-plus ini, maka terlihat bahwa proses liberalisasi perdagangan kini makin berjalan cepat. Proses perundingannya pun lebih cepat dibandingkan dengan proses sebuah negara masuk ke dalam WTO. Artinya, dalam hal merubah kebijakan nasional, FTAs ini dapat menjadi cepat dan efektif dibandingkan cara-cara perundingan multilateral yang banyak terdapat konflik kepentingan antarnegara; bukan saja antara negara maju dan negara berkembang, namun juga antara sesama negara maju atau sesama negara berkembang.

Indonesia sendiri, dalam kerangka FTAs, telah menyepakati ASEAN-China FTA, dan yang sedang dalam negosiasi adalah Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (EPA), India-ASEAN FTA, dan dalam tahap pra-negosiasi adalah ASEAN-UE FTA dan Indonesia-AS FTA. Maksud dari pra-negosiasi adalah kedua negara atau kawasan sedang menjajaki ke arah FTAs, baik dalam mempersiapkan modalitas kerjasama atau melakukan prasyarat pembentukan FTAs.

WTO, Kesepakatan Perdagangan Bebas, dan Keadilan Perdagangan

Kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu Kongres AS tahun ini membawa implikasi bagi berlangsungnya Putaran Doha – putaran perundingan WTO saat ini. Berkuasanya Partai Demokrat di parlemen akan mengganti kebijakan administrasi otoritas perdagangan (fast track) AS awal bulan Juli ini. Sejauh ini Partai Demokrat menekankan pada standar lingkungan hidup dan buruh yang akan berpengaruh terhadap kebijakan perdagangannya. Oleh karena itu, apakah Kongres akan memperpanjang fast track akan menjadi pertanyaan penting bagi keberlangsungan Putaran Doha. Jika AS bersedia menggeser posisinya dan memberikan tawaran baru yang cukup meyakinkan negara berkembang, maka mungkin akan lain ceritanya.

Namun, beralihnya pertarungan perdagangan internasional ke tingkat bilateral dan regional juga tidak ditanggapi secara optimis oleh beberapa kalangan. Karakter WTO-plus malah akan menyudutkan negara berkembang yang memang mempunyai level perekonomian di bawah mitra dagangnya. Cerita mengenai bergabungnya Meksiko ke dalam North American Free Trade Agreement (NAFTA) tahun 1992 dapat menjadi contoh bagaimana interaksi yang asimetris atau tidak setara antara negara berkembang dan negara maju menjadi semakin asimetris ketika Meksiko bergabung dalam NAFTA. Pada tahun 1998, dilaporkan Meksiko mengalami defisit perdagangan dan produk pertanian unggulannya tidak mendapat akses pasar yang besar ke AS (Scott, 1998). Bahkan, studi yang dilakukan Bank Dunia menyatakan bahwa sepuluh tahun setelah bergabungnya Meksiko di NAFTA, Meksiko mendapat hasil yang mengecewakan. Tidak hanya Meksiko, setahun setelah Australia melakukan FTA dengan AS di tahun 2005, dilaporkan mengalami defisit perdagangan (Chandra dan Kinasih, dalam Chandra, 2007).

Ketika tren perdagangan internasional beralih, masalah substansial dalam perdagangan internasional masih belum teratasi juga, yakni mewujudkan perdagangan yang adil. Grieco (1995) mengatakan bahwa selalu ada tantangan dalam kerjasama atau organisasi internasional yaitu karakter anarki dari masing-masing negara. Anarki berarti tidak ada pengaturan tunggal yang bisa mengatur perilaku semua negara. Oleh karena watak anarki inilah, kata “keadilan” menjadi sesuatu hal yang sulit dicapai dalam tatanan internasional. Setiap negara berusaha memaksimalkan kepentingannya, dan ini mengantarkan pada upaya pencapaian kekekalan hegemonik negara. Dengan keadaan seperti ini, posisi negara berkembang akan semakin terpojok dan fair trade hanya akan menjadi slogan serta gerakan utopia semata.

Kebuntuan Putaran Doha di Postdam ini, pada akhirnya, dapat menjadi momen yang tepat bagi negara berkembang untuk meneriakkan perdagangan yang adil antar negara dan memperhatikan agenda pembangunan negara berkembang, karena Putaran Doha sendiri mengusung semangat Doha Development Agenda, bukan hegemonic agenda. (*)

Categories: